Ini sudah siang tetapi Reba belum memakan apa pun. Dia memang belum lapar, namun Rankit yang melihat ada sedikit bahan masakan di dapur rumah itu, dia langsung mengolahnya tanpa lebih dulu meminta izin kepada Reba.
Sementara Rankit sibuk menyiapkan semua bahan masakan, di kursi Reba duduk sembari ia tajamkan beberapa butir pelurunya. Sesekali matanya melirik sinis ke punggung Rankit, kesal sebab kini mereka harus berada di bawah atap yang sama, di rumahnya, dan hanya berdua layaknya sepasang suami istri.
"Apa yang kau rencanakan untuk mengatasai Osman dan Youssef?" tanya Rankit sambil mencacah bawang putih. Bahunya tampak mengencang.
"Menembak mati mereka jika keduanya muncul di depanku." Reba menjawab lalu ia matikan rokoknya yang tersisa puntung.
"Mereka tidak sebodoh itu untuk langsung muncul di depanmu. Seorang penguasa akan selalu menggunakan mata-mata untuk mengintai, mencari informasi sebelum akhirnya bertindak," tutur Rankit. Dia mencuci tangan di dalam baskom berisikan air. Di rumah itu tidak ada wastafel.
Reba menghela napas pelan. Ada rasa jenuh sebab di sepanjang hidupnya ia harus terus menyusun rencana demi keselamatan dirinya sendiri. Tak pernah barang sehari pun pikirannya kosong, setiap hari ia selalu berupaya menyusun rencana mengenai apa pun. Sebagai seorang perempuan, berterus terang ia merasa lelah.
"Aku ke sini untuk menenangkan pikiranku, Rankit. Jika kau datang hanya untuk membuatku semakin jenuh, baiknya sekarang juga kau pergi," kata Reba, "jangan usik ketenanganku yang hanya bisa kuraskaan sesaat ini. Aku ingin tenang."
"Nyawamu sedang terancam dan tak seharusnya kau merasa tenang. Semua permasalahan ini bermula dari kau yang berani menunjukkan diri di hadapan orang-orang berkuasa itu lalu menentang mereka, jadi inilah risiko yang harus kau tanggung." Dengan pisau di tangan Rankit berbalik badan, bersandar pada tepi meja kemudian memandang Reba di kursi.
"Turunkan sedikit gengsimu dan biarkan aku membantu," sambung Rankit setelahnya.
Tepat ke mata Rankit kini Reba menatap. Tangannya sibuk mengisi semua peluru ke dalam pistol. Berlama-lama mereka saling menilik satu sama lain, namun kontak mata itu berakhir dengan Reba yang duluan memalingkan wajah lantas melihat kepada asbak penuh puntung rokok di meja.
"Aku bisa menyelamatkan hidupku sendiri." Reba kemudian beranjak dari kursi, hendak meninggalkan dapur namun langkahnya terjeda ketika Rankit memanggilnya.
Wanita itu menoleh ke samping usai namanya disebut. Menggenggam pistolnya erat.
"Jangan pernah merasa sendiri. Aku bisa membantumu dalam hal ini," timpal Rankit. Ia amati sisi wajah Reba dari posisinya.
"Aku memang sendiri. Dari dulu sampai di hari ini, aku selalu sendirian. Sejauh ini aku mampu bertahan, semua itu karena kesanggupanku. Aku memang hanya seorang wanita, tetapi aku bukan wanita lemah seperti yang ada di pikiranmu."
"Sama sekali aku tak pernah memandangmu lemah. Kau satu dari sekian banyaknya wanita yang menjalani kehidupan dengan amat kerasnya, dan itu membentuk karaktermu yang seperti ini." Rankit tak berkedip.
"Kau benar. Jadi kau bisa pergi, tidak perlu kau susah payah berusaha untuk melindungiku. Sebesar apa pun badai yang kuhadapi, aku tahu aku pasti sanggup melewatinya."
Di sana Rankit terkekeh. Ia terkesan akan sikap Reba nan konsisten, tak pernah berubah dari semenjak pertama kali mereka berjumpa pada sepuluh bulan lampau. Berbeda jauh dengan Rankit yang bahkan telah menyadari isi hatinya mengenai wanita itu.
"Aku peduli padamu, Reba." Rankit menimpali.
"Simpan saja rasa pedulimu. Aku tidak membutuhkannya."
****
KAMU SEDANG MEMBACA
IMMORAL
RomanceWanita tetaplah wanita. Wanita ialah makhluk lemah perasa, perasaannya yang selalu lebih unggul dari logikanyalah yang membuatnya lemah sehingga berakhir dengan dipandang sepele. Wanita tetaplah wanita, mereka terbatas dan tak pernah diberi kesempat...