Chapter 24 Dunia Bawah

9 4 0
                                    

Chapter 24

Dunia Bawah

Langkah demi langkah bergema di tanah berbatu yang retak. Raia berjalan tenang melewati landskep neraka yang dipenuhi api abadi. Langit merah darah tanpa matahari membentang di atas, sementara jeritan-jeritan kesakitan menggema dari segala penjuru.

Di sekelilingnya, pemandangan mengerikan terpampang nyata. Para iblis menyiksa jiwa-jiwa yang tersesat—mencabik, membakar, dan menghancurkan mereka dalam siksaan tanpa akhir. Rantai-rantai panas membara melilit tubuh para pendosa, sementara cambuk-cambuk api menari di udara, meninggalkan jejak luka yang tak pernah sembuh.

Mata emasnya mengamati dengan dingin saat melihat seorang jiwa diseret paksa oleh iblis bertanduk tiga, kulitnya yang merah gelap berkilat oleh darah korbannya. Di tempat lain, iblis-iblis berbentuk serigala raksasa memangsa jiwa-jiwa yang mencoba melarikan diri, mencabik tubuh mereka yang akan terus beregenerasi hanya untuk disiksa kembali.

Para iblis yang berpapasan dengannya memberikan tatapan lapar dan dengki. Beberapa mendesis, menampakkan taring-taring tajam mereka. Namun tak ada yang berani mendekat—ada sesuatu dari aura Raia yang membuat mereka mundur dengan instingtif.

"MATI KAU!"

Sebuah serangan mendadak datang dari belakang—cakar tajam beracun melesat ke arah lehernya dengan kecepatan yang bahkan tak bisa dilihat mata biasa. Namun Raia hanya mengangkat jarinya dengan tenang, menciptakan lingkaran sihir keemasan di sekelilingnya.

—BRAK!

Iblis penyerang itu terhenti mendadak, seolah menabrak dinding tak terlihat. Sebelum ia sempat bereaksi, Raia berbalik, tangannya bergerak cepat mencengkeram kepala si iblis.

—KRAK!

Dalam satu gerakan mulus, ia memutar kepala iblis itu 180 derajat. Tubuh si iblis ambruk, berubah menjadi abu hitam yang tertiup angin neraka.

"Ra...ia... As...try...dia..."

Suara-suara serak mulai terdengar dari sekelilingnya. Puluhan—tidak, ratusan jiwa mulai bermunculan, merangkak dan mengepungnya dari segala arah. Wajah-wajah yang tak asing, korban-korban yang telah ia habisi di masa lalunya.

"Pembunuh..."

"Kau yang mengirim kami ke sini..."

"Sekarang giliranmu merasakan penderitaan..."

Mereka mendekat dengan tubuh-tubuh rusak—ada yang terbakar, tercabik, bahkan masih meneteskan darah dari luka-luka fatal. Mata mereka menyala dengan dendam dan kebencian yang tak terbendung.

Raia tetap berdiri tegak, tak ada setitik pun ketakutan di wajahnya. Ia sudah siap menghadapi konsekuensi dari semua perbuatannya. Bibirnya bahkan membentuk senyum tipis saat kerumunan jiwa penuh dendam itu semakin mendekat.

Bagaimanapun, ini adalah takdir yang telah ia pilih—dan ia akan menghadapinya dengan kepala tegak.

Tanpa kata-kata, Raia bergerak bagai petir. Tangannya menembus dada jiwa pertama yang mendekat, mencabut "jantung" spiritualnya dalam satu gerakan brutal. Jiwa itu menjerit sebelum hancur menjadi abu, namun teriakan itu tenggelam dalam gemuruh serangan berikutnya.

Hari demi hari berlalu dalam pusaran kekerasan tanpa henti. Setiap jiwa yang ia hancurkan akan kembali lagi, dan lagi, dalam siklus penyiksaan abadi. Raia terus membantai mereka semua—meremukkan tulang, mencabik daging spiritual, menghancurkan eksistensi mereka berulang kali.

Perlahan, sesuatu mulai merayap masuk ke dalam kesadarannya. Nafsu membunuh yang familiar—sensasi yang dulu selalu menemaninya di masa hidup. Seperti racun yang manis, hasrat untuk menghancurkan kembali memenuhi setiap sel jiwanya.

AstrydiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang