Chapter 21
Bajingan Gila
Ledakan dahsyat mengguncang pondasi pasar gelap bawah tanah, mengirimkan gelombang kejut yang merambat melalui lorong-lorong remang. Debu dan puing beterbangan, membentuk kabut tebal yang mengaburkan pandangan. Udara dipenuhi aroma mesiu dan besi berkarat, bercampur dengan bau anyir darah yang mengental.
Dari balik tirai asap yang perlahan menipis, sosok Kai muncul terhuyung-huyung. Tubuhnya, yang biasanya tegap dan waspada, kini membungkuk kesakitan. Luka-luka menganga di sekujur tubuhnya, darah segar mengucur membentuk aliran merah pekat yang kontras dengan lantai beton yang retak. Pakaiannya yang compang-camping menjadi bukti bisu intensitas pertarungan yang baru saja ia lalui.
Namun, di balik fisik yang nyaris remuk, mata Kai masih menyala dengan api tekad yang tak tergoyahkan. Pancaran determinasi itu seolah menantang takdir itu sendiri, menolak untuk padam meski dihadapkan pada ambang kehancuran.
Raia, yang tadinya terfokus pada duel sengit antara Kimberly dan Violet, kini mengalihkan perhatiannya pada sosok Kai yang memprihatinkan. Dengan langkah tenang namun waspada, ia mendekati rekannya. Ekspresinya merupakan paduan unik antara kekaguman dan keheranan yang tak dapat disembunyikan.
"Siapa yang mampu membuatmu seperti ini?" tanya Raia, suaranya tenang namun sarat akan keingintahuan yang mendalam. Matanya yang tajam menelusuri setiap luka di tubuh Kai, seolah mencoba membaca riwayat pertarungan dari setiap goresan.
Belum sempat Kai menjawab, atmosfer di sekitar mereka berubah drastis. Udara seolah menebal, dipenuhi oleh aura intimidasi yang mencekam. Suara langkah berat bergema di sepanjang lorong, semakin mendekat dengan irama yang mengancam.
Dari balik kabut asap dan debu yang masih tersisa, muncul sosok pria bertubuh raksasa. Ragnar, dengan rambut hitam panjangnya yang berkibar liar tertiup angin ledakan, melangkah maju. Setiap langkahnya meninggalkan retakan halus di lantai, menunjukkan betapa dahsyat kekuatan yang terkandung dalam tubuhnya.
"Namaku Ragnar," suaranya yang dalam dan berat menggema, seolah berasal dari perut bumi itu sendiri. "Posisi nomor satu terkuat di pasukan pasar gelap."
Raia mengangkat alisnya, senyum tipis menghiasi wajahnya yang tetap tenang menghadapi ancaman baru ini. "Nomor satu? Kurasa, Gorila tua itu lebih kuat darimu." Nada suaranya ringan, namun ada kilatan waspada di matanya.
Ragnar terus berjalan, matanya tak lepas dari sosok Raia. Setiap langkahnya membuat udara di sekitar bergetar, seolah-olah gravitasi meningkat secara lokal di sekitarnya. Retakan di lantai semakin melebar, dan beberapa bagian dinding mulai mengelupas.
"Kau pasti Noah," ujar Ragnar, suaranya penuh penghargaan yang terselubung. "Aku sudah mendengar banyak tentangmu."
Kimberly dan Violet, yang tadinya larut dalam pertarungan mereka sendiri, kini terpaku mengamati perkembangan situasi. Ketegangan di udara semakin pekat, seolah-olah oksigen itu sendiri telah digantikan oleh antisipasi akan pertarungan besar yang akan segera pecah.
"Kai," panggil Raia tanpa mengalihkan pandangannya dari Ragnar, "cari jalan keluar, urusan kita sudah selesai. Tersisa tujuanku saja lagi." Nada suaranya tenang, namun ada urgensi terselubung yang tak luput dari telinga Kai.
Kai, masih terengah-engah dan berjuang melawan rasa sakit yang mendera tubuhnya, berusaha berdiri tegak. "Aku sudah tahu di mana lokasinya berada," ujarnya dengan suara parau. "Kuserahkan sisanya padamu, kawan."
"Baguslah," jawab Raia santai, seolah-olah mereka sedang mendiskusikan cuaca dan bukan berada di tengah situasi hidup-mati. "Sekarang kita hanya perlu keluar dari sini." Raia menatap semua orang, senyum misterius terkembang di wajahnya. Dalam benaknya, ia mempertimbangkan untuk membiarkan para pembunuh pasar gelap tetap hidup, memikirkan berbagai manfaat yang bisa ia peroleh dari keputusan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Astrydia
FantasyRaia Astrydia sang penyihir legendaris yang konon mampu menundukkan dunia atas dan bawah, tiba-tiba menghilang 500 tahun yang lalu setelah menyerang kerajaan di dunia bawah. Hingga kini, tak ada yang tahu pasti nasib Raia. 500 tahun kemudian, seoran...