Menutupi matanya yang sembab, pagi ini Agnia memutuskan untuk memakai make up. Ia susah payah memoles area mata agar tidak terlihat bengkak, kemudian mengenakan mascara dan eyeliner. Tangannya dengan lihai memoles wajah, seolah ini adalah rutinitas yang selalu dilakukan olehnya."Udah cakep." Agnia langsung memuji diri sendiri saat kedua matanya terlihat lentik dan memukau.
Karena di sini tidak ada setelan coquette, Agnia memakai celana kaos putih dirangkapi blazer dengan bawahan celana hitam. Rambutnya yang selalu digerai pun mendadak diikat, menambah kesan dewasa pada wajahnya.
Embusan napas berat pun terdengar. "Tenang, Pa. Agni mau kerja dulu, siapa tau ntar dapet solusi buat bebasin Papa," monolognya lalu tersenyum tipis.
Saat hendak bangkit, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Nagata masuk dengan setelan kantornya. Disertai kaca mata minus yang melekat, lalu rambutnya yang mullet seperti biasa.
"Kamu jangan kerja," kata Nagata tiba-tiba.
Agnia tersenyum remeh. "Ngga usah ngatur. Lo mungkin bisa nyegah gue buat ngga cerai, tapi lo ngga bakalan bisa ngatur-ngatur gue, Nagata."
"Ini demi kebaikan kamu, Agnia. Keadaan di luar masih kacau-balau. Berita Papa kamu yang menyebar itu bisa menyebabkan kamu diseret wartawan untuk klarifikasi terkait kebenarannya," papar Nagata dengan nada yang masih enak didengar.
Agnia bangkit dari duduknya dan berdiri di hadapan Nagata. "Itu urusan gue, Ta. Lo, selaku pihak yang merencanakan penangkapan bokap gue, dilarang ikut campur terhadap apa yang bakal gue lakuin."
"Jangan keras kepala. Saya begini demi keselamatan kamu. Saya ngga ingin kamu diserang orang-orang, Agnia. Tolong nurut, sekali ini saja." Nagata melirih, memohon kepada istrinya.
Tatapan benci dari Agnia tetap terpancar untuk Nagata. Niat baik Nagata yang tidak ingin ia diserang pun tetap mendapatkan dendam buruk darinya, saking sakit hatinya ia ketika mengingat bahwa yang menjebloskan Wirasena ke penjara adalah suaminya sendiri.
___________
Karena tidak memiliki power, Agnia manut, dengan syarat bahwa ia maunya ditemani Argani untuk mengobrol. Nagata menyetujui. Ia sedikit memberi pengertian pada adik bungsunya, sebelum akhirnya si bungsu itu mau menuruti keinginannya. Begitu Agnia sudah aman bersama Argani, Nagata pun menuju ke tempat di mana Wirasena diinterogasi.
Ketika sampai, Nagata langsung sujud di hadapan Wirasena dengan kedua tangannya memegang kaki pria itu. "Maafkan Gata, Pa," ucapnya dengan punggung bergetar.
Wirasena menatap menantunya tanpa ekspresi. Sampai detik selanjutnya ia menyentuh punggung Nagata, menandakan bahwa ia memaafkan, sebelum akhirnya memerintahkan putranya itu untuk bangkit dan duduk di hadapannya agar mereka bisa mengobrol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Patah, Mari Berpisah
General FictionNagata memanfaatkan pernikahannya dengan Agnia untuk menangkap ayah mertuanya yang menggelapkan dana bantuan sosial. Awal-awal pernikahan memang tidak mudah karena menghadapi karakter Agnia yang emosian, keras kepala dan ingin menang sendiri. Namun...