CHAPTER 21

11.9K 1.7K 1.2K
                                    

Mention ya kalau menemukan typo.
Happy reading. Selamat malam minggu.

****

"Fuck." Umpatan kesal Reba membuat senyum tipis pada bibir Rankit terukir selama beberapa detik lamanya.

Jarum jam akan segera menyentuh angka dua belas namun kedua orang itu belum juga tidur. Dua ronde sudah Rankit memenangkan permainan catur mereka, sementara Reba hanya menang di ronde pertama yang membuatnya merasa besar kepala di awal.

"Kau unggul dalam bermain kartu, tapi tidak dengan catur," senggol Rankit. Ia teguk kopinya di gelas seperti meminum air putih karena kopi itu sudah dingin.

"Sekali lagi." Sulit bagi Reba untuk menerima kekalahannya. Dalam permaiann apa pun ia selalu menang. Ia terkenal sebagai seorang wanita penjudi kelas kakap, dan kalah dalam bermain catur bersama Rankit, itu seolah melukai harga dirinya.

"Aku mengantuk. Selamat malam." Sengaja. Rankit tahu Reba akan segera meledak.

"Duduk, sialan," tekan Reba dengan mata melotot. Tangan Rankit langsung ia gapai, menarik pria itu agar kembali duduk dan melanjutkan permainan catur mereka.

Bibir Rankit berkedut menahan senyum. Mau tak mau ia pun kembali duduk di titik semula sembari menerima tatapan datar Reba nan kesal.

"Benar-benar tidak mau kalah." Ayah Shada ini bergumam.

"Cepat mulai. Kau duluan." Mata Reba tak luput dari tangan Rankit yang menggerakkan bidak catur.

Rankit lega Reba mulai melupakan rasa tidak sukanya. Dengan adanya permainan catur ini, Reba menjadi fokus dan melupakan kehadiran Rankit, yang di mana sebenarnya tidak ia kehendaki. Juga tangannya yang sakit, Reba pun mulai melupakan rasa sakit itu.

"Kupastikan kali ini akulah yang akan menang," ucap Reba berjanji kepada dirinya sendiri. Takkan ia biarkan dirinya kalah untuk yang ketiga kali. Apa pun itu, perjuangkanlah dengan penuh ambisi.

Di tengah-tengah fokusnya kedua orang itu menjalankan bidak catur, kompak Rankit dan Reba menyipit tatkala mendengar suara mesin trail dari arah kejauhan, yang kian lama kian terdengar mendekat.

Tak ada seorang pun yang memiliki trail di desa ini. Kendaraan di sana hanyalah sepeda dan kuda. Juga ini di tengah malam, hanya orang gila yang berani mengendarai trail di desa yang berada di perbukitan batu terjal seperti itu.

Sedetik setelah Rankit dan Reba saling melempar pandang, keduanya lantas melompat dari kursi dan bergegas meraih pistol masing-masing.

"Joe Harem berkhianat." Dari jarak dua puluh meter Sirea berteriak.

"Sirea?" Reba setengah melotot. Bergegas ia membuka pintu depan dan menyambut Sirea. Perempuan itu menarik rem mendadak dalam keadaan laju hingga trailnya terseret rubuh.

"Joe Harem berkhianat," ucap Sirea bak berbisik. Sorot matanya kosong dan napasnya memburu. Ia melotot selama menatap Reba di depan.

"Firasatku terbukti benar," celetuk Rankit di belakang. Ia mendengus kasar.

Belum sempat Reba bertanya, Sirea lantas maju dan ia remas kuat kedua pergelangan Reba. "Mereka sudah dekat, kita harus pergi."

"Mereka siapa?" Ketegangan hebat Sirea tersalurkan kepada Reba hingga perempuan itu serta merta ikut melotot dan berdebar.

"Orang-orang Osman." Napas Sirea kian memburu. "Heron Kalil yang memimpin. Mereka sudah dekat. Mereka bersepuluh." Bola mata Sirea berkeliaran tanda kalut. Bibirnya kering pun wajahnya tampak pucat.

IMMORALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang