Chapter 27
Ice Storm and The Nine Generals
Langit neraka lenyap dalam pusaran kekacauan. Badai salju hitam dan putih mengamuk bagai monster purba yang bangkit dari tidur panjangnya, melahirkan tornado es kolosal yang merobek-robek awan gelap. Di tengah manifestasi kehancuran itu, dua entitas berkuasa bertarung dalam tarian maut yang membuat fondasi realitas dunia bawah bergemuruh.
Raungan Ignora menggetarkan udara. Esnya mewujud menjadi legion naga-naga putih, mata mereka berkilat dengan kebencian abadi saat melesat menerjang Raven. Namun Sang Ratu Kegelapan menyambutnya dengan senyum dingin yang membekukan jiwa.
Jemari lentiknya menari di udara dengan keanggunan mematikan, dan es hitamnya bangkit membentuk pasukan yang serupa—naga melawan naga, cahaya beradu kegelapan. Benturan kedua kekuatan primordial itu melahirkan ledakan yang mengguncang pilar-pilar neraka hingga ke fondasinya.
"Ribuan tahun, dan kau masih terjebak dalam batasan yang sama," Raven berbisik, suaranya sedingin es namun setajam belati. "Sungguh mengecewakan, muridku."
Ignora menggeram, sisik-sisik putihnya bergetar menahan amarah. Keringat membasahi tubuh naganya, mengkristal menjadi es begitu menyentuh udara. Setiap gerakan anggun Raven bagaikan cambuk yang mencabik harga dirinya, mengingatkan bahwa teknik es yang dia bangga-banggakan hanyalah serpihan dari warisan gurunya.
Badai mengamuk semakin liar. Neraka mengalami metamorfosis spektakuler—gunung-gunung berapi yang selama ini memuntahkan lahar kini membekukan langit dengan kristal-kristal es.
Api-api abadi yang menjadi pondasi dunia bawah mulai padam satu per satu, digantikan dengan pemandangan surreal es dan salju yang tak pernah terbayangkan akan hadir di neraka.
Raven bergerak bagai penari dalam simfoni kehancuran. Setiap langkahnya di udara melahirkan formasi es hitam yang semakin kompleks. "Kekuatan sejati es bukan pada tekniknya, Ignora," dia berkata sambil menciptakan badai es hitam yang menyerupai katedral terbalik. "Tapi pada jiwa yang memahami esensi sejati dari dingin dan kekosongan."
Di dalam kastil, situasinya tak kalah mencekam. Pilar-pilar obsidian kini menjadi kanvas bagi pertarungan antara es dan api abadi. Kedua elemen bertolak belakang itu menciptakan fenomena supernatural—kabut mistis yang berpendar dalam berbagai warna, mengubah lorong-lorong kastil menjadi labirin dimensi yang mempermainkan indera.
Di ruang singgasana...
Raia berdiri tegak di hadapan takhta Raven. Kursi megah yang terbuat dari tulang dan logam hitam itu dihiasi ukiran-ukiran tengkorak yang seolah menatap tajam setiap yang mendekatinya. Api merah dan ungu menari-nari di sekitar takhta, menciptakan bayangan-bayangan mengerikan di dinding.
Bintang kecil mulai terbentuk di telapak tangan Raia, cahayanya kontras dengan kegelapan ruangan. Namun sebelum dia bisa berbuat lebih jauh, udara di sekitarnya bergetar. Api-api di pilar berkobar lebih besar, dan dari kegelapan, muncul sembilan sosok megah.
Para Jenderal Iblis.
Mereka berdiri dalam formasi setengah lingkaran. Tubuh-tubuh raksasa mereka dibalut armor hitam mengkilap dengan ukiran-ukiran kuno. Yang membuat mereka lebih mengerikan adalah kepala mereka—sembilan kepala api yang menyala dalam warna berbeda.
Merah darah, biru safir, hijau zamrud, ungu gelap, emas, perak, tembaga, putih, dan hitam pekat. Setiap api berkobar-kobar liar, menciptakan atmosfer mencekam yang bahkan membuat udara terasa berat.
"Manusia," suara mereka bergemuruh bersamaan, "kau telah memasuki wilayah terlarang."
Raia tetap tenang, meski bintang di tangannya berkedip lebih cepat. Dia tahu kekuatan petir merahnya bisa menandingi para jenderal ini, tapi sembilan sekaligus? Ini bukan pertarungan yang bijak untuk dimulai.
Raia melirik ke belakang, kilatan petir merah menari di matanya yang berpendar bagaikan darah segar. Energi elektrik merah mulai merayap di sekitar tubuhnya, membentuk aura mematikan yang membuat udara bergetar. Tatapannya dingin namun penuh perhitungan saat mengamati satu per satu Jenderal Iblis di hadapannya.
Namun apa yang terjadi selanjutnya mengejutkan bahkan untuk standar dunia bawah. Jenderal dengan kepala api biru safir—Azurius, yang terkenal dengan kesombongannya—tiba-tiba berlutut. Satu lutut menyentuh lantai, kepalanya tertunduk dalam penghormatan yang tak pernah dia berikan pada siapapun selain Raven. Satu per satu, para Jenderal lainnya mengikuti—delapan kepala api berbeda warna tertunduk dalam gestur kepatuhan yang mencengangkan.
"Jiwa manusia," Azurius berkata, suaranya yang biasanya angkuh kini dipenuhi urgensi. "Kami memohon bantuanmu."
Raia tetap waspada, namun ada sesuatu dalam nada suara sang Jenderal yang menarik perhatiannya.
"Ratu kami—Raven yang Agung—dia sekarat," Azurius melanjutkan, api biru di kepalanya berkobar lebih redup. "Berbeda dari makhluk fana atau iblis seperti kami, eksistensi Yang Mulia Raven bergantung sepenuhnya pada energi sihirnya. Selama energi itu ada, dia abadi. Tapi..."
"Keabadian itu memiliki harga," Jenderal berkepala emas—Aureus—menyambung. "Setiap detik, setiap tarikan nafas di dunia bawah ini ada karena energi Yang Mulia. Dia adalah jantung yang memompa kehidupan ke seluruh neraka, memastikan keseimbangan tetap terjaga."
Raia merasakan petir di tubuhnya mereda, tergantikan oleh pemahaman yang mulai terbentuk.
"Dan sekarang," Jenderal berkepala ungu—Nox—berbicara dengan suara dalam, "pertarungan melawan Ignora menguras energinya lebih cepat dari yang pernah kami saksikan. Kami bisa merasakannya—ikatan kami dengan Yang Mulia melemah setiap detik."
Seolah menegaskan kata-kata para Jenderal, kastil bergetar hebat. Raia bisa merasakan perubahan di udara—pertarungan di luar semakin intens, tapi ada sesuatu yang berbeda. Energi es hitam Raven yang tadinya dominan kini mulai menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan.
Tanpa kata, Raia berjalan melewati para Jenderal menuju pintu kastil. Langkahnya mantap dan penuh determinasi. Saat pintu terbuka, pemandangan yang menyambutnya membuat bahkan nafasnya tercekat.
Dunia bawah telah berubah menjadi padang es tak berpenghuni. Gunung-gunung berapi yang menjadi tanda neraka kini menjulang bagai menara kristal raksasa. Langit yang biasanya merah oleh api kini tertutup salju hitam dan putih yang berputar dalam tarian kematian. Di kejauhan, dua sosok masih bertarung—tapi Raia bisa melihatnya sekarang: gerakan Raven yang mulai melambat, es hitamnya yang mulai kehilangan intensitas.
Petir merah kembali menyelimuti tubuh Raia, kali ini lebih kuat, lebih murni. Matanya menyala dengan determinasi baru saat memandang pertarungan di hadapannya. Dia mungkin manusia, tapi ada sesuatu dalam darahnya yang membuat bahkan para Jenderal Iblis berlutut. Dan sekarang, kekuatan itu akan digunakan untuk menyelamatkan sang Ratu Kegelapan.
Raia mengangkat tangannya, dan petir merah menyambar langit neraka yang membeku. Untuk pertama kalinya sejak dia menginjakkan kaki di dunia bawah, dia merasakan tujuan yang jelas.
Bukan untuk pulang, bukan untuk bertahan hidup, tapi untuk menyelamatkan entitas yang, tanpa dia sadari, telah menjaga keseimbangan realitas selama ribuan tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Astrydia
FantasíaRaia Astrydia sang penyihir legendaris yang konon mampu menundukkan dunia atas dan bawah, tiba-tiba menghilang 500 tahun yang lalu setelah menyerang kerajaan di dunia bawah. Hingga kini, tak ada yang tahu pasti nasib Raia. 500 tahun kemudian, seoran...