Bagian Dua Puluh Dua

25 7 1
                                    

Vote dan komen, yaa 😇😇

💍💍💍


Siapa saja setuju jika waktu menjadi satu-satunya hal yang paling egois di dunia ini. Terus menggulir tanpa memikirkan bagaimana manusia bersiap untuk menyelesaikan masalah dalam hidupnya yang kian bising.

Seperti baru kemarin Kala datang ke acara pelantikan Dora, ternyata hari sudah terlalui satu minggu tanpa terasa. Kala masih melakukan hal monoton itu dalam hidupnya. Bekerja dan kembali ke rumah. Lalu mendengarkan omelan sang ibu tentang tes seleksi itu lagi.

Sungguh Kala sudah melakukan segala yang dia bisa di setiap proses seleksi yang diikuti ribuan manusia di Indonesia ini.

Pada hasil yang dia dapatkan, nilainya tidak terlalu buruk, bahkan dia tersaring dalam lima puluh besar peserta yang berkemungkinan akan terpilih.

Namun siapa yang bisa menebak, bahwa nilai bagus pun akan kalah pada sesuatu yang lebih dibutuhkan di dunia ini?

Jangankan meminta orang tuanya untuk melakukan apa yang orang tua Dora sudah tunaikan, Kala bahkan tidak berani mengatakan jika dia mungkin akan gagal meski masuk dalam lima puluh besar terbaik.

Dan berakhirlah Kala pada kegagalan yang kesekian kalinya. Kegagalan yang tidak pernah dia sesali karena sudah berusaha semaksimal mungkin.

Meski dikenyataannya, telinga yang biasanya hanya menderu kalimat perintah kini harus siap menampung segala pernyataan sarkas yang sarat akan singgungan tentang kegagalannya.

Rasa bersalah itu muncul begitu besar dalam diri Kala. Ada gunung rasa tak berguna yang meledak di dalam kepalanya. Kala jadi kesulitan memejamkan mata saat malam, napsu makannya menguap dan hanya menyuap nasi agar perutnya tidak lapar.

Berkumpul berama keluarga menjadi momok yang menakutkan dalam setiap waktunya. Kala terus mendapat perhatian lebih dari sang ibu. Perhatian yang tidak terlalu Kala harapkan dan dari hatinya yang sudah terlalu penat ini begitu berharap, semoga segera berakhir.

Seperti malam ini! Bukankah malam yang begitu langka karena semua anggota dalam keluarganya berkumpul untuk makan malam.

Inggil dan ayahnya juga duduk dengan tangan terus menyendok nasi, meski sering kali melewatkan makan malam keluarga karena pekerjaan. Kursi di meja makan benar-benar penuh terisi oleh penghuninya.

"Satu bulan lagi Riri mau Australia," mulai ibunya dengan nada bahagia. "Warga di sini sudah heboh sama keberangkatan Riri lho, pak. Lha wong ini kali pertama anak komplek sini bisa kuliah ke luar negeri. Jalur undangan lho."

Alarm di kepala Kala berdenting nyaring. Makanan yang hampir tercerna malah tertahan di tenggorokan. Belum apa-apa, Kala sudah merasa sesak. Dia yang akan menjadi topik paling akhir setelah Ratri dan Inggil.

Lihat saja, akan bagaimana kali ini kalimat sang ibu membuatnya terkurung di jurang rasa bersalah dan tidak berguna.

"Mas Inggil juga beberapa bulan lagi dilantik jadi kepala dinas. Udah banyak yang bilang kalau kamu itu kepala dinas termuda lho, mas."

Wow, sungguh dua anak yang sangat membanggakan.

Tak ada yang bisa memaksa Kala untuk mendongakkan kepalanya sekarang. Hatinya terlalu ciut untuk sekadar melihat keluarganya yang kini pasti sedang saling melempar pandangan bangga.

"Lha kamu kapan mau meningkatkan diri, Kal? Gak isin a karo mas dan Riri? Tinggal kamu lho yang masih belum jadi apa-apa. Kapan kamu mau membanggakan ibu sama bapak yang udah susah payah nyekolahin kamu ini?"

Lembayung Kesukaan SanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang