CHAPTER 5

10.3K 1.4K 876
                                    

"Dia datang."

"Sambut dia dengan baik. Aku tahu dia pasti akan datang."

Kareem merespon, membalas ucapan Youssef di tengah-tengah pertemuan mereka yang merupakan pemimpin-pemimpin partai. Dari meja inti tersebut, Kareem dan Youssef beserta beberapa pejabat di bawah naungan partai itu saling melempar pandang. Tercipta senyum kemenangan pada semua wajah-wajah keji di sana.

"Bukakan pintu untuknya. Bawa dia ke ruangan ini," titah Kareem kepada ajudan-ajudannya.

Meninggalkan Agadir dan terbang ke Casablanca, Rankit tahu jelas ke mana ia harus menuju setibanya ia di ibu kota Marocco ini. Dengan bermodalkan uang seadanya bahkan sampai harus berutang kembali kepada bos, uang-uang itulah yang ia gunakan agar dapat terbang ke Casablanca.

Di hari Shada menghilang, Rankit menemukan sebuah cap stempel berwarna merah pekat bagai darah di permukaan kalender nan bertengger pada dinding rumahnya. Untuk beberapa saat yang amat mengejutkan, napas Rankit sempat terjeda ketika ia melihat segel kering itu di kalendernya, mata emasnya melebar dengan mimik mengeras, dan sesuatu yang amat menyakitkan menyerang dadanya. Trauma.

Sembari menunggu kehadiran Rankit, Kareem dan seluruh orang-orangnya menatap lurus ke arah pintu kaca yang merupakan pintu masuk utama ruangan tersebut. Mereka menunggu dengan mimik bahagia, siap menyambut si miskin itu yang rela jauh-jauh datang dari Agadir.

"Rankit Packer." Kareem menyunggingkan senyum angkuhnya.

Pemimpin partai tertua di Marocco ini kemudian berdiri, meninggalkan kursinya dan membentangkan kedua tangan. Menunjukkan kekuasaannya.

"Selamat datang, saudaraku," lontar Kareem. Suara tegasnya menggema ke seluruh sudut ruangan. Ia buat mata semua orang tertuju hanya kepada Rankit di depan sana, berdiri di ambang pintu kaca, tampak terhina dalam sosoknya nan jangkung.

Mata keemasan Rankit menyorot tepat ke wajah angkuh Kareem Banhi. Ia juga melirik kepada banyaknya ajudan bersenjata di ruangan itu.

"Kemarilah. Tinggalkan ransel kotormu di situ dan duduklah denganku di sini," timpal Kareem. Dagunya terangkat kecil.

Tak ada sahutan dari Rankit. Ia jatuhkan ransel hitamnya di lantai, dengan tangan kosong ia menghampiri Kareem, Youssef beserta semua pejabat-pejabat partai Liben itu yang telah berdiri 50 tahun lamanya.

Sepatu kulit Rankit berderap pada lantai. Kendati hanya ia satu-satunya yang tak berseragam rapi dan licin, pria 36 tahun ini tak kalah gagahnya bahkan menjadi satu-satunya pria tertinggi di ruangan tersebut. Garis tegas rahangnya terkikis dengan sempurna, surai hitam kebiruannya berkilap berkat paparan sinar matahari melalui dinding-dinding kaca. Berwibawa tinggi, memancarkan kekuatan fisik yang luar biasa. Mengetat jaket kulitnya akibat otot-otot bahunya nan kencang.

"Duduklah," titah Kareem. Menggunakan kaki ia mendorong satu kursi, meminta Rankit duduk di kursi itu.

Suasana berubah mencekam. Luka dan trauma masa lalu berkelebat pada pupil Rankit. Dibalik singlet putihnya dada pria itu berdebar keras.

"Di mana putriku," tanya Rankit. Suara dan wajahnya tetap datar.

Youssef dan Kareem terkekeh. Sekilas keduanya saling melempar pandang.

"Telah kusuruh anak buahku untuk menjualnya ke rumah pelacuran di Agafay." Tenang Kareem menjawab. Ia tahu Rankit takkan bisa melukainya di sini.

Hening. Rankit kunci intens tatapnya bersama Kareem. "Apa yang kau inginkan," tanya Rankit kembali. Nadanya masih sedatar dari tadi. Marah, namun tak berdaya. Benci, namun tak mampu bertindak. Ia kalah. Sedari awal, ia telah kalah.

IMMORALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang