Bagian 17

1.4K 74 0
                                    

Terkait dengan rencana pertemuan bulan depan yang akan dilaksanakan di kediaman keluarga Gusti, Nagata menceritakan semuanya kepada Agnia karena mau bagaimanapun hubungan antara Agnia dan Wirasena, wanita itu tetap memiliki hak untuk mengetahui

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Terkait dengan rencana pertemuan bulan depan yang akan dilaksanakan di kediaman keluarga Gusti, Nagata menceritakan semuanya kepada Agnia karena mau bagaimanapun hubungan antara Agnia dan Wirasena, wanita itu tetap memiliki hak untuk mengetahui. Jika Agnia enggan diberitahu karena alasan ia benci kepada Wirasena, maka Nagata berbicara sebagai istri putra kedua keluarga Dierja. 

"Tapi dari sekian banyaknya mansion pejabat, kenapa harus bokap gue?" Agnia yang berdiri dengan kedua tangan yang memegang meja pantry pun bertanya. 

"Karena Papa kamu yang selalu tidak bisa menghadiri pertemuan," jawab Nagata yang duduk di kursi pantry. 

Agnia berdecak lalu menarik kursi agar bisa duduk di hadapan Nagata, meski terhalang meja pantry. "Lo itu harus mempertimbangkan bobot dan bebetnya sebelum memutuskan pertemuan akan diadakan di mana, Nagata! Di kediaman Wirasena I Gusti? Yang bener aja??" 

"Bukan saya yang memutuskan, Nona Agnia." Nagata sebisa mungkin beralibi. "Tetapi pihak anggota dewan yang memang selalu menjadi panitia ketika pertemuan tahunan akan diadakan." 

"Tapi, kan, lo punya power buat ngelarang. Lo tajir, tinggal jejelin aja tuh segepok uang ke mulut panitianya," jawab Agnia yang benar-benar di luar nalar. "Beres, kan?" 

"Mana bisa seperti itu," balas Nagata lalu menyodorkan ikat rambut yang ia rogoh dari saku karena melihat Agnia yang terlihat risih sebab rambut panjang wanita itu sedang diurai. "Rambutnya diikat dulu." 

Agnia pun mengikat rambutnya menjadi satu. Wanita itu terlihat manis malam ini karena mengenakan dress hijau yang panjangnya setengah paha dengan bagian pundak hanya tertutup tali lalu bahu yang terpampang nyata. Dan Nagata yakin seratus persen bahwa istrinya ini tidak mengenakan bra. 

"Tapi kenapa bokap gue bisa setuju?" tanya Agnia dengan bersidekap dan melipat tangannya hati-hati karena putingnya terasa nyeri. 

"Saya juga kurang tahu," jawab Nagata. "Memangnya kenapa kalau setuju?" 

"Lo ngga tau aja!" Agnia mulai berceloteh. "Dulu pas gue SMA tuh jarang banget bisa bawa temen gue ke rumah. Alasannya, ya, karena bokap gue ngelarang. Tapi gue berkali-kali bawa Dina buat langsung ke kamar, gue kompromi sama nyokap, meskipun akhirnya nyokap keceplosan depan bokap dan gue tetep diamuk." 

Nagata mengerjab saat Agnia meringis kala dada wanita itu tak sengaja menempel pada meja pantry. "Dada kamu sakit?" 

Spontan Agnia mendongak. "Iya." 

"Luka atau bagaimana?" 

"Ini efek dari pil kontrasepsi yang gue minum, sih. Puting gue sakit. Makanya gue ngga pakai bra," jawab Agnia. "Bra gue kekecilan, Ta. Gue sebel banget, padahal modelnya bagus-bagus dan limited edition. Lo sih!" 

"Bra yang di lemari itu limited edition?" Nagata bertanya sambil mengajak Agnia untuk berdiri. "Kamu di kamar dulu, saya beliin bra yang baru." 








Setelah Patah, Mari BerpisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang