◇
"Aku harus bagaimana sekarang?"
Seokjin bertanya pada Namjoon melalui panggilan ponsel mereka yang terhubung dengan nada frustasi. Seokjin membanting tubuhnya ke sandaran kursi mobil. Ia baru saja kembali dari kantor agensinya tetapi Seokjin rasanya tidak ingin kembali ke apartemennya. Biasanya alasan Seokjin ingin pulang cepat adalah ingin istirahat bersama dengan Soobin. Namun, sekarang Soobin sedang tidak ada di apartemennya.
Ya. Sehari setelah memberitahukan pada Soobin mengenai hubungan Namjoon dan Seokjin itu, putranya meminta menginap selama beberapa hari di rumah neneknya.
Seokjin tak bisa menolak permintaan dari Soobin saat melihat putranya itu meminta dengan pandangan yang sendu. Sudah dua malam Soobin menginap di Gwacheon dan Seokjin rasanya hampir gila. Setidaknya ia tidak terlalu khawatir karena ibunya pasti akan mengurus Soobin dan memastikan sekolahnya berjalan dengan baik. Namun, Seokjin tak bisa menyingkirkan pikirannya yang merasa sangat sedih.
"Soobin membutuhkan waktu, Sayang. Kau dan aku tidak bisa memaksanya menerima hal itu dengan cepat. Soobin senang tetapi dia pasti sangat terkejut"
Ya. setidaknya hal itu benar. Soobin bukan tak menerima hubungannya dengan sang Ayah. Soobin hanya terkejut saja. Lagipula juga Soobin masih tergolong anak-anak. Ia pasti membutuhkan waktu menerima itu.
"Aku tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan anak kita" lanjut Seokjin kini mengeluh pada Namjoon lagi.
"Soobin anak kita, Seokjin. Dia menerima hubungan kita, dia hanya terlalu terkejut. Laki-laki memang seperti itu. Soobin butuh waktu untuk menyesuaikan dirinya dengan semua ini. Kau jangan terlalu memikirkan hal ini terlalu berat yang bisa berdampak pada kesehatanmu sendiri"
Namjoon memang menceramahi Seokjin dengan panjang lebar sedari tadi. Baginya kekhawatiran Seokjin tidak berdasar. Sejak awal Namjoon begitu tenang membiarkan Soobin menginap di Gwacheon, berbeda dengan Seokjin.
"Kau Ayahnya, makanya kau bisa berkata seperti itu dengan mudah!" geram Seokjin menanggapi ucapan Namjoon. "Tapi aku ini Ibunya, Namjoon! Aku punya rasa khawatir yang jauh lebih besar pada anakku!"
Mobil Seokjin yang dikendarai Jungkook itu mendadak ramai karena tingginya suara Seokjin berbicara pada Namjoon melalui ponsel. Jungkook melirik melalui spion atas mobil untuk melihat kondisi Seokjin saat ini. Sepupunya tampak sangat kesal.
"Baiklah. Kau benar, Seokjin..." tanggap Namjoon pasrah melalui panggilan itu. "Maaf aku merendahkan kekhawatiranmu"
Seokjin tak bermaksud mengajak Namjoon bertengkar di situasi seperti ini. Ia sangat membutuhkan Namjoon sekarang.
"Tidak, Namjoon!" tolak Seokjin menyesal. "Aku tidak bermaksud membandingkan rasa sayang kita pada Soobin"
"Tidak apa-apa, Sayang" balas Namjoon. "Aku mengerti perasaanmu sekarang ini. Seorang Ibu pasti punya kecemasan dan kekhawatiran lebih pada anaknya. Aku bisa mengerti hal itu"
Seokjin tidak akan bosan bersyukur kalau pria yang hadir di kehidupannya sekarang ini adalah seorang Kim Namjoon. Pria yang penyayang dan penuh pengertian itu tidak pernah menyerah untuknya dan juga untuk anak mereka berdua.
"Aku masih ada urusan kunjungan kerja di Ulsan mungkin sampai besok siang" lanjut Namjoon berbicara. "Aku akan segera ke Seoul setelah selesai. Kita bisa ke rumah orang tuamu untuk menemui Soobin di sana. Bagaimana, Sayang?"
"Baiklah" jawab Seokjin lalu menyetujui ide yang Namjoon sampaikan barusan dengan suaranya yang sudah terdengar pasrah.
Seokjin terdiam menatap ponselnya yang menampilkan layar panggilannya dengan Namjoon. Pikirannya campur aduk hanya bisa memikirkan kondisi putranya seharian ini. Seokjin seharusnya tadi menuangkan gagasannya dalam rapat untuk kontrak iklan dengan brand minuman. Namun, ia tak bisa memikirkan apapun dan hanya diam karena kepalanya sudah penuh akan kekhawatiran terhadap Soobin.