"Serius lo giniin gue??" Agnia kini bangkit dari duduknya, menatap Nagata yang tiba-tiba mengunci pintu kamar dan mengambil kunci tersebut untuk dimasukkan ke dalam saku.
Agnia terkekeh miris. "Harusnya emang gue sadar dari awal. Ngga mungkin keturunan Dierja menikah tanpa mengambil keuntungan. Tapi emang gue aja yang bodoh."
"Kamu harus mendengar penjelasan saya. Saya paparkan dari awal sampai akhir kenapa saya harus menangkap Papa kamu, Agnia," kata Nagata dengan nada lembut.
"NGGAK!" Agnia berteriak. Ia bahkan mengambil vas lalu membantingnya tepat di hadapan Nagata dengan pipi yang basah akan air mata. "LO BAJINGAN! GUE NGGA SUDI DENGERIN PENJELASAN BRENGSEK LO ITU!"
Meski menangis, mata Agnia tetap menyala-nyala, mengisyaratkan kekecewaan dan ribuan dendam yang menumpuk. Keinginannya untuk menghancurkan manusia di hadapannya ini sungguh berada di ujung tanduk, kemudian mencabik-cabik dan membuang mayatnya di hadapan Neo agar disantap.
Semua emosi yang ada di dalam diri Agnia diluapkan dengan cara membanting-banting barang yang ada di kamar. Buku yang tertata di rak pun berserakan, begitu pula printilan-printilan barang milik Nagata yang ada di meja kerja. Otak Agnia benar-benar dipenuhi dengan segala kejadian-kejadian yang mungkin terjadi jika Nagata menangkap Wirasena.
Sebrengsek-brengseknya Wirasena, kebrengsekan Nagata jauh di atasnya.
Akan tetapi, Agnia tidak boleh terisak di hadapan Nagata, meski pipinya saat ini sudah basah akan air mata. Ia melangkah menyeruak di antara buku-buku yang berserak di lantai, lalu menampar pipi Nagata hingga bunyinya menggelegar ke ruang kedap suara itu.
Nagata tidak mempermasalahkan dengan apapun respon Agnia, karena ia sudah menduga kalau respon wanita itu memang kurang lebih seperti sekarang. Melihat tatapannya, air matanya, ingin sekali Nagata memeluknya. Tapi manusia bejat ini apakah dimaafkan olehnya setelah merealisasikan perbuatan keji yang begitu melukai?
"Biar saya jelaskan dulu, Agnia," kata Nagata setelah ditampar.
Agnia menajam. Ia mencengkeram kerah baju Nagata dengan tatapan penuh kebencian. "Sekali bangsat tetap bangsat! Lo itu buruk, menjijikkan! Tapi lo bisa terlihat baik di depan semua orang karena lo keturunan Dierja! Tapi buat gue, lo tetep menjijikkan! Sikap lo ke gue, cara lo menghadapi gue, hanyalah citra biar lo bisa ngulik Papa gue dari gue!"
"Ini bukan tentang pernikahan kita, tapi tentang kenapa saya harus menangkap Papa kamu."
"Kenapa? Kenapa cuma tentang itu aja? Lo pikir pernikahan kita ngga kena imbas?" Agnia bertanya dengan tangan yang masih mencengkeram kerah Nagata. "Yang ada di otak lo, kan, emang cuma nangkap bokap gue. Bonusnya lo bisa make gue kapan aja. Iya, kan, Tuan Nagata?"
Nagata akhirnya mengalah. Ia membiarkan Agnia lebih dulu mengungkapkan segala uneg-unegnya.
"Ini malah gue yang terlihat menjijikkan," kata Agnia lagi. Tetapi cengkramannya sudah terlepas. "Gue ngga beda jauh dari pelacur."
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Patah, Mari Berpisah
General FictionNagata memanfaatkan pernikahannya dengan Agnia untuk menangkap ayah mertuanya yang menggelapkan dana bantuan sosial. Awal-awal pernikahan memang tidak mudah karena menghadapi karakter Agnia yang emosian, keras kepala dan ingin menang sendiri. Namun...