Sekali dipatahkan, sangat susah bagi Agnia untuk memaafkan. Akan tetapi, penyangkalan perihal memaafkan masih bisa dilakukan sesuai dengan permintaan Wirasena sebelum Papanya itu benar-benar mendekam di penjara. Akhirnya, Agnia mengobrol dengan Nagata di kamar pria itu, di mana mereka berdua masih berada dalam ruang lingkup mansion Dierja.
"Habis berapa banyak lo buat ngusahain bokap gue biar kurun waktu penjaranya cuma sebentar?" tanya Agnia yang saat ini sudah duduk di sofa kamar, sementara Nagata di tepi kasur.
"Empat ratus," jawab Nagata. "Tadi saya juga marah-marah ke kantor dewan, tapi mereka ngga bisa mengusahakan, sebelum akhirnya saya usaha sendiri."
"Meskipun lo udah mengusahakan , tapi lo tetep aja salah karena memanfaatkan gue, Ta," kata Agnia yang masih tak terima bahwa dirinya dimanfaatkan. "Gue benci dimanfaatin asal lo tau."
"Iya, Agnia. Maafkan saya."
"Gue ngerasa ngga punya power sama sekali di depan keluarga lo."
"Kamu punya power, tapi Dierja bukan tandingannya." Nagata menjawab dengan lembut. "Dan semua kejadian ini, saya yang salah, Agnia."
"Emang lo yang salah," ceplos Agnia. "Bisa-bisanya lo memanfaatkan perempuan secantik gue buat nangkap bokap gue? Ya, bokap gue emang salah, sih. Tapi dia ngga seratus persen salah kok. Harusnya lo kalo mau nangkap bokap gue, ya, tangkap aja. Tapi jangan pake nikahin gue segala. Singkirin dulu percintaan lo demi penyelidikan. Jangan malah nrabas semuanya. Dikira gue yang lo trabas tanpa permisi ini ngga sakit hati?"
Nagata menunduk sambil mendengarkan penuturan Agnia.
"Tapi acting lo bagus juga. Gue yang biasanya bisa jadi intel dadakan aja percaya loh. Emang orang KPK kalo kerja, tuh, jadi apa aja bisa, ya." Agnia tertawa renyah lalu diam ketika sadar kalau dia sudah memperlihatkan sikapnya yang seperti biasa.
"Maafkan saya, Agnia." Lagi-lagi Nagata meminta maaf. Karena tidak ada yang bisa ia lakukan selain meminta maaf agar hubungan mereka tidak terurai berantakan.
"Gue udah maafin lo, Ta. Tapi, ya, balik lagi ke awal, gue ngga bisa kalo pernikahan ini lanjut," jawab Agnia yang memancing pilu dari Nagata. "Ngga ada solusi buat hubungan kita."
"Ada," sahut Nagata cepat. "Kita bisa berbenah."
"Tidak ada yang bisa dibenahi, Nagata. Hati gue udah patah."
"Maka dari itu, setelah patah, mari berbenah. Bukan berpisah."
"Mana bisa kayak gitu??" Agnia nyolot tak terima. "Sumpah, ya, lo itu kenapa selalu memaksakan kehendak, sih??"
"Saya bukan memaksa, tapi memberi solusi. Tidak semua yang patah berakhir pisah, Agnia." Nagata merendahkan ucapannya agar Agnia tak lagi nyolot.
"Tapi ngga semua patah bisa dibenahi tuh," balas Agnia santai. "Apa yang mau lo benahi? Gue? Ngga bakalan bisa! Lihat aja, gue bakalan semakin brutal ke depannya! Jadi, daripada lo pusing ngadepin gue, mending pisah aja ngga sih?"
"Tidak."
"Ta!" Agnia berseru kesal.
"Tidak."
"TERUS APA YANG MUSTI DIBENAHI, SIH???" teriak Agnia saking dongkolnya dengan Nagata. "Lagian kalo cerai pun yang rugi juga gue. Gue udah ngga perawan. Lah elo? Masih kayak biasanya, kan? Harusnya lo itu iyain--"
"Stop, Agnia. Saya ngga mau pisah," sela Nagata.
"GUE MAU PISAH!"
Nagata bangkit dari duduknya lalu berdiri di hadapan Agnia. "Coba bilang sekali lagi."
"Gue mau pisah! Pisah! Masih kurang jelas????"
Bukannya menjawab, Nagata justru membungkuk dan melumat bibir Agnia. Ia membenarkan posisi untuk duduk di sebelah istrinya dengan bibir mereka yang masih menyatu. Tangannya berada di tengkuk dan pinggang Agnia, sementara kedua tangan Agnia memegang dada bidangnya. Ciuman berakhir ketika napas Agnia terengah-engah. Wanita itu sedikit mendorong Nagata agar tidak terlalu dekat.
"Saya ngga mau pisah," kata Nagata.
Agnia berdecak. Ia hendak bangkit, namun tubuhnya langsung ditarik Nagata hingga kembali terbanting ke sofa. Nagata kembali melumat bibir Agnia yang terkapar, dengan tangannya yang membuka kancing kemeja hingga menampilkan bra yang dihiasi renda berwarna merah tua.
Lumatan mereka terhenti saat Agnia mendesah karena payudaranya diremas oleh Nagata. Wanita itu mendongakkan kepala, merasakan sensasi panas karena Nagata terus bermain di payudaranya.
"Masih mau cerai?" tanya Nagata di sela remasannya.
"Anjing lo," umpat Agnia sambil terkekeh kecil. Ia yang ingin balas dendam pun memegang milik Nagata yang masih tertutup celana. "Ayo cerai," ucapnya membuat Nagata semakin naik pitam dibuatnya.
Detik berikutnya, Nagata langsung menguasai Agnia. Ia mengukung, tak membiarkan Agnia mengambil alih. Emosinya diluapkan lewat penyatuan, dan sialnya, Agnia selalu menggodanya lewat kalimat-kalimat bahwa wanita itu ingin bercerai. Alhasil, Nagata main kasar. Tetapi Agnia menikmati. Meskipun tubuhnya ditusuk-tusuk oleh Nagata, wanita itu tetap membiarkan suaminya mendominasi karena sejujurnya gairahnya juga berada di puncak.
Ketika mereka mencoba melakukannya sambil berdiri, Agnia tidak kuat membuat Nagata menyangga tubuhnya sambil melakukan gerakan maju mundur. Tapi posisi tersebut tidak bertahan lama, sebab Agnia meminta sebaiknya ia berbaring saja. Mana mungkin Nagata menolak permintaan dari belahan jiwanya?
Penyatuan ini, bagi Nagata, merupakan puncak dari penyatuan yang dilakukan pada hari-hari sebelumnya. Ini yang paling nyata, dan menggairahkan. Tak heran jika dirinya sangat mencintai Agnia. Ia bahkan dengan senang hati membersihkan tubuh Agnia setelah mereka bercinta, memakaikan pakaian, serta membuatkannya seduhan hangat. Intinya, kenyamanan Agnia setelah bercinta adalah prioritas utamanya.
"Sumpah, lo kasar banget, Ta," sebal Agnia yang kini berdiri di depan cermin dengan mengenakan daster mini.
"Makanya jangan mancing," jawab Nagata sambil mengeringkan rambut Agnia.
"Siapa juga yang mancing? Tadi gue pake baju yang paling sopan, loh, Ta. Lo aja yang nafsuan." Agnia protes tak terima.
"Kamu minta pisah mulu, itu yang saya ngga suka, Agnia," jelas Nagata. "Demi apapun, saya ini sangat cinta kamu. Bagaimana bisa saya pisah dengan kamu yang bahkan sudah saya idam-idamkan dari dulu?"
Agnia yang menolak salah tingkah pun langsung memutar bola mata. "Habis ini beliin donat."
Nagata pun menahan senyum dengan alis tertaut. "Baik, Tuan Putri."
Keputusan Nagata yang meminta berbenah ternyata tidak buruk juga. Pria itu memperlakukan Agnia jauh lebih baik dari sebelumnya. Agnia seperti ratu, yang mana rakyatnya hanya Nagata.
Sungguh, sebelum memutuskan hendak berpisah setelah patah, lebih baik coba benahi dulu apa penyebab yang mengakibatkan patah.
Karena setelah patah, mari berbenah itu lebih baik dibandingkan setelah patah, mari berpisah.
__________
END
_________
Masih ada satu bab lagi
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Patah, Mari Berpisah
General FictionNagata memanfaatkan pernikahannya dengan Agnia untuk menangkap ayah mertuanya yang menggelapkan dana bantuan sosial. Awal-awal pernikahan memang tidak mudah karena menghadapi karakter Agnia yang emosian, keras kepala dan ingin menang sendiri. Namun...