Chapter 23
Akhir dari Segalanya?
Keheningan mencekam pecah oleh desis tajam logam yang membelah udara. Kilatan perak berpendar dalam keremangan saat Violet membebaskan diri dari jeratan akar-akar Lily dengan gerakan yang nyaris tak tertangkap mata. Pedang pembelah dimensinya menari liar, meninggalkan jejak cahaya kebiruan di udara, memotong habis setiap akar yang berusaha mengekangnya.
"Tak peduli sekuat apa pun kau," desis Violet dengan napas memburu, matanya berkilat bagaikan predator yang terpojok, "aku akan tetap menerjang!"
Di sudut ruangan yang remang, Lily masih berlutut di samping Raia. Jemarinya yang pucat tak henti membelai wajah yang terbaring itu dengan kelembutan seorang kekasih, seolah dunia yang bergejolak di sekelilingnya hanyalah ilusi tanpa makna. Bahkan ketika Violet melesat ke arahnya dengan kecepatan yang melampaui nalar, auranya tetap tenang bagai danau di pagi hari.
Namun ketenangan itu terusik oleh bayangan yang melesat bagai peluru dari samping.
—BLAAAM!
Dentuman dahsyat mengguncang ruangan saat kaki Kimberly bersarang di tubuh Violet. Tendangan mematikan itu mengirim targetnya terbang melintasi ruangan bagai boneka kain, sebelum akhirnya mendarat dengan bunyi pecah yang menyakitkan di samping Ragnar yang membeku.
Ragnar, yang sedari tadi hanya mengamati dengan wajah stoik, kini mengambil posisi defensif. Matanya yang tajam bergantian mengawasi Violet yang tersungkur dan sosok Kimberly yang berdiri angkuh beberapa meter dari mereka, mencari celah dalam situasi yang semakin rumit ini.
"Pertarungan ini sungguh sia-sia," ujar Kimberly dengan nada dingin namun terselip keanggunan dalam setiap langkahnya menuju Ragnar. "Bagaimana kalau kita berdamai saja? Kusarankan untuk tak membiarkan emosimu mengambil alih logikamu."
Ragnar menimbang dalam diam, otaknya berpacu menganalisis situasi. Melawan Lily adalah jalan buntu—kemungkinan menang nyaris mustahil, terlebih dengan hadirnya Kimberly di pihak mereka. Sebagai pembunuh bayaran veteran, ia paham betul bahwa bertarung tanpa prospek keuntungan hanyalah tarian kematian yang sia-sia.
"Kau benar," ucapnya seraya mengulurkan tangan, wajahnya menunjukkan kekalahan yang bijaksana. "Kita bagaikan orang bodoh yang bertarung tanpa hadiah." Ia merogoh sakunya, mengeluarkan dua ramuan dan pil dengan gerakan mantap. "Kurasa ini akan membantu mereka."
Tanpa kata-kata lebih lanjut, ia mengaktifkan sihir gravitasinya. Tubuh Violet yang tak sadarkan diri dan pria berambut pirang yang terkubur di reruntuhan terangkat dalam kendalinya. Dengan langkah berat namun pasti, ia berbalik dan menghilang dalam bayangan, meninggalkan pertarungan yang tak pernah seharusnya terjadi.
Kimberly meregangkan lengannya yang baru kembali dengan gerakan anggun namun mematikan. Ia melangkah ringan menuju Lily dan Raia, melemparkan kompensasi dari Ragnar—satu pil dan satu ramuan penyembuh—dengan presisi sempurna. "Kompensasi dari mereka," ucapnya datar, sebelum berbalik pergi dengan lambaian tangan kasual, seolah semua yang terjadi tak lebih dari permainan yang membosankan.
Kelopak mata itu perlahan terbuka, menampakkan iris keemasan yang mulai meredup. Raia menatap wajah Lily yang begitu dekat dengannya—wajah yang selalu ingin ia lindungi, yang kini basah oleh air mata.
"Li...ly..." Bibirnya bergetar, mencoba mengucapkan nama itu, namun tak ada suara yang keluar. Hanya hembusan napas lemah yang terdengar.
Lily tersentak saat merasakan sesuatu yang aneh. Jemarinya yang membelai wajah Raia mulai menembus kulitnya—seolah menyentuh kabut yang perlahan menghilang. "Tidak... tidak, tidak, tidak!" Suaranya bergetar panik saat melihat ujung jari Raia mulai berubah menjadi serpihan cahaya keemasan yang melayang ke udara.
"Bertahanlah!" Lily mengerahkan seluruh kekuatan penyembuh alamnya, cahaya kehijauan memancar dari kedua tangannya. Namun serpihan-serpihan itu tetap menari di udara, tak bisa kembali. "Kumohon... kumohon jangan pergi!"
Raia hanya bisa tersenyum lemah. Ia tahu ini adalah konsekuensi dari menggunakan kekuatan aslinya—tubuh manusia fana ini tak akan sanggup menahannya. Ia mengangkat tangannya yang mulai transparan, berusaha menghapus air mata Lily, namun jemarinya hanya menembus pipi gadis itu.
"JANGAN!" Lily menjerit histeris, memeluk erat tubuh yang mulai hancur menjadi ribuan partikel cahaya. "Aku tidak bisa kehilanganmu! Aku tidak mau sendiri lagi!"
Serpihan-serpihan keemasan itu semakin banyak, berkilauan seperti kunang-kunang di malam hari. Tubuh Raia semakin ringan dalam pelukan Lily, sementara gadis itu terus terisak, memohon pada siapapun yang mau mendengar untuk menghentikan semua ini.
"Maaf..." Kata itu terucap tanpa suara dari bibir Raia yang mulai memudar. Matanya memancarkan kehangatan dan penyesalan yang mendalam. Ia ingin mengatakan lebih banyak hal—tentang betapa berharganya Lily baginya, tentang perasaan yang tak sempat ia ungkapkan.
Lily merasakan pelukan itu semakin hampa. Tubuh dalam dekapannya kini tak lebih dari kumpulan cahaya yang perlahan melayang ke angkasa. "Jangan tinggalkan aku..." bisiknya parau, tangannya berusaha menggapai serpihan-serpihan yang menari di udara. "Kumohon... aku mencintaimu..."
Namun udara dingin adalah satu-satunya yang tersisa dalam pelukannya. Raia telah sepenuhnya berubah menjadi ribuan titik cahaya yang melayang ke langit-langit ruangan, seperti kunang-kunang yang menari dalam kegelapan sebelum akhirnya menghilang satu per satu.
Yang tersisa hanyalah Lily yang terduduk sendiri, terisak dalam keheningan, sementara cahaya terakhir dari eksistensi Raia menghilang dalam kegelapan.
Jiwa Raia melayang perlahan dari tubuhnya yang kini telah sepenuhnya berubah menjadi serpihan cahaya. Wujud aslinya—sosok agung seorang penyihir legendaris dengan rambut seputih salju yang menjuntai panjang, helai-helai depannya membingkai wajah tampan yang terlihat abadi. Buntut rambutnya yang mencapai punggung bergerak lembut seolah tertiup angin yang tak terlihat.
Iris emasnya yang berkilau bagai rembulan menatap sendu pada Lily yang masih tenggelam dalam kesedihannya. Tak ada keterkejutan di wajahnya—ia telah lama mengetahui bahwa takdirnya akan berakhir seperti ini. Semua sudah ia perhitungkan sejak awal.
Tangannya yang transparan terulur, mencoba membelai rambut Lily untuk terakhir kalinya. Jemarinya menembus helaian putih itu tanpa bisa menyentuhnya. Tak ada kata yang terucap dari bibirnya, hanya senyum hangat.
Mendadak, lantai di bawah kakinya berpendar dalam cahaya merah darah. Lingkaran sihir kuno muncul, memancarkan aura mencekam yang hanya bisa ia rasakan. Raia memejamkan mata sejenak—ini adalah sesuatu yang ia tunggu.
Tanpa peringatan, ratusan rantai hitam menyeruak dari lingkaran merah itu. Mereka melilit tubuh rohnya dengan brutal, seperti ular-ular kelaparan yang akhirnya menemukan mangsa. Raia bahkan tak bergeming saat rantai-rantai itu mencengkeram semakin erat, seolah ingin menghancurkan eksistensinya.
Matanya tak sekalipun beralih dari Lily, berusaha mengukir setiap detail wajah itu dalam keabadian. Bahkan saat rantai-rantai itu mulai menariknya ke bawah dengan kejam, tatapannya tetap terkunci pada gadis yang telah mengubah seluruh eksistensinya.
Gerbang dunia bawah terbuka lebar, menampakkan kegelapan pekat yang siap menelannya. Kobaran api merah nan hitam menyala di kejauhan, memancarkan kepedihan abadi yang menantinya. Namun tak ada setitik pun ketakutan di mata emas itu—hanya ada ketenangan dan penerimaan mutlak.
Saat tubuh rohnya semakin tertarik ke dalam jurang kegelapan, setetes air mata mengalir di pipi transparannya. Air mata terakhir seorang Raia Astrydia—bukan untuk dirinya yang akan menghadapi siksaan abadi, tapi untuk gadis yang harus ia tinggalkan dalam kesendiriannya.
Rantai-rantai terus menariknya tanpa ampun hingga sosoknya lenyap sepenuhnya ke dalam portal merah itu. Gerbang dunia bawah perlahan menutup, menyisakan Lily yang masih tak menerima kenyataan.
Di ruangan itu kini hanya tersisa keheningan yang mencekam, dan seorang gadis yang kehilangan separuh jiwanya untuk selamanya—tanpa pernah tahu bahwa sosok yang ia tangisi telah memilih takdir ini demi melindunginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Astrydia
FantasíaRaia Astrydia sang penyihir legendaris yang konon mampu menundukkan dunia atas dan bawah, tiba-tiba menghilang 500 tahun yang lalu setelah menyerang kerajaan di dunia bawah. Hingga kini, tak ada yang tahu pasti nasib Raia. 500 tahun kemudian, seoran...