Bagian Dua Puluh Tujuh

35 7 0
                                    

Makin deket deadline makin lambat progressnya, Arrrrgggghhhh 😵‍💫😵‍💫

💍💍💍

Lama Kala hanya berdiri di seberang jalan, melihat ke arah rumahnya yang masih ramai oleh teman-teman ibunya yang melakukan kunjungan rutin untuk ngobrol di minggu pagi menjelang siang ini.

Kala tidak tau bagaimana perasaan sang ibu sekarang, melihat senyumannya, pasti ada rasa kekhawatiran yang beliau rasakan. Mengingat ibunya selalu menanyakan kabar anak-anaknya setiap bepergian jauh atau belum sampai di rumah saat jam pulang sudah terlewat.

Sebenarnya, dia sering bertengkar kecil dengan sang ibu. Lalu, berbaikan beberapa hari kemudian setelah ibunya mau menyapa. Karena seperti yang Kala bilang, ibunya selalu memberi ruang pada diam saat pertengkaran mereka berdua terjadi.

Kala sering tak sapa dan hanya dibiarkan saat bertanya. Hanya pada Kala dan tidak pada kedua saudaranya.

Dan puncaknya terjadi dalam pertengkaran hebat dua hari lalu. Kala sudah tidak bisa menahan diri dan meluapkan segala kekesalannya yang terpendam selama ini.

Sungguh bukan inginnya. Namun, semua sudah terlanjur terjadi.

"Mantuk riyen nggih, nduk. Mas anterin kalau kamu bersedia," ujar Sangga saat mereka mulai menikmati siaran TV waktu itu.

Ada rasa takut yang sekarang bersarang di kepala Kala. Ketakutan jika sang ibu tak akan menyapanya meski Kala sudah pergi dari rumah beberapa hari. Ketakutan tak akan di pedulikan oleh ibunya saat dia kembali.

"Pean gak seneng aku neng kene a?"

"Bukan gitu. Tapi orang tua kamu pasti khawatir, nduk. Pulang dan lihat dulu keadaan rumah, ya."

Berkat dorongan yang Sangga berikan, Kala akhirnya memberanikan diri untuk pulang ke rumah yang sudah menjadi tempatnya berteduh sejak bayi.

Gadis itu membuka kacamata hitamnya dan bersiap untuk berjalan menuju rumahnya setelah melihat para tetangganya satu per satu kembali ke kediaman mereka masing-masing.

"Aku pulang," salam Kala saat memasuki ambang pintu rumahnya.

Sang ibu yang baru saja masuk langsung menoleh dengan binar wajah yang tidak bisa disembunyikan. Sungguh hal luar biasa yang tidak pernah Kala bayangkan.

"Ya ampun, mbak!" sang ibu mendekat. "Akhirnya kamu pulang."

Segala kemungkinan buruk yang ada di kepala Kala sirna tak bersisa. Pelukan hangat dari sang ibu mengalir sempurna ke sepasang manik Kala yang merasakan hal serupa.

"Maafin aku ya, buk." Kala tau dia tak salah sepenuhnya, tapi rasanya mengucapkan maaf pada sang ibu terdengar jauh lebih benar.

Pelukan mereka terurai. Wajah sang ibu nampak memerah karena airmata yang ditahannya untuk tumpah. Kecupan singkat mendarat beberapa kali di pipi Kala dan ciuman dari sang ibu terasa begitu menenangkan.

"Sudah, sudah. Ayo, masuk! Kita makan siang sama-sama. Ibu masak banyak hari ini."

Kala menganggukkan kepalanya dengan begitu semangat.

"Halo, semuaaa. Mbak Kala pulang. Ayo, kita makan siang sama-sama."

Suara lantang sang ibu membuat semua orang di rumah itu menampakkan diri dari tempat mereka bersembunyi.

Sang ayah tergopoh dari taman belakang rumah, Inggil keluar dari kamar mandi dengan celana pendeknya dan Ratri yang sudah berteriak sambil menubruknya dengan pelukan dari arah kamar.

Lembayung Kesukaan SanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang