Chapter 11 Pengkhianatan?

64 9 0
                                    

Chapter 11

Pengkhianatan?

Dada Raia naik-turun dengan berat, sesekali menghela napas panjang saat tubuh Noah seakan tak sanggup menampung kekuatan sihir yang meluap-luap dari "Berkah Bintang Pertama". Rasa sakit menghunjam kepalanya, mengancam merenggut kesadarannya, namun Raia tetap berjuang untuk tetap terjaga.

Setitik darah segar mengalir dari sudut bibirnya yang terkulai, menetes membasahi tanah. Jantungnya berdentum menyakitkan, seakan ingin meledak oleh gemuruh energi sihir yang melampaui kapasitasnya.

Perlahan, Raia mengurangi kuantitas sihir yang dialirkan lewat "Berkah Bintang Pertama", tubuhnya merosot ke bawah dengan tangan mencengkeram dada yang terasa terbakar. Kali ini, ia menyadari betapa sulitnya menjadi manusia, terikat batasan dan tak bisa bebas untuk berbuat apapun.

Usai mematikan seluruh energi dari "Berkah Bintang Pertama", Raia terhuyung memasuki sebuah kelas yang dindingnya berlubang besar, jejak pertempuran sebelumnya.

Nyala api bekas serangan Argon masih membara, membakar rumput yang ada dihalaman tengah Akademi hingga menjadi abu dan tanah menjadi hitam akibatnya.

Raia menjatuhkan diri di sudut kelas, mencoba meredam sakitnya dan juga untuk menyembunyikan fakta bahwa dialah sang pemilik kekuatan dahsyat tadi. Di benaknya, ia menyusun seribu cara dan jawaban untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang mungkin dilemparkan nanti.

Tubuhnya tersandar di dinding, mata biru cemerlangnya meredup oleh kelelahan akibat menahan kekuatan sebesar itu. Sungguh mudah baginya untuk terlelap saat ini, namun Raia menolak karena hal itu hanya akan membuatnya dituduh sebagai sumber kekuatan dahsyat tadi tanpa penjelasan.

Helai-helai rambut seputih salju dengan serabut biru indah itu perlahan kembali menyuram, mungkin akibat efek dari kekuatan sihir aslinya yang baru digunakan. Kini helai abu-abu itu kian memutih, seakan pertanda dari sesuatu yang lebih besar.

Di sisi lain, langit membentang biru dihiasi awan putih yang perlahan berubah jingga seiring lenggang senja. Aron, Kai, dan wanita keturunan Everbloom tak henti membayangkan bentrokan kekuatan luar biasa dasyhat sebelumnya, melihat sendiri dengan mata telanjang hingga membuat rasa ingin tahu dibenak mereka.

Keheningan merayap hingga akhirnya Aron memecah sunyi dengan raut bingung, "Menurutmu, siapa yang mengalahkan pak tua Argon tadi?" Lengan kanannya teracung menopang dagu.

"Mungkin anak berambut abu-abu itu? Tapi siapapun yang membunuh tua bangka sialan itu, aku sangat berterima kasih." Wanita Everbloom menimpali, lalu menjentikkan jari hingga menghilang dalam sekejap, meninggalkan serpihan bunga putih merah muda dan aroma harum menenangkan pikiran.

"Kurasa tidak mungkin Noah... Sihirnya elemen biasa." Kai bergumam ragu, pikirannya bergulat dengan keyakinan bahwa pusaran dahsyat tadi berasal dari Noah, namun di sisi lain, bukankah elemen pemuda itu hanya yang umum?

Ingatan Kai memutar momen pertemuan mereka, ketika buku sihir kecilnya mendeteksi dan mencatat sihir milik Noah, ia hanya menguasai elemen-elemen sederhana, bukan kekuatan sebesar itu.

Belum selesai mereka bergelut dalam kebingungan, getaran menghentak kaki mereka. Reruntuhan dan pecahan kaca berhamburan ke mana-mana. Kai dan Aron menoleh serempak ke arah gempa kecil itu berasal.

Tepat di lokasi ritual berdarah pembunuh pasar gelap, sesosok berjubah hitam tengah berlutut di atas lingkaran sihir berkilau merah. Energi mengalir dari tangannya, menghidupkan sinar darah yang bergetar, seperti ingin memanggil sesuatu.

Wajahnya terlihat sepintas - berambut putih keunguan. Puluhan petir sambar ke sekelilingnya namun tak berpengaruh. Perlahan, sebuah portal berwarna merah darah terbuka dari lingkaran sihir.

AstrydiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang