CHAPTER 22

10.7K 1.6K 1.3K
                                    

Reba gelisah selama menunggu matahari terbit. Satu jam sudah ia mencoba agar dapat tidur, tapi tetap saja matanya tak bisa memejam.

Melihat Sirea di jok sebelahnya telah nyenyak sampai mendengkur kecil, ia yakin perempuan muda itu sangat lelah. Membayangkan perjalanan jauh yang ditempuh Sirea dengan perasaan kalut, Reba bersyukur masih dapat melihat Sirea di sebelahnya saat ini.

"Pagi nanti kubangunkan," ucap Reba pelan sembari ia tatap wajah lelah Sirea yang terlelap. "Terima kasih untuk kesetiaanmu." Reba tersenyum meski tipis.

Atensi Reba kemudian berpindah dari Sirea kepada Rankit di sana, duduk di batang pohon rubuh dan menghadap ke api unggun. Ayah Shada itu sedang menajamkan belatinya sambil merokok, tetap waspada dengan cara terus mengedarkan pandangan ke sekitar hutan.

Rankit mengira jika Reba telah tidur. Sampai ketika Reba turun dari truk lalu duduk berjarak dua meter di sebelahnya, Rankit mendapati reaksi tubuhnya mendadak tegang. Dia masih merasa malu dengan pertanyaan Reba yang tadi, yang tak bisa dijawabnya sebab itu tak mungkin.

"Tidak bisa tidur?" Menyembunyikan rasa malunya, Rankit pun memulai obrolan ringan.

"Kepalaku sangat berisik." Reba menatap kayu yang hampir terbakar habis oleh api. Gambaran kewarasan seorang manusia yang dapat lenyap dengan sendirinya sebab terus termakan oleh beban pikiran. Sama seperti kayu yang hampir termakan habis oleh apinya sendiri.

"Ke mana kau akan pulang setelah semua ini?" Rankit menyimpan belatinya.

Sejenak Reba bergeming tanda ia sedang berpikir. Raut datar wajahnya terlihat tenang, namun juga lelah di satu waktu.

"Segera aku akan meninggalkan negara ini." Dia melihat Rankit di sebelah. "Akan kumulai hidupku yang baru di negara lain. Nama baru, identitas baru, dan asal-usul baru."

Rankit balas tatap pandangan Reba padanya. "Kau yakin?"

"Ya. Itu keputusan yang tepat. Semua buronan sepertiku pun melakukan hal yang sama; pergi ke luar negeri dan menjalani hidup dengan segala identitas baru."

"Bagaimana denganku? Terus terang aku ingin selalu melihatmu meski hanya wajah ketus yang kau berikan padaku." Rankit berucap jujur, blak-blakan usai menyingkirkan rasa malunya.

Satu alis Reba terangkat kecil, tidak lagi kaget sebab ia juga tahu apabila Rankit ada hati padanya. Entah sebesar apa, tetapi Reba tahu semua itu benar. Rankit menyukainya, atau mungkin sudah lebih dari sekadar rasa suka, hanya Rankit yang tahu pasti.

"Bukan waktu yang tepat untuk bercanda." Reba tak ingin menanggapi itu. Sadar diri jika mereka sama-sama telah berumur.

"Aku tidak bercanda." Berbeda dengan Reba, Rankit menunjukkan mimik seriusnya.

"Tapi ke mana pun nanti kau pergi, suatu saat aku akan tetap mencarimu. Aku berjanji akan itu," tambah Rankit kembali. Malam ini ia terlalu banyak bicara, namun biarlah.

Sekilas Reba memutar bola matanya, mendadak suasana tegang dari tadi menghilang. Kini mereka justru seperti dua orang yang tengah berkencan di tengah hutan, dan sedang berbasa-basi sebelum akhirnya saling menelanjangi seperti di film-film erotis. Lucunya, Rankit terlalu kaku sebagai tokoh pria. Terlalu tak berani dan hanya bisa banyak berucap omong kosong.

Usai jeda beberapa menit yang menciptakan hening, Reba lantas bertanya, "Bagaimana kabar Shada?"

"Tidak ada yang berubah. Sehat, cantik dan lucu. Perempuanku tercinta." Rankit tak bermaksud apa-apa, ia hanya mengatakan apa yang ada di kepalanya. Akan tetapi, hal itu justru berhasil membuat Reba menyipit serta merta mengulas senyuman tipis.

IMMORALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang