Chapter 6 Penyerangan dari Pembunuh Pasar Gelap II

67 14 1
                                    

Chapter 6

Penyerangan Pembunuh dari Pasar Gelap II

Aneh rasanya melihat seorang Raia Astrydia bertindak karena seseorang. Seorang pria yang angkuh dan tak kenal ampun itu tiba-tiba memakai perasaannya untuk seorang mahkluk di dunia ini, yaitu seorang gadis bernama Lily. Dendam membara pada pembunuh bayaran pasar gelap yang telah merenggut nyawa Lily membuatnya bertindak kejam. Raia seakan kehilangan belah kasih dan pengampunan, hanya terfokus pada balas dendam semata.

Aura kepercayaan diri dan keangkuhan yang selalu memancar darinya seolah memudar, digantikan oleh emosi manusiawi yang tercampur aduk dengan logika dan hati nuraninya. Raia mulai menampakkan sifat-sifat kemanusiaan, emosi dan perasaannya terlihat jelas menggantikan pemikirannya yang dulu dingin dan logis.

Akankah Raia dapat kembali seperti semula? Tidak ada yang tahu pasti. Namun sepertinya, pemikiran, perasaan, dan emosi lamanya hanya tertimbun dalam di relung hatinya yang kini manusiawi. Apakah dia masih dapat menjadi dirinya seperti dahulu? Hal itu masih menjadi tanda tanya besar.

Raia melangkah masuk lebih dalam ke lorong kelas, bermaksud mencari Aron. Pikirannya terusik, mengapa para guru tidak mengambil tindakan apa pun atas kekacauan ini? Tidak seorang pun terlihat di sepanjang lorong yang riuh-rendah itu, hanya dirinya dan suara hiruk-pikuk di setiap sudut.

Pandangannya tertuju pada sekelompok murid bangsawan yang sedang berhadapan dengan tiga pembunuh bayaran pasar gelap. Raia hendak menonton pertarungan itu, namun teringat kemungkinan Aron kewalahan menghadapi para pembunuh itu membuatnya ragu.

Saat Raia berjalan santai menuju lebih dalam, secara mengejutkan, dinding kelas di sebelah Raia runtuh berkeping-keping, memuntahkan sesosok pria dari balik tudung pembunuh bayaran pasar gelap. Jubahnya robek, tudungnya terbuka jelas dan wajah yang selama ini ia disembunyikan terekspos jelas dihadapan orang lain. Nampak jelas sesosok pria paruh baya berusia 30-an tahun dengan raut ketakutan luar biasa.

Raia spontan menghentikan langkahnya, menengok ke arah kelas yang dindingnya hancur lebur itu. Dari balik lubang menganga, seorang pria berambut hitam berantakan melangkah keluar sambil menggaruk bagian belakang kepalanya.

"K-kenapa...Kenapa kau ada di sini?! Si Bodoh!?" Jeritan memekakkan telinga membelah kesunyian dari mulut si pria paruh baya. Suaranya seakan mencengkeram udara, meloloskan rasa takut yang merembes dari setiap untaian kata. Tubuhnya gemetar hebat, keringat membanjiri wajah, sementara pedangnya tergeletak di lantai.

"Sudah kubilang, aku tak akan punya hubungan lagi dengan kalian," balas si pria berambut berantakan, enteng.

Rambut hitamnya tak beraturan, sebagian memanjang hingga bahu sementara lainnya lebih pendek. Wajah lesunya menampakkan kerutan di dahi, dengan mata abu-abu menyorot redup seolah menyembunyikan beban pikiran.

Kemeja putih yang disisipkan hingga ke siku memperlihatkan gelang aneh melingkar di pergelangan, menyatu dengan sebuah buku sihir kecil bersampul usang, seakan siap diucapkan mantra kapan saja.

Raia bertanya dalam hati, "Siapa pria ini? Apakah kekuatan sihir terselubung di balik buku dan gelang anehnya?"

Pria itu menoleh, menatap Raia yang berdiri di sisinya dengan pandangan sama-sama bingung.

"Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah murid sudah diamankan Miss Tresa?" Alisnya mengkerut, meminta alasan keberadaan Raia.

"Aku ingin menyelamatkan temanku, makanya aku masuk ke dalam," jawab Raia. Ia tak tahu kalau Miss Tresa sudah mengamankan para murid. Lantas, siapa saja yang masih berkeliaran di sini selain dirinya dan Aron?

"Teman? Siapa namanya?"

"Aron Farseer."

Senyum tipis tersungging di wajah pria itu sembari memijat bagian belakang kepalanya. "Ahh, berandalan itu ya? Ayo kita ke tempatnya."

Mereka menelusuri lorong semakin dalam, mencari keberadaan Aron. Sepanjang jalan, pemandangan kaca berserakan dan benda-benda hancur memenuhi pandangan. Raia mendapat firasat situasi ini memang direncanakan matang-matang.

Semuanya tampak terpola dalam penyerbuan ini, waktunya pun dipilih saat para guru tak dapat langsung turun tangan menangani. Namun, satu hal yang luput dari perkiraan mereka, yaitu kekuatan tersembunyi yang dimiliki orang-orang di Akademi Aredia.

Sembari melangkah, Raia mencuri pandang ke arah pria di sisinya. "Siapa namamu? Apa kau juga guru di sekolah ini?"

"Aku Kai, hari ini hari pertamaku mengajar di sini menggantikan ayahku, Alric Ravensbane, yang sedang sakit," jawabnya datar, seolah tak bersemangat. Sepertinya pria ini bukan tipe yang menyukai pekerjaan seperti ini.

"Ah, aku tahu beliau. Jadi, hari pertamamu mengajar langsung mendapat kenangan, bukan?"

"Kau benar, kesialan memang selalu menghampiriku. Tapi kali ini benar-benar merepotkan." Kai merujuk pada penyerangan para pembunuh bayaran yang terjadi. Awalnya ia hanya ingin menggantikan sang ayah dengan damai, tapi malah berakhir dengan situasi rumit yang memaksanya bekerja keras.

Obrolan mereka berlanjut cukup lama hingga tiba-tiba buku sihir milik Kai berpendar merah terang. Raia menatapnya penasaran, tapi ekspresi terkejut dan tak percaya di wajah Kai membuatnya lebih terkejut lagi.

"Ada apa dengan bukumu?" tanya Raia, bingung melihat reaksi Kai.

"Ayo cepat! Para keparat ini berniat memanggil monster ke dalam sini!" Suara Kai meninggi, gentar sekaligus marah bercampur menjadi satu.

Mendengar peringatan Kai, Raia memacu langkah mengikuti pria itu dari belakang. Namun, semakin dekat dengan tujuan, pikirannya terasa terusik oleh sesuatu yang mencoba merusak suasana hatinya.

"Kita terlambat..." Kai bergumam lirih, menatap fokus pada sesuatu di hadapannya dengan raut terdiam.

Akhirnya Raia tiba di sisi Kai, dan pemandangan mengerikan terpampang di depan matanya. Spiral sihir merah darah terbentuk di lantai batu yang mereka pijak, besarnya hampir melebihi ukuran satu kelas di Akademi.

Delapan garis saling terhubung pada lingkaran kecil di ujung spiral itu. Delapan sosok berjubah hitam berdiri di masing-masing lingkaran, lalu dengan gerakan bersamaan, mereka menusukkan pisau kecil ke jantung masing-masing.

"Sialan, takkan kubiarkan kalian berbuat seenaknya! 𝘾𝙖𝙩𝙚𝙣𝙖 𝘼𝙘𝙪𝙡𝙚𝙖𝙩𝙤𝙧𝙪𝙢!" Kai menyerukan mantra, halaman buku sihirnya berdebar cepat, seolah hendak memuntahkan sesuatu yang kuat.

Delapan tali rantai mencuat keluar dari spiral sihir hijau dan hitam di sisi kiri dan kanan Kai. Tiap bilah rantai hijau itu berduri tajam, seakan mampu merobek apa pun yang dilaluinya.

AstrydiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang