Bagian Tiga Puluh (Tamat)

56 7 6
                                    

Sudah berkali-kali Sangga hanya menyentuh tombol tunda pada tiap bunyi alarm yang dia pasang untuk membantunya bangun dari lelap. Dan pada menit ke sepuluh, alarm itu Kembali berbunyi nyaring memekkan. Tapi, pria itu masih dengan nyaman bergelung di bawah selimut.

Hari ini, dia sengaja mengosongkan jadwal hanya untuk bersantai di rumah karena tidak ingin melakukan apa pun setelah Kembali dari Australia dua minggu lalu.

Sangga bahkan tidak bisa beristirahat meski baru saja sampai dari negeri kanguru itu. Jadwalnya sudah sangat padat sebab beberapa pekerjaan tertunda selama dia berada di sana.

Tenaga Sangga terkuras habis. Meski demikian, dia bahkan sudah merencakan kepergiannya Kembali ke Australia akhir bulan ini.

Ah, dia tidak bisa berlama-lama hidup berjauhan dengan seseorang yang selama ini menjadi tempat Sangga menghilangkan segala pikiran dan rasa stress yang munculnya tak bertanda.

"Mas Sangga, ayo bangun. Kita sarapan bareng, yuk."

Astaga! Suara lembut itu masuk dengan begitu indah ke dalam mimpinya. Ternyata waktu dua minggu sudah terasa begitu lama sampai membuat Sangga terus mengingat bagaimana suara itu selalu membangunkannya saat berada di Australia.

Sial! Kenapa dia harus membuat program beasiswa yang juga terbuka untuk umum? Dia terjebak oleh idenya sendiri.

"Sayang, buka matanya."

Dua kali! Apa mimpi bisa seakurat ini memberikan sensasi sentuhan di pipinya? Sangga bahkan bisa merasakan rasa dingin yang menjalar saat sentuhan itu memberikan belaian.

Pelan, Sangga membuka matanya untuk menyesuaikan Cahaya yang mulai masuk di jendela berkaca besar dari kamarnya.

Senyuman itu menjadi yang pertama terlihat saat samar maniknya mulai menangkap segala hal yang ada di depannya. Sangga terlonjak dari tempatnya tidur, pria itu terduduk dan membuka matanya terlalu lebar sesaat menyadari bahwa suara itu nyata dari Perempuan yang sangat dia rindukan.

"Nduk!" panggilnya masih ragu.

Kekehan itu terdengar begitu renyah. "Hai, mas Sangga," Perempuan itu melambaikan tangan dengan senyuman lebar. "Aku pulang."

"Kok kamu bisa pulang sekarang? Mas bilang kan bakal jemput kamu. Tapi kamu kan harusnya pulang masih bulan depan. Dua minggu lagi mas berencana mau nengokin kamu lagi, nduk. Kenapa kamu bisa ada di sini?"

Perempuan itu semakin terbahak melihat ekspresi Sangga yang terlihat kelabakan dan kebingungan.

"Jadi kamu gak seneng aku pulang?" tanya Kala dengan bibir tersungut yang dibuat-buat.

"Gak, gak. Bukan gitu. Kamu harusnya gak pulang sendirian. Bahaya! Mas jemput seharusnya akan lebih baik."

"Sayang," Perempuan itu menangkupkan kedua telapaknya di pipi pria yang sekarang bisa fokus melihatnya. "Aku bisa pulang sendiri. Kamu yang terlalu khawatir. Lihat! Aku baik-baik aja sampai rumah, kan?"

Wajah Sangga melembut dari ketegangan. Tangannya terangkat untuk bisa menyentuh lengan halus milik Kala.

"Mas kangen banget sama kamu, Lembayung. Gimana ceritanya bisa pulang satu bulan lebih awal?"

"Aku bohongin kamu. Tesisku selesai lebih cepat dan sidangnya sudah dilakukan saat kamu masih di sana. Aku yang sekarang mau jemput kamu, biar kita sama-sama berangkat lagi ke Australia untuk wisudaku."

Ada hempasan napas lega yang pria itu loloskan dari mulut pria itu. Kala memeluk SAngga untuk menghilangkan rasa cemas yang sepertinya masih membuatnya merasa bersalah.

"Aku kangen banget sama suamiku ini. Setelah ini jangan jauhan lagi, ya."

Anggukan terasa di bahu Kala. Lengan besar pria itu kini ikut merangkumnya. Hangat, sangat menenangkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lembayung Kesukaan SanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang