"Kau sama sekali tak pantas memaksaku, aku bukan—"
"Tenanglah. Aku tidak bermaksud apa-apa. Ada cctv dan penyadap suara di kamar ini." Di telinga Reba ayah Shada itu berbisik sekecil mungkin. Meletakkan juga dagunya pada bahu Reba hingga ia seolah menenggelamkan wajah pada leher perempuan tersebut.
Sebelumnya Reba hendak memberontak dan telah berinisiatif untuk memukul Rankit, namun bisikan Rankit seketika membuatnya terdiam dengan kening mengernyit kecil.
Kedua orang itu lantas saling menatap. Rankit yang telah terbawa suasana, matanya menyayu bersama napas memburu yang berusaha ia redam.
"Sirea?" tanya Reba masih dengan bisikan sepelan mungkin. Bahkan suaranya hampir-hampir tak tercipta dan hanya bibirnya yang tampak bergerak.
Beberapa detik lamanya Rankit bergeming dan pada akhirnya pria itu mengangguk kecil.
"Temani aku mandi," celetuk Rankit dengan suara dibesarkan. Ia melempar jauh pistol di tangannya.
"Tidak." Sekarang Reba mengerti apa maksud dari sikap kurang ajar Rankit sedari tadi. Pria itu mencoba mendekatinya, mencoba untuk memberitahunya dengan cara yang natural seakan-akan Rankit tak mengetahui adanya cctv juga penyadap suara di ruangan tersebut.
"Kau memang harus dipaksa."
"Sialan. Turunkan aku!"
Meski mulutnya memekik meminta diturunkan, tetapi kali ini Reba tak melawan saat Rankit menggendongnya kemudian membawanya bergontai menuju kamar mandi hotel. Satu yang membuat Reba terkejut, yaitu Rankit yang amat entengnya mengangkat lalu menggendongnya seperti saat ini.
Sesampainya mereka di dalam kamar mandi, segera Rankit menutup pintu dengan cara menendang kuat. Ia turunkan Reba di dalam bathtub lantas memutar keran shower agar tercipta suara air dari dalam situ.
"Katakan dengan jelas, ada apa?" Mimik Reba berubah serius.
Rankit menghela napas. Sesaat ia menatap lantai kemudian berpindah melihat Reba. "Saat keluar tadi Sirea sempat tertangkap. Mereka memasang peledak di tubuhnya."
"Jangan bercanda, Rankit." Berkali-kali Reba menggeleng. Dalam sekejap pupilnya bergetar tanda panik. "Di mana Sirea? Aku ingin—"
"Tenang, Reba. Tetaplah bersikap tenang." Rankit menggenggam pergelangan wanita itu sebab Reba hendak melangkah pergi.
"Sirea akan mati," ucap Reba. Suaranya kecil dan sesak, pun bibirnya gemetar. "Aku sudah kehilangan Joe, tapi jangan lagi dengan Sirea. Lima tahun aku bersamanya, aku tidak ingin melihat anak itu mati."
Reba tak memiliki siapa pun, dan Sirea merupakan sosok berharga yang dimilikinya saat ini. Tulus dari lubuk hatinya terdalam, Reba tak pernah ingin terpisahkan dengan Sirea.
"Aku telah menghubungi tim penjinak dan saat ini mereka sedang menanginya di lapangan latihan kemiliteran." Rankit menjelaskan. Tangan Reba ia genggam erat guna memberi perempuan itu ketenangan.
Terasa sulit Reba meneguk salivanya sendiri. Mulutnya menganga kecil dan kembali ia mendongak untuk membalas tatapan Rankit. "Bagaimana kau bisa tahu ada yang aneh darinya," tanya Reba datar.
"Karena wajahnya pucat dan tangannya terus gemetar. Saat dia menyesap rokok sembari membaca koran, kudapati matanya berkaca-kaca. Dia terus memandangmu dengan tatapan putus asa, dan begitu dia mengira aku tak melihatnya, air matanya jatuh namun dengan cepat dia seka memakai bahu." Cerita Rankit membuat dada Reba terasa nyeri.
KAMU SEDANG MEMBACA
IMMORAL
RomanceWanita tetaplah wanita. Wanita ialah makhluk lemah perasa, perasaannya yang selalu lebih unggul dari logikanyalah yang membuatnya lemah sehingga berakhir dengan dipandang sepele. Wanita tetaplah wanita, mereka terbatas dan tak pernah diberi kesempat...