Langkah Kala mengayun ringan menuju sebuah unit apartemen yang menjadi tempatnya tinggal beberapa hari ini.
Setelah kembali berdebat dengan sang ibu yang masih belum memberikan izin padanya untuk pindah tempat tinggal, Kala akhirnya memutuskan untuk tetap pergi dari rumah dengan restu dari sang ayah.
Ibunya mengomel panjang meski Kala sudah dengan sangat sopan mencium punggung tangan wanita yang melahirkannya itu sebelum pergi.
Niat Kala untuk tinggal sendiri tiba-tiba tercetus setelah merasakan betapa nyamannya apartemen milik Sangga itu. Bukan bermaksud menghindari sang ibu, sepertinya tinggal sendiri menjadi salah satu solusi agar Kala tidak merasakan hal-hal buruk yang selama ini dia rasakan saat di rumah.
Kala ingin rindu selalu memeluknya saat ada kata rumah terbersit di sana. Biarlah seperti ini. Mungkin akan lebih baik demikian.
"Aku punya ide yang sangat bagus," ujar Kala di pagi yang sudah mulai menampakkan cahayanya waktu itu.
"Apa?" Pria yang baru saja mengemas piring yang tadi mereka pakai untuk menikmati kue ulang tahun.
"Aku suka apartemen ini. Pas untuk menenangkan pikiran dan sangat luas untuk aku yang sering tinggal di ruangan kecil."
Sangga memiringkan kepalanya dengan wajah berkerut masih belum mengerti dengan arah pembicaraan yang Kala bawa.
"Akan lebih baik apartemen sebesar ini bukan cuma untuk tempat singgah, tapi direalisasikan sebagai tempat tinggal."
"Oke! Terus?" Sangga masih mencari benang merahnya.
Kala menatap pria itu dengan senyuman yang tertahan.
"Aku akan sangat bersedia untuk tinggal di sini. Nanti setelah Kembali ke rumah, aku bakal bawa semua barangku untuk di tata dengan rapi di sini. Di apartemen ini."
Sudah tidak ada lagi rasa malu dalam diri Kala. Semua tanggal sebab keyakinan bahwa SAngga akan menuruti semua inginnya sudah begitu tertanam kuat.
Pria itu terbahak sekilas dengan mata yang bebinar penuh semangat.
"Jadi, kamu bermaksud untuk mengambil semua yang mas punya, supaya mas makin bergantung sama kamu dan makin tidak bisa melepas kamu, gitu?"
Kala terkekeh dengan gelengan. "Gak ngono," tolaknya tak bisa menahan senyuman.
"Oke, Lembayung. Oke! Memberikan semua yang mas punya ke kamu? Terdengar begitu menyenangkan dan tidak akan mas tolak sama sekali. Bergantung sama kamu bakal jadi hal yang mas tunggu, nduk."
Tangan Kala terulur untuk menyentuh lengan kekar milih Sangga. "Gak gitu, ih, Mas Sangga."
"Aduh!" Sangga merebahkan kepalanya di atas sofa sekilas. "Kayak rengginang gitu manggil mas Sangga-nya. Renyah. Enak didengar. Sekali lagi coba."
Kala mengulum senyuman. Tangannya semakin nyaman menyentuh lengan pria yang tidak menolak itu. "Mas Sangga, aku boleh tinggal di sini, ya?"
Sangga tersenyum sangat lebar. Tatapan lekat pria itu di maniknya begitu membuat nyaman. Rasa panas sentuhan mereka semakin menambah kehangatan yang berusaha mereka bagi.
"Silakan, nduk. Mas tidak akan melarang dan dengan senang hati memberi kamu izin untuk tinggal di sini. Sampai kapan pun."
Entah kenapa bola mata Kala merebak terpenuhi oleh genangan airmata haru.
Pria itu terlalu mempercayainya. Sangga terlalu memberinya banyak ruang untuk melakukan apa yang dia suka. Kalimat pria itu seolah terus memberi makna bahwa apa pun dan kapan pun, Sangga akan berada di penghujung jalan di mana kata nyaman menjadi payungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembayung Kesukaan Sangga
Roman d'amourSi tengah yang selalu di andalkan. Si tengah yang berbeda. Si tengah yang penuh dengan harapan meski bukan miliknya sendiri. Si tengah yang tidak terlalu beruntung dalam beberapa hal. Si tengah yang.... Ah, sudahlah! Lembayung Sandhyakala bahkan tid...