CHAPTER 23

11.9K 1.7K 1.5K
                                    

Mention kalau menemukan typo ❤️
Happy reading.

****

"Selamat pagi, Sultan Liben."

"Pagi, Sirea. Bagaimana tidurmu?"

Tepat pukul enam Sirea bangun. Dengan mata bengkak khas bangun tidur juga kedua tangan dilipat di depan dada perempuan muda itu menghampiri Rankit.

Rankit menepati perkataannya. Sepanjang malam ia tidak tidur, berjaga dengan penuh waspada sembari terus menyalakan api. Saat pukul lima tadi matanya sudah terasa begitu berat, namun kembali nyalang ketika adanya suara dari arah dalam hutan dan membuat Rankit segera berdiri, menodongkan pistolnya lalu ternyata hanyalah seekor tikus hutan yang muncul.

Karena dingin, Sirea lantas duduk di dekat api yang masih menyala. Ia membuka telapak tangannya, menggosok-gosok kemudian menangkup pipinya guna menghangatkan.

"Bosmu masih tidur?" tanya Rankit sembari bersiap-siap. Ia menggendong senjata hasil rampasannya dari anak buah Heron di punggung, pun menyisipkan juga belati dan pistolnya di pinggang.

"Belum. Tapi kulihat keningnya berkeringat dan wajahnya sangat pucat." Sirea memberitahu. Tadi dia ingin meraba kening Reba, namun rasa segan membuatnya tak berani.

Mendengar hal itu Rankit lantas meninggalkan Sirea lalu menuju ke truk. Dia membuka pintu truk di samping Reba, menemukan Reba yang memeluk tubuhnya sendiri, memejam dengan kening berkerut kecil serta bibir nan pucat. Sakit.

Rankit berputar di depan truk, membuka pintu lalu naik dan duduk pada jok di sebelah wanita tersebut. "Reba," panggilnya pelan.

"Hey." Rankit meraba kening Reba dan mendapati suhu tubuh Reba yang meninggi. "Reba, bangun. Kita pergi sekarang."

Untuk sampai ke kota, setidaknya mereka membutuhkan waktu sekitar tiga sampai empat jam dari hutan itu. Akan tetapi, mereka dapat singgah di sebuah desa yang hanya membutuhkan dua jam dari posisi saat ini.

"Reba." Sekali lagi Rankit memanggil. Ia sentuh bahu Reba, mengguncang pelan agar Reba segera bangun.

Perlahan-lahan Reba mulai membuka mata. Tampak kini matanya nan memerah, memandang Rankit lemah. "Sekarang pukul berapa?" Dalam sekejap Reba langsung duduk dengan benar. Rambutnya ia sisir naik, terkejut sebab melihat lokasi sekitar yang telah diterangi oleh cahaya matahari pagi.

"Enam lewat." Rankit tak luput dari wajah Reba. Ia tahu Reba menahan lapar, haus dan sakit.

"Harusnya aku tidak tidur." Seolah menyesal telah tidur hingga mereka kesiangan, Reba berdecak dan sekali ia menyugar surainya naik.

"Mana Sirea?" Sembari bertanya Reba melihat ke arah luar, kepada Sirea yang masih duduk di depan api. "Sirea, kita jalan," teriak Reba dengan kepala yang sedikit melongok dari jendela truk.

Kini Reba melihat Rankit di sebelahnya. "Tetaplah waspada. Besar kemungkinan Heron dan anak buahnya sedang menunggu kita di perbatasan hutan."

Tanpa berpaling dari wajah pucat Reba, Rankit pun menyenggut kecil. Ia tahu wanita itu sakit, tapi Reba sama sekali tak mengeluh atau menunjukkan kelemasannya. Bahkan dengan gesit Reba kemudian menyalakan mesin truk, membawa mundur kendaraan itu lalu berputar arah.

"Kau mau bersama Sirea di sini? Biar aku yang memakai trail." Reba memberi tawaran. Ia juga tahu Rankit sedang menahan kantuk.

"Tidak. Biar aku," jawab Rankit. Ia lalu melompat turun dari dalam truk.

Menit itu juga mereka meninggalkan hutan setelah menghabiskan malam penuh ketegangan di sana. Meninggalkan hutan yang juga memiliki kenangan ciuman panas Rankit di bibir Reba. Saksi bisu di mana Rankit bersikap kurang ajar kepada wanita yang, sedari awal telah berkata apabila ia takkan mau membalas perasaan pria tersebut.

IMMORALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang