Bagian 15

1.8K 87 2
                                    

Kebebasan tidak pernah menyertai Agnia ketika wanita itu masih tinggal bersama Wirasena

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kebebasan tidak pernah menyertai Agnia ketika wanita itu masih tinggal bersama Wirasena. Semua perkataan pria itu harus selalu dituruti, membuat Agnia secara tidak sadar tumbuh besar menjadi perempuan yang memandang laki-laki sebagai dictator mematikan yang mana harus ia hindari. Saking traumanya dia menghadapi Wirasena yang dominan terhadapnya. 

Kehadiran sang dictator ke rumah mampu menguak masa lalu Agnia yang jauh dari kata enak. Setelah menata buah, membuatkan teh hangat dan mencuci piring, Agnia yang duduk di sebelah Nagata pun masih menunduk, tak berani menatap Wirasena. 

"Pekerjaan aman, Nagata?" tanya Wirasena kepada menantunya. 

"Aman, Pa," jawab Nagata. 

"Tolong didik Agnia dengan baik. Papa ngga mau kejadian kemarin terulang lagi. Mau jadi apa Agnia kalau selalu main ke bar?" 

Isabella yang semula menyimak pun melebarkan mata. "Agnia ke bar?" 

"Cuma ketemu Dina, Ma. Mama ingat Dina, kan? Yang teman Agnia dari SMA itu." Setelah sekian lama diam, akhirnya Agnia pun angkat suara. 

"Bukan masalah teman dari SMA, Ag. Tapi Dina sekarang itu pelacur. Kamu ngga mikir reputasi keluarga Gusti kalau orang-orang tau putri tunggalnya main sama pelacur?" tanya Isabella yang memang selalu sependapat dengan Wirasena. 

"Iya, Ma. Maaf," kata Agnia. 

Nagata terkejut ketika mendengar kata maaf dari bibir Agnia. Bukan hanya itu, ia lebih tak menyangka kalau power Agnia akan selemah ini jika berhadapan dengan Wirasena dan Isabella. Padahal, wanita itu memiliki kuasa sebagai istri Nagata Hastungkara Dierja untuk menyangkal dan melawan. 

"Iya, sayang. Yang penting jangan diulangi," balas Isabella sambil tersenyum manis. "Oh, iya. Kamu masih kerja?" 

"Masih, Ma." 

"Kenapa masih kerja? Kamu lupa nasihat Papa soal perempuan harus duduk diam di rumah dan melayani suami?" Wirasena berujar dengan tatapan penuh intimidasi membuat tangan Agnia yang ada di bawah meja pun memegang paha Nagata, seolah meminta pertolongan. 

"Saya yang mengijinkan Agnia untuk kerja, Pa," jawab Nagata. "Saya membebaskan Agnia untuk mengeksplore dunia luar, asalkan Agnia tidak lupa akan ikatan di antara kita." 

"Nanti istrimu akan semakin liar." Wirasena bersidekap. "Agnia ini tipikal perempuan yang kalau sekali dibebaskan, dia akan ingin bebas selama-lamanya. Dan saya betul-betul membenci perempuan yang seperti itu. Karena mereka menolak kodrat bagaimana semestinya kewajiban perempuan." 

"Kebebasan yang saya berikan itu tetap saya pantau dari kejauhan, sehingga saya bisa bertanggung jawab terkait keliaran Agnia bila seumpama istri saya ini benar-benar liar di masa kebebasannya, Pa." Nagata menjelaskan maksud dari kebebasan yang ia khususkan untuk Agnia. 

"Kalau kamu membebaskan Agnia dalam bekerja, bermain, kapan kalian akan memiliki keturunan?" tanya Wirasena. "Saya menjodohkan kalian itu agar tercipta keturunan antara keluarga Dierja dan keluarga Gusti. Tapi sudah satu tahun menikah, kenapa masih belum ada tanda-tanda kehamilan?" 

Setelah Patah, Mari BerpisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang