Bagian Dua Puluh Sembilan

28 8 0
                                    

Kala sudah berlari dari lobby bandara yang terpenuhi oleh banyak orang yang hendak berpergian itu.

Hari ini Ratri akan berangkat ke Autralia dan sialnya Kala sudah terlambat dating karena bangun kesiangan. Tersebab dirinya yang harus menyelesaikan perangkat belajar demi kebutuhan akreditasi sekolah, Kala harus lembur sampai membuat dirinya hanya tidur menjelang subuh tiba.

Alhasil, Kala sekarang harus terburu-buru agar tidak ketinggalan keberangakatan Ratri. Keluarganya sudah lebih dulu pergi dan tentu saja setiap menit perjalannya menuju bandara dihiasi dengan pesan dari sang Ibu yang menyuruhnya untuk cepat sampai.

"Mbak Kala!"

Suara nyaring Ratri membuat Kala menoleh dan langsung mempercepat langkahnya menuju tempat keluarganya berada.

"Ya ampun, maaf aku terlambat," ucap Kala bersungguh-sungguh.

"Masih lima belas menit lagi," Inggil melirik jam tangannya. "Kamu masih punya banyak waktu buat ketemu Riri," sambung sang kakak dengan wajah datar.

Kala mengangguk setelah menghempaskan napas lega karena masih bisa melihat dan memberi wejangan sedikit panjang untuk adiknya itu.

Tapi, tunggu dulu, ada yang salah di sini. Kenapa hanya Inggil yang sepertinya memberikan perhatian terhadapnya saat ini? Ibu, bapak dan Ratri bahkan dengan terang-terangkan memfokuskan diri pada hal lain.

"Ini, bukannya pak Sangga, ya?" tanya Ratri sambil menunjuk Seberang bahu Kala.

Astaga! Kala melupakan sesuatu di belakang tubuhnya. Pria itu sudah mengangguk dengan senyuman ramah saat Kala membalikkan tubuh. Karena terburu-buru, Kala jadi lupa jika menelpon Sangga untuk mengantarnya ke bandara.

Dan saat keluar dari mobil, sepertinya Kala tidak mengajak pria itu untuk turun bersamanya. Tapi bukan SAngga jika rasa khawatir tentang Kala bisa berkurang hanya karena dua tahun lagi gadis itu berusia tiga puluh tahun. Kala yakin, Sangga berinisiatif sendiri untuk mengikutinya sampai ke terminal tempat Ratri akan berangkat.

"Perkenalkan, Pak, Buk. Saya Sangga Bumi Kaindra," sapa pria itu mengambil tempat sedikit maju di depan Kala. "Halo, Riri. Semoga perjalanan kamu lancar sampai ke Australia. Ngomong-ngomong, nama panggilan kamu sama seperti adik saya," sambung pria itu dengan penuh semangat.

"Pak, Buk. Platform mengajar Pak Sangga ini yang membantu aku bisa lulus kuliah di Australia." Ratri Nampak begitu bersemangat memperkenalkan.

Bapak dan ibunya tak menjawab. Dua pasang mata suami istri itu masih fokus pada pria yang sepertinya tidak kehilangan kepercayaan diri meski mendapat tatapan intimidasi. Lihat betapa lebar senyuman yang masih mengembang itu!

"Jadi, mas juga harus mengenalkan pacar mas ke bapak ibu, Kal?"

Kala menoleh ke arah Inggil yang berbisik di sampingnya dengan wajah berkerut bingung. "Lha kenapa?"

"Mas gak mau keduluan kamu yang nikah. Nanti mas jadi bujang tua."

Jawaban Inggil sangat di luar perkiraan. Apa sang kakak Kembali menemukan dirinya yang dulu setelah kepergian Kala beberapa minggu ini? Jadi, sejak kapan Inggil dewasa menjadi banyak bicara?

***

Kala duduk berdampingan dengan Sangga yang menegakkan tubuhnya, bukan karena tegang tapi lebih ingin terlihat sopan di depan kedua orang tua Kala yang nyaris tidak mengalihkan pandangan darinya satu sekon pun.

Inggil yang duduk sendirian berdeham sekilas, berhasil membuat Kala melirik. Dilihatnya sang kakak yang memberi kode dengan isyarat mata agar segera memperkenalkan Sangga pada kedua orang tua mereka.

Lembayung Kesukaan SanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang