Chapter 19 Takdir?

52 7 0
                                    

Chapter 19

Takdir?

Malam telah merangkak naik, menyelimuti bumi dengan kegelapan yang dingin menusuk tulang. Langit berbintang menghitam, hanya ditemani rembulan pucat dan kepakan sayap gagak bermata kelam yang beterbangan.

Raia dan Kai berdiri di depan sebuah pintu kecil di atas lantai batu yang tersusun rapi. Tempat mereka tersesat dan bertemu pembunuh bayaran serta Lily. Pandangan Raia teralih dari pintu di bawah kakinya ke arah dimana dirinya pertama kali berjumpa Lily.

Kilas balik itu masih membias, membekas di pelupuk mata bagaimana kejadian mengerikan itu berlangsung hingga tubuh Lily tertusuk dan diseret pergi. Sesekali terselip tanya, mengapa dirinya tak menyelamatkan Lily kala itu? Pertanyaan yang menghunus batin, memicu rasa bersalah menganga.

Kai mengerling Raia yang tengah tenggelam dalam lamunan. "Ayo kita masuk," ajaknya, khawatir jika Raia urung melanjutkan niat setelah teringat memori pahit itu.

Pintu terangkat, menyingkap cahaya terang dari bawah sana. Pemandangan baru terbentang, meski suhu seakan membekukan tulang, aktivitas di pasar gelap tetap berlanjut.

Raia melesat terjun lebih dulu, disusul Kai di belakangnya. Mereka urung menggunakan tangga tali, tak ingin menghambat laju langkah kaki.

Jubah abu-abu menutupi sosok dengan saksama, menyembunyikan wajah dari pandangan liar para pedagang gelap. Kai sudah mengantisipasi ini - dirinya pernah menjadi bagian dari kegelapan ini, menyandang status buron.

Di depan terhampar empat jalur berbeda yang terhubung pada misteri tersembunyi. "Kita akan berpencar agar lebih cepat. Jalur mana yang akan kau ambil?" tanya Kai. 

Raia tengah terpana pada sebuah kotak berisi untaian cincin permata yang tertata apik. Sesuatu di sana seakan memanggilnya.

"Aku ke kanan. Dan seperti kubilang, lakukan dengan caramu sendiri, Kai," sahut Raia, mengingat kata-katanya sendiri di asrama dulu.

Kai mengangguk dan melesat ke jalur kiri, berharap menemukan perpustakaan tersembunyi di balik kelokan itu.

"Baiklah, waktunya untuk membayar hutang pada Lily." Raia tersenyum getir, memori wajah merona Lily kembali terbersit. Langkahnya kian mantap menatap ke depan, meninggalkan kotak cincin di belakang.

Namun ia terhenti. Tanpa disadarinya, iris biru membara itu menyala terang. Jejak sihir berpendar, meninggalkan bekas rerumputan pada lantai batu - seakan menuntunnya pada Lily.

Senyum kembali menghias paras Raia. Lily pasti baik-baik saja selama tidak melanggar aturan pembunuh bayaran.

Raia melesat dengan kecepatan tinggi ke jalur kiri, menembus kerumunan sekejap mata, hanya menyisakan kilasan jubah abu-abu bagai angin lalu. Orang-orang menoleh terkesiap, tapi tak menemukan apapun.

Sampai di ujung belokan, Raia berhenti mendadak. Matanya tertumbuk pada sketsa wajah yang sangat mirip dengannya di dinding usang. Benarkah itu dirinya? Ia teringat perkataan Lily tentang statusnya sebagai buron bagi pembunuh bayaran.

Raia mengamati sekitar, ada lagi persimpangan lain di sana. Tak disangkanya pasar gelap sebegini luas.

Yang menarik perhatiannya adalah sebuah pintu usang di ujung koridor sebelah kiri, dengan kursi dan meja lapuk di sampingnya. Sepertinya itu area terlarang yang tak sembarang orang bisa masuki. 

Tanpa ragu, Raia melangkah ke arah sana. Siapa yang mampu mengalahkannya jika bertarung? Kepercayaan diri meluap dalam benak, merasa dirinya bisa mengalahkan petarung sekuat apapun dari pembunuh bayaran. Meski tubuh fana ini lemah, Raia yakin bisa memaksimalkan kekuatannya.

AstrydiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang