13

60 12 1
                                    

"impossible..."

Gadis itu mengerutkan alisnya. Bagaimana bisa tak mungkin terjadi jika kejadiannya jelas?

"Jangan bercanda. Tentu saja semuanya bisa—"

"Impossible, Li... Kamu tak percaya padaku?"

Kepala Lia sedikit miring. Jeno nampak sangat serius sekarang. Tak ada tanda kalau pemuda itu tengah berbohong. Bahkan raut wajahnya terkesan sangat marah sekarang.

"Tapi kalian berdua pernah melakukannya. Serapi apapun kau mencoba, tapi kemungkinan pasti ada..."

"You don't believe me?"

Lia terdiam. Ia melihat Jeno nampak lebih buruk akibat ucapannya. Bahkan pemuda itu seperti siap meledak jika saja kesabarannya tipis. Ini bukan bercanda. Tapi dirinya tak tahu siapa yang benar dan salah disini. Dan apa juga alasan Jeno sampai seyakin itu.

Diraihnya tangan Jeno yang nampak saling menggenggam erat menahan emosinya lalu ia berikan usapan pelan. Menoleh, mata mereka saling bertatapan. Sedikit kelegaan dari Jeno membuat Lia tersenyum tipis.

"I believe you. Tapi kamu bisa jelaskan padaku? Apa yang membuatmu sangat yakin dengan ucapanmu itu?"

Alis Jeno berkerut mendengarnya.

"Bukan meragu, tapi aku juga perlu alasan untuk membelamu nanti. Kalau hanya kau yang tau, bagaimana mereka bisa percaya atas pembelaanku untukmu?"

Pemuda itu nampak menghela nafas berat. Sepertinya menjelaskan alasannya adalah sesuatu yang sulit sekali baginya. Tapi Lia tahu, Jeno tak mungkin berbicara tanpa bukti yang semu semata. Setidaknya, 80 persen bukti itu harus memenuhi keakuratannya.

Tak mau memaksa, Lia mencoba mencairkan suasana dulu. Lain kali mungkin waktunya. Ia yakin masih ada waktu dan apapun itu ia akan mendukung Jeno selayaknya bagaimana pemuda itu selalu menjadi pelindungnya selama ini.

"Butuh tempat bersandar?" Tawarnya membuat Jeno menoleh lagi dan mengangguk pelan. Kekehan pelannya sambil merentangkan satu tangan membuat Jeno berpindah duduk kesebelahnya dan bersender pada bahu sahabatnya itu.

Memejamkan mata saat tangan kecil si gadis mengusap kepala dan rambutnya. Lia persis mamanya. Selalu bisa memberikan kenyamanan dan ketenangan tanpa menghakimi lebih dulu. Pantas saja Jake sangat memuja sahabatnya itu.

"You know, why I always support Jake to be with you?"

"Karena aku cantik dan pintar." Jawab Lia percaya diri namun diakhiri dengan tawa keduanya.

"Hhmm...mungkin itu salah satunya. Tentu saja gen keluarga Lee tak perlu diragukan meski anak itu sangat meragukan..."

Lia menepuk pelan lengan Jeno yang meledek sang adik hingga pemuda itu terkekeh pelan. Ya memang, Jake tak sepandai kakaknya. Tapi pemuda itu juga tak bisa diragukan jika sudah mode fokusnya. Hanya butuh pematik untuk menyalakan api semangatnya.

"Haahh... Aku butuh orang sepertimu untuk bersama kami. Gadis yang berani dan anti banting. Yang bisa dipercaya untuk menjaga berbagai hal dalam keluarga Lee. Aku percaya padamu, dan itu sulit aku lakukan pada yang lain..."

Lia diam mendengarkan saja. Ia tahu Jeno saat ini butuh tempat bercerita dan ia selalu siap mendengarkan keluh kesah sahabatnya itu.

"Gadis yang juga bisa aku percaya menjaga adik dan orang tuaku kelak..."

"Kau juga harus mencari gadis yang seperti itu kalau begitu. Kan kau juga anak mereka..."

"Sulit..."

Pelan dan berat. Itu yang Lia rasa dari ucapan Jeno. Seperti pemuda itu tak yakin akan masa depannya sendiri.

"Kau bisa..."

"Aku bisa... Tapi apa ada yang bisa menerimaku?"

"Kau sempurna. Apa ada gadis yang meragukan mu selama ini? Seakan kau tinggal tunjuk saja mereka siap menjadi pendampingmu..."

"Hanya untuk sementara tapi..."

Tak menjawab, Lia malah fokus pada salah satu pemuda yang nampak berlari terburu-buru ke arah mereka. Itu Renjun. Pemuda menggemaskan namun menyeramkan. Ah... Dia juga tak akan mungkin rela menghabiskan tenaganya untuk hal tak penting apalagi menghampiri dua sahabatnya itu. Paling tidak ia hanya akan mengirim pesan meminta keduanya yang mendatanginya. Jadi ini pasti hal mendesak.

"Jun?"

"Lia... Keluargamu..."

















.
.
.









Just Wanna Be YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang