CHAPTER 7

10.1K 1.4K 1.1K
                                    

Melawan seseorang yang memiliki uang, kedudukkan dan kuasa ialah tindakan yang salah. Alih-alih memperoleh kemenangan, keputusan itu justru akan menjadi malapetaka bagi mereka yang bersikeras hendak memberontak serta melawan si pemilik uang, kedudukan dan kuasa tersebut.

Rankit tahu seperti apa Kareem Banhi, saudara tirinya itu takkan pernah melepaskan Reba sebelum ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwasannya Reba telah tewas.

Keputusan Reba untuk menghabisi seluruh orang-orang Kareem yang memantau dan menjaga mereka di perbatasan Agafay pun Rankit tentang, ia cegah agar Reba membatalkan niatnya. Menewaskan seluruh orang-orang Kareem takkan membuat masalah ini selesai. Rankit dan Reba, mereka akan sama-sama kian diburu dengan gencar. Kehidupan keduanya akan semakin rumit.

"Jalan satu-satunya adalah menciptakan kekalahan palsu," celetuk Rankit. Ia sisipkan kedua pistol pemberian Reba ke selipan celananya.

Sinis Reba menatap Rankit. "Tidak ada waktu untuk menyusun siasat baru. Kematian kita sudah berada di depan mata. Malam ini juga mereka bahkan bisa saja meledakkan seluruh bangunan ini."

"Ada." Mimik Rankit datar. Kendati pencahayaan di kamar itu amat remang-remang, ia masih dapat melihat jelas air wajah Reba yang tak bersahabat dengannya. Reba tak menyukai hadirnya, tapi dengan terpaksa ia harus melayani pria itu mengobrol sekaligus bertukar pikiran.

"Ini mungkin terdengar gila. Tapi kuharap kau mau mengambil salah satu kepala jalangmu."

Reba tak menunjukkan reaksi apa pun. "Katakan dengan jelas," mintanya.

Rankit membakar sebatang rokok sebelum ia menjawab. Menyulut benda itu. "Putuskan salah satu kepala jalangmu, rias wajahnya seperti wajahmu, dan kepala itu akan kubawa kepada orang-orang Kareem di perbatasan untuk mereka serahkan kepada Kareem di Casablanca."

"Kau memiliki banyak jalang, pilihlah yang berambut panjang dan hitam seperti rambutmu, mata yang tajam, dan bibir yang penuh seperti milikmu."  Reba yang selalu dikuasai oleh logika bahkan minim rasa empati, ia sama sekali tak berpikir semua ucapan Rankit barusan ialah sebuah pujian. Pria itu hanya mendeskripsikan apa yang ada di wajahnya.

Pun Rankit yang kaku, ia juga tak mengerti apabila perkataannya itu justru condong ke kategori memuji sebuah kecantikan wanita. Sepanjang hidupnya, Rankit hanya selalu berucap sesuai fakta. Ialah pria yang bodoh dalam mengambil hati seorang wanita, alasan mengapa sampai di malam ini, ia masih setia menyandang status dudanya.

"Itu tidak akan berhasil," timpal Reba. Membelakangi jendela kini ia berdiri.

"Kita harus mencobanya." Rankit embus tinggi asap rokoknya ke langit-langit kamar. Setelahnya ia kembali menatap Reba di depan. Wanita itu sudah tinggi, bahkan menjadi yang paling tinggi dari semua jalang-jalangnya. 176 sentimeter tinggi Reba, namun ia masih harus mendongak agar dapat melihat wajah Rankit di atas.

"Jangan memaksa yakin pada suatu hal yang bahkan, kau sendiri pun masih meragukannya. Kuakui idemu ini cemerlang, tetapi aku benar-benar tak yakin akan itu. Kareem memang tolol, tapi dia tidak terlalu tolol hingga takkan memastikan kepala itu adalah kepalaku dengan cara memeriksa melalui rambut atau—"

"Dia tolol. Dia bukan orang yang perfeksionis, dan dia mempercayaiku," potong Rankit. Ia lupa, kapan terakhir kali ia berucap sebanyak malam ini bersama seorang wanita. Hanya ada Shada dalam hidupnya, dan ia hanya selalu berdebat dengan Shada. Sementara Reba, ialah wanita pertama setelah 13 tahun yang sedekat dan sebanyak ini Rankit beri tutur kata.

Reba terkekeh mendengar ucapan Rankit. "Setidaknya, dia tak setolol dirimu yang kini hanya dapat hidup dalam kemiskinan."

Tak ada yang bisa Rankit bantah. Dia memang miskin, lemah dan terbatas. Paras tampan dan rupawannya pun tak bisa menyelamatkannya.

IMMORALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang