CHAPTER 24

6.2K 1.2K 1.3K
                                    

Happy reading.
Mention jika menemukan typo.

2300 kata. Tolong diramaikan yaa.

****

Setelah hampir dua jam lamanya, akhirnya Sirea kembali ke kamar hotel. Belum sempat Sirea menutup pintu dengan rapat, Reba lantas bertanya, "Hampir dua jam. Kau dari mana?"

Sirea merapatkan pintu kemudian ia kunci. "Aku mencari apotek untuk membelikanmu obat."

Perempuan itu menunjukkan kantung plastik kecil di tangannya. Ia lalu duduk pada sofa kemudian membakar sebatang rokok dengan raut wajah tegang. Rankit pun menangkap gelagat Sirea yang gelisah.

"Kau bertemu orang-orang Osman?" tanya Rankit. Ia sedang berdiri membelakangi jendela hotel sementara Reba duduk di tepi ranjang.

Sirea mengangguk sembari ia sulut kembali rokoknya. "Mereka melihatku," katanya, "Buru-buru aku naik taksi dan masuk ke Mall. Mati-matian aku berusaha menghindari mereka dan terjebak di parkiran Mall." Sirea melihat Rankit lalu berpindah ke Reba.

"Madam, mereka benar-benar mencari kita. Aku yakin mereka sedang menunggu kita di bandara karena tahu kita akan segera meninggalkan kota ini." Suara Sirea bergetar. Ia hampir mati di tangan orang-orang Osman saat di parkiran Mall tadi.

Bahkan dapat ia dengar salah satu dari orang-orang itu berkomunikasi dengan Osman, mengatakan jika mereka sempat melihat Sirea di kota tersebut, yang artinya Rankit dan Reba pun ada di sekitar kota itu.

"Kita naik kapal," celetuk Rankit. Kini ia berbalik melihat ke arah luar jendela hotel. Otaknya berupaya berpikir dengan cepat guna mencari jalan keluar.

"Malam ini juga kita harus berangkat, ke mana pun kapal akan menuju," putus Rankit tegas.

"Bisakah kita hadapi saja mereka? Aku lelah bermain petak umpat begini." Reba meradang seketika. Ia muak dengan Osman yang merasa jika dirinya begitu hebat.

"Silakan kau hadapi mereka sendiri. Malam ini aku dan Sirea akan tetap ke pelabuhan."

Reba sama sekali tak sedang bercanda, dan ucapan Rankit pun ia anggap serius. Alhasil wanita itu segera berdiri lantas ia sisipkan kedua pistol serta belatinya ke pinggang.

"Pergilah. Aku akan mencari mereka."

"Madam—"

"Katakan jika kau ingin mati. Akan kutembak mati kau di sini." Suara berat Rankit membelah udara, memotong ucapan Sirea yang belum genap, dan membuat langkah kaki Reba terjeda.

Reba mendengus dengan rahang mengetat. Ia lalu melengos melihat Rankit di jendela yang telah bersedekap sembari menatapnya datar. Mengencang otot-otot bahu pria itu.

"Berhenti mengancamku, motherfucker. Aku tidak setakut itu untuk menewaskanmu dan membuat Shada kehilangan Ayahnya tercinta," tekan Reba bengis.

Tak ada suara, Rankit diam sambil terus ia tatap wajah marah Reba di sana.

"Kau pikir aku wanita tolol yang akan menyerahkan nyawa berhargaku secara cuma-cuma kepada orang-orang Osman? Aku memiliki rencanaku sendiri, sialan." Reba melangkah maju beberapa kali.

"Otakku tidak sekosong itu, jadi berhenti seolah-olah aku pasti akan mati di tangan mereka. Jika bukan karena kau dan Sirea, aku bahkan bisa melarikan diriku dengan mudahnya sedari tadi." Suara Reba meninggi pun matanya melotot nyalang.

Rankit terkekeh. "Habiskan makananmu, minum obat lalu tidurlah. Kau kurang tidur."

Sirea sontak menunduk, mengulum bibir lalu ia melirik kepada Reba di mana bahu wanita itu seketika merosot lemas. Tak pernah sekalipun ia melihat Reba seperti itu, tampak putus asa sebab amarahnya tak digubris.

IMMORALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang