CHAPTER 6

10K 1.4K 1K
                                    

Di mana pun ia berada dan berpijak, Rankit akan selalu menjadi daya tarik kuat di tempat itu. Wataknya yang tenang dan sangat pendiam membuatnya tampak seperti pria manis dan lugu. Selalu tak banyak bicara, selalu diam kendati matanya terus menilik ke sana dan ke sini lalu menilai di kepalanya sendiri.

Bukan tanpa alasan Tuhan memberinya putri nan cerewet juga aktif. Shada terlahir benar-benar untuk mewarnai hidup Rankit, untuk menemani Ayah pendiamnya yang bahkan tak tahu bercanda dan suka menghindar dari keramaian. Sadar apabila dirinya hanyalah manusia buangan yang banyak menerima benci.

Jarum jam telah menunjukkan pukul sembilan malam saat Rankit meneguk kopi terakhirnya di gelas. Rumah singgah Reba masih cukup ramai di jam seperti ini, beberapa menit lalu sebuah mobil pun baru tiba dengan membawa empat turis pria asing.

Posturnya yang amat tinggi membuat Rankit menjadi yang paling menonjol di ruangan itu. Ia duduk di meja nomor lima, paling ujung dan paling dalam sembari mengamati putrinya bekerja sebagai pelayan. Rankit memintanya istirahat, tetapi Shada tak mau, ia suka bekerja karena lagi pula pekerjaan itu sangat mudah.

Karena hanya dirinya yang berdiam diri tanpa teman mengobrol, Rankit lalu mulai mengedar lagi pandangannya ke sekitar. Sampai ketika mata keemasannya melihat ke meja nomor dua, fokusnya pun terjeda kepada Reba di sana. Kepada wanita itu yang sedang bermain kartu judi bersama para pengunjung lelaki.

Tangan Reba secara cepat mengocok kartu sembari mengunyah permen karet. Sesekali wanita itu menyulut rokoknya di asbak, bahkan mengancam dengan belati bila salah satu lawan mainnya hendak berlaku curang. Membuat pria-pria di meja itu terkekeh tak berani berlaku curang meski hanya sedikit.

"Aku tak ingin membunuhnya." Rankit membatinkan kalimat itu selama memandang Reba. Ia tak mengenal Reba, ia tak ada urusan apa pun dengan wanita eksentrik tersebut. Reba tak melukai Shada, seperti kata Shada, Reba bahkan menjaganya dari para lelaki.

Di mejanya Rankit memutar otak. Orang-orang Kareem sudah menunggunya di perbatasan Agafay, menanti pria itu datang seraya membawa kepala Reba Volpone untuk diantarkan kepada Kareem Banhi. Mereka menunggunya di sana dan akan membunuhnya apabila ia melarikan diri.

Kareem hanya memberinya waktu selama 48 jam. Jika sampai lusa ia tak kembali dengan membawa kepala Reba, maka ia dan Shada akan mati di tangan Kareem Banhi, saudaranya.

"Ayah," panggil Shada riang. Ia hampiri Rankit di meja nomor lima. "Ayah tidak tidur? Tidurlah, akan kubilang pada Madam Volpone untuk memberi Ayah satu kamar tidur."

"Ayah akan tidur di sini," balas Rankit. Ia kecup punggung tangan Shada yang lelah selalu bolak-balik membawa nampan pesanan.

Sirea dan beberapa jalang melihat itu, melihat ketika Rankit mengecup punggung tangan Shada. Melihat interaksi anak dan Ayah tersebut yang betapa manisnya. Cinta yang tak ada duanya, ketulusan serta kehangatan yang luar biasa.

"Shada." Suara Reba membelah udara, mengejutkan Shada hingga ia segera berbalik badan guna menemukan Reba di meja nomor dua.

"Ya, Madam." Shada menyahut.

"Suruh Ayahmu tidur di kamar nomor delapan," lontar Reba tanpa melihat Rankit dan Shada. Hanya fokus kepada kartu-kartunya di tangan. Dari mulutnya mengepulkan asap-asap rokok.

"Ayah dengar? Tidurlah di kamar nomor delapan." Shada tersenyum. Ia lalu mengirim flyingkiss bertubi-tubi untuk Reba di sana, berterimakasih karena telah memberi ayahnya kamar tidur. Meski Reba tak melihat aksi Shada, tetapi Sirea dan para jalang melihat itu hingga merekalah yang terkekeh.

Rankit telengkan kepalanya ke kanan agar dapat melihat Reba—karena tubuh Shada menghalangi. Bersamaan dengan itu, sangat tepat dengan Reba yang ingin melihat Shada namun matanya justru bertemu dengan mata Rankit. Ketidaksengajaan itu tak membuat keduanya buru-buru membuang muka, mereka sama-sama berani untuk memberi sorot datar masing-masing.

IMMORALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang