CHAPTER 3

19K 1.9K 630
                                    

Agadir, Marocco

Suara gergaji mesin menggema memenuhi sekitaran lokasi hutan di Agadir. Dengan lagak bos besarnya, pria berusia 53 tahun berdiri seraya berkacak pinggang dan satu kaki bertopang di atas sebuah bonggolan kayu. Setelannya nan kuno menunjukkan khas pria-pria tua, tidak lupa sapu tangan terselip pada saku celananya di belakang.

"Hey, kau!" Setengah berteriak, pria tua ini memanggil seorang anak buahnya. Menegur anak buah operator gergaji mesinnya hingga lelaki di sana berhenti, mematikan gergaji mesin di tangannya dan melihat kepada si pria tua—yang adalah bosnya.

"Kau yang membuat tumpukan kayu ini?" tanya si bos. Jarinya menunjuk ke arah bonggolan-bonggolan kayu mentah yang telah ditumpuk. Nantinya kayu-kayu itu akan dijemput oleh sopir truk—yang juga merupakan anak buah si bos kayu—untuk dikirimkan kepada pemesan.

"Itu?" Sang operator ikut menunjuk ke arah kayu-kayu tersebut. "Bukan aku. Hari ini aku terlambat bangun dan baru tiba di hutan sekitar dua jam lalu," jelasya dengan suara ditinggikan agar dapat didengar oleh bosnya.

"Kau! Siapa yang membuat kayu-kayu ini?" Si bos kayu kembali bertanya kepada operatornya yang lain.

"Tanyakan saja pada Packer," sahut operator tersebut di sana. Sibuk mengukur batang pohon yang telah berhasil ia tumbangkan dengan pensil.

"Panggil dia ke sini." Bos kayu meminta. Tak berubah pose berdirinya dari tadi, masih tetap berkacak pinggang.

"Packer!" Operator tadi memanggil temannya. Ia berteriak besar ke arah dalam hutan.

"Rankit Packer! Hey, kau dalam masalah. Datanglah menghadap bos!"

Suara gergaji mesin yang sedari tadi berdengung bising di dalam hutan lantas terjeda.

Satu menit setelahnya, suara-suara ranting pohon yang patah terinjak dan dedaunan yang saling bergesekkan pun terdengar. Layaknya hewan buas hendak muncul dari dalam hutan, burung-burung penghuni sebuah pohon kecil dan kurus beterbangan sebab pohon itu tak sengaja ditabrak oleh sebuah bahu tebal, keras dan kekar.

"Kayu-kayu ini milikmu?" lontar bos kayu. Ia tatap anak buahnya nan baru muncul dari dalam hutan; menenteng gergaji mesin pada tangan kiri, menjepit rokok di tangan kanan, dan pensil bertengger pada selipan daun telinganya.

Pria dengan tinggi 196 sentimeter itu tak menjawab, bak raksasa ia kembali bergontai menuju ke arah sang bos kayu seraya memikul kini gergaji mesinnya di bahu. Singlet putihnya kotor akan bercak-bercak oli juga serbuk-serbuk kayu. Urat-urat besar timbul di seluruh bahu hingga lengan bahkan sampai ke leher betonnya, menegang urat-urat itu oleh karena getaran besar gergaji mesin selama digunakan.

Kulit sang operator yang kecokelatan pun berkilap berkat keringat. Tersembunyi rasa lelah di balik mata emasnya bagai whiskey di dalam gelas kaca. Tenang tatapnya, teratur deru jantan napasnya tatkala langkahnya sampai di hadapan sang bos.

"Kayu-kayu ini milikmu, Rankit?" Bos kayu kembali bertanya, sekalian ia sebut nama anak buahnya yang terlalu pendiam itu. Pendiam dan suka bekerja seorang diri, kerap menjauh dari yang lain.

Rankit Packer, pria dengan tinggi hampir dua meter itu merespon dengan cara mengangkat satu alis.

Bos kayu manggut-manggut. Ia menengadah lagi agar dapat melihat anak buahnya di depan. "Sangat rapi. Lima pohon?"

"Ya. Lima pohon." Rankit membuka suara. Kemudian ia jatuhkan gergaji mesinnya ke tanah.

"Tidak ada yang cacat, semua sudah kuperiksa," terang pria itu lagi. Suaranya kental akan nada berat.

IMMORALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang