26

76 7 0
                                        

"dia sakit,Jake..."

"Ini semua hanya alibinya..."

"Dia hilang. Kami sedang mencarinya. Tapi kami yakin dia pasti bersama pria itu..."

"Dia pasti akan baik-baik saja. Jika pria itu sampai membawanya ke rumah sakit dan menjaganya selama ini, aku yakin dia pasti juga membawanya berobat sekarang..."








"Kenapa kau melakukan ini? Kenapa kau memilih pergi bukannya memberi tahuku keadaanmu sebenarnya?"

Duduk termenung, semuanya masih juga belum memuaskan hatinya. Semua alasan dan kemungkinan yang orang sekitarnya ucapkan sama sekali tak bisa membuatnya tenang. Ia hanya ingin mendengar jawaban langsung dari Lia. Ia ingin gadis itu sendiri yang mengatakannya. Namun sudah beberapa bulan berlalu,kenapa belum ada kabar sama sekali?

Ia tak tenang. Apa yang terjadi pada Lia disana pun ia tak tahu. Ia takut, apa Lia tak akan kembali?






"Kak Lia malam itu mengatakan supaya aku menjaga mama dan papa. Dia mengatakan kalau aku harus selalu ingat bahwa dia menyayangi kami semua..."




Mengusak kasar kepala dan menyembunyikannya diantara lipatan kaki,ia kembali menangis. Seberapa kesalpun dirinya pada Lia yang pergi begitu saja, ia tetap tak bisa membenci. Meski luka yang Lia buat dengan drama palsunya juga tak kalah besar, namun rasa takutnya kehilangan Lia tanpa ia ketahui kondisinya secara langsung masih jauh lebih besar. Ia masih berharap Lia nya kembali.

"Aku berjanji, sayang. Aku tak akan memarahimu, aku tak akan menghukum mu atau menaruh dendam padamu. Tapi kembalilah padaku. Kembalilah dalam keadaan baik-baik saja. Aku mohon...kembalilah,Lia. Jangan membuatku mati perlahan karena merindu dan memikirkanmu segila ini..."

























Dari balik sela pintu, Tiffany menutup mulutnya, menahan suara isakan. Melihat Jake yang meski fisiknya dalam keadaan sehat, namun tidak dengan hati dan pikiran nya. Putranya itu nampak seperti orang yang bertahan hanya untuk menunggu sebuah kabar yang tak tahu kapan akan tiba.

Bahkan setelah suaminya Donghae turun tangan pun Lia tak kunjung berhasil diketahui keberadaannya. Jika tebakannya benar, kemungkinan Lia memang sudah dibawa pergi keluar negeri. Salah satu negara yang belum bisa mereka jangkau informasinya.

"Gadis itu sangat berpengaruh dalam hidupnya..."

Menoleh, Tiffany melihat sang ayah yang berdiri dibelakangnya. Tak berbeda jauh darinya, sang ayah juga khawatir terhadap kondisi cucunya. Hanya saja ia menutupinya dengan sikap keras dan dinginnya supaya Jake mau saja menuruti salah satu dari mereka untuk sekedar menghabiskan makanan yang sering tersisa.

"Lia sangat berarti baginya, pa. Cinta pertamanya. Bahkan aku masih ingat, jika bukan karena Lia yang meminta, Jake tak akan mau melanjutkan pendidikannya. Ia bahkan memilih menjadi seorang barista hanya untuk berada disebelahnya. Menjaganya..."

Tuan Hwang tak langsung menjawab. Ia masih menatap cucunya yang terisak di sofa dekat jendela kamarnya. Awalnya ia tak mengerti apa yang terjadi,mendadak cucunya yang biasa selalu nampak bak pemuda dimabuk cinta itu berubah berantakan dalam sehari. Jatuh sakit, lalu setelah sembuh malah mendapat kabar yang membuatnya seperti sekarang. Seperti tubuh tanpa jiwa karena jiwanya ikut hilang dengan gadis bernama Lia itu.

Ia tentu tak suka melihat keadaan keluarga putrinya menjadi demikian. Terutama pada sang cucu bungsunya. Si kecil yang sejak dulu selalu menjadi penghangat keluarga dengan tawa dan keceriaannya. Memang benar, saat sang mentari redup, saat itulah dunia terasa gelap dan dingin seketika. Begitupun dengan keluarga mereka sekarang.

"Bagaimana jika—"

Ucapan tuan Hwang terhenti kala terdengar suara dering ponsel milik putrinya. Segera saja Tiffany menerima panggilan yang ternyata dari nomor asing itu.

"Halo?"

"Halo, selamat siang. Dengan nyonya Lee?"

Melirik, Tiffany nampak bingung karena tak juga mengenali suara siapa yang berada di seberang panggilan itu. Meski terdengar lembut, suara wanita itu tetap saja asing baginya. Sementara tuan Hwang nampak mengerutkan alisnya melihat ekspresi bingung sang putri.

"Iya,benar. Maaf,saya berbicara dengan siapa,ya?"








































Tangan digenggam erat, tak membuat Jake kehilangan sedikitpun rasa khawatirnya. Meski sang mama terus mengingatkan dirinya untuk tenang, namun ia tak bisa. Tidak untuk saat ini sampai semuanya jelas. Sampai ia menemukannya.

"Lia akan baik-baik saja, Jake..."

Menggeleng, pemuda itu masih tak bisa percaya. Bagaimana bisa ia percaya jika ia belum melihat bahkan mendengar suaranya langsung. Panggilan siang tadi hanya mengabarkan tentang lokasi Lia saat ini.

Meski awalnya ragu, namun atas persetujuan sang suami dan ayahnya juga desakan Jake yang sudah diambang kefrustasiannya, akhirnya Tiffany memberanikan diri membawa sang putra untuk pergi ke negara tujuan. Sedangkan Donghae sendiri akan menyusul dengan Jeno setelah memberitahukan kabar Lia pada keluarga gadis itu.

Setengah berlari Tiffany mengejar langkah sang putra yang nampak sangat terburu-buru menuju kamar yang ditunjukkan seorang pria berjas rapi yang memang ditugaskan menunggu mereka. Sampai akhirnya mereka masuk pada sebuah kamar rawat rumah sakit yang sangat mewah.

Saat itu juga jantung Jake seakan berhenti berdetak. Matanya tak berkedip dengan mulut yang sedikit terbuka. Menatap seorang gadis yang terbaring dengan berbagai peralatan medis di sekeliling ranjang maupun menempel pada tubuhnya. Sementara di sebelahnya nampak seorang pria yang Jake masih ingat wajahnya. Pria yang hari itu ia ajak berdebat di kontrakan Lia.

Saling membungkuk antara Tiffany dan Taehyung, namun tidak dengan Jake yang sudah terkunci pada sang pemilik hatinya yang terbaring lemah.

Kakinya seakan melemas dan dunianya berputar hingga tubuhnya agak limbung. Namun sang mama segera membantunya supaya tak sampai terjatuh. Ia tahu, Jake tak kuat jika harus melihat Lia seperti sekarang. Jangankan terbaring tak sadarkan diri, dulu Lia bersin-bersin saja putranya itu sudah sangat khawatir.

Taehyung melihat itu semua. Melihat bagaimana tatapan hancur yang lebih muda. Ia tak punya pilihan lain saat dokter mengatakan butuh keajaiban supaya Lia bisa sadar. Bukan hanya karena keterlambatan operasi akibat sulitnya mencari pendonor, namun juga karena sepertinya dalam diri gadis itu sendiri sudah tak memiliki keinginan untuk hidup.

Karena hal itulah, ia memilih mengabari Tiffany karena nomor telfon Jake yang ia dapatkan sudah tak aktif. Berharap setidaknya jika memang akhirnya Lia harus pergi, pemuda yang pastinya akan paling terluka itu bisa melihatnya untuk yang terakhir kali dan merelakannya juga. Bukan permintaan Lia, tapi ia tahu gadis itu menginginkannya. Karena nyatanya bukan hanya Jake, Lia pun sangat mencintai pemuda itu.

Membantu Jake untuk berdiri disebelah ranjang Lia, ia menepuk pelan bahu yang lebih muda.

"Bicaralah dengannya. Jangan membencinya karena dia sangat menyesal dan sangat mencintaimu..." Bisiknya membuat Jake makin menggenggam erat tangan kurus pucat milik Lia.

"Kak..."













.
.
.












Just Wanna Be YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang