"itu tidak mungkin, kak!"
"Nyatanya begitu, Jake! Tepat di depan mataku! Kau tanyakan saja pada teman-temanmu yang ada di kampus itu juga. Mereka melihatnya karena aku sengaja mengajak mereka!"
Hari itu juga dunia Jake seakan runtuh untuk kedua kalinya. Ya, ini bukan pertama kalinya Jake hancur. Ia mernah merasakannya saat ia tahu alasan Lia keluar dari rumahnya. Saat itu ia merasa sakit yang luar biasa, tahu bahwa Lia sudah melangkah ke jalan yang ia takutkan. Namun nyatanya hatinya tak bisa berpaling. Ia memilih memantapkan hati untuk merengkuh Lia. Ia tulus akan menerima segalanya hanya untuk cinta pertamanya itu.
Namun kali ini, dunianya hancur lagi saat mengetahui citanya pergi, memilih bersama yang lain. Pria yang mungkin lebih bisa memberikannya segalanya ketimbang dirinya yang bukan hanya jauh namun juga berbatas tembok tebal aturan keluarganya.
Sungguh, jika saja dirinya lalai pada aturan, ia bisa dengan mudah memberikan dirinya pada Lia. Namun ia ingin menjaga Lia yang ia pikir selama ini merasa trauma pada apa yang pernah ia alami sebelumnya. Nyatanya kini dirinya di tinggalkan untuk yang bisa memberikan segalanya.
Suara bantingan ponsel terdengar nyaring saat setelah dirinya mencoba menelfon Lia kesekian kalinya namun hasilnya sama. Nomornya sudah tak bisa menghubungi nomor Lia membuatnya makin frustasi. Tangisnya pecah seketika bersamaan dengan tubuhnya yang luruh ke lantai. Tak pernah dirinya membayangkan akan sehancur ini.
Ia sebelumnya teramat yakin, saat menatap mata Lia, ia yakin gadis itu tak akan berdusta ataupun mendua. Lia tak akan menyakitinya. Namun nyatanya semua hanya tanda betapa dirinya mudah dibodohi oleh cinta. Ia buta akan yang namanya cinta hingga kini terpuruk sendiri setelah ditinggalkan.
"Kenapa,kak? Kenapa kau menyakitiku sedalam ini? Kenapa kau sampai hati menyakitiku seperti ini? Sakit kak... Rasanya sesak sekali. Tolong datang dan katakan ini semua hanyalah mimpi burukku lagi. Aku benci,benci mimpi burukku yang selalu menjadi nyata. SIALAN....!!!"
"kau baik-baik disana ya,sayang..."
Usapan pelan pada kepalanya, namun yang terasa berat malah hatinya.
"Maaf Lia harus meninggalkan kalian..."
"Hanya sementara, sayang. Kau juga akan kembali. Kan kau bilang pertukaran pelajarnya hanya hitungan bulan. Lagi pula, semuanya sudah lebih baik sekarang. Kita sudah bisa membayar pegawai untuk membantu di cafe. Itu semua berkat dirimu..." Ucap Dara tersenyum teduh pada putrinya. Jujur saja, ia tak ingat apakah dulu ia pernah berbicara sedalam itu dengan sang putri.
Dulu, sebelum semua masalah itu datang dan Lia pergi. Ia tak bisa menahan, karena nyatanya saat itu juga ia kecewa. Namun ia tahu, putrinya terlalu baik dan polos saat itu hingga mudah dimanfaatkan. Salahnya yang kurang menaruh perhatian pada salah satu anaknya itu hingga Lia tak tahu mana yang benar dan salah. Nyatanya setelah kepergian Lia, ia dan suaminya tak pernah seharipun tak menyalahkan diri sendiri atas kegagalan menjaga putri mereka.
Mendengar penuturan mamanya, Lia tak bisa tak menangis. Meski tersenyum, hatinya sakit. Diraihnya tangan sang mama lalu ia kecup berkali-kali sambil mengucapkan kata maaf yang dalam. Sedikit ketukan Dara rasakan dalam hatinya melihat tingkah putrinya namun ia beralih kembali mengambil kesimpulan kalau putrinya itu merasa sangat bersalah meninggalkan mereka untuk beberapa bulan demi pendidikannya. Pendidikan yang Lia perjuangkan mati-matian seorang diri selama ini.
"Ma... Boleh Lia tidur dengan Jisung malam ini?" Tanyanya pelan yang membuat Dara tersenyum dan mengangguk. Dara sendiri tahu, sejak dulu Jisung memang lebih dekat dengan Lia dan nyatanya anak terakhirnya itu juga merindukan sang kakak. Hanya tertutup rasa gengsi saja karena mulai beranjak remaja.
"Hhmmm...adikmu pasti juga ingin bicara denganmu sebelum kamu pergi..."
"Ji..."
"Ya kak?"
Jisung yang sudah berbaring menoleh pada kakaknya. Terlihat sang kakak yang memilih menatap langit-langit kamar yang gelap, hanya bersinar rembulan dari arah jendela kamar itu. Kakaknya nampak cantik. Jisung masih ingat banyak temannya yang menyukai sang kakak, bahkan sampai sekarang masih ada yang mencoba mendekati kakaknya setelah sang kakak terlihat lagi bersamanya. Namun satu hal yang ia baru sadari. Kakaknya itu nampak lebih kurus. Pipinya tirus, kulitnya memucat. Bahkan tatapannya tak lagi cerah seperti sebelumnya.
"Kau tahu, aku selalu berusaha menjadi kakak yang baik untukmu. Meskipun pada akhirnya aku gagal..."
Menggeleng, Jisung tak setuju dengan pernyataan itu. Baginya sang kakak telah berhasil menjadi kakak yang baik. Menjaga dan mengajarinya, lalu datang disaat yang tepat. Saat Jisung pikir keluarganya akan hancur.
"Jisung, jangan ikuti jalan buruk yang aku ambil. Ambil jalan baiknya meski tak banyak. Terutama semangatku untuk menjaga mama dan papa..."
Kini Jisung mengangguk,menyetujui ucapan sang kakak. Ia pun berjanji akan melakukan itu dan kini ia berjanji atas nama kakaknya juga.
"Kau tahu, dulu saat kau hadir, aku belum mengerti apa itu yang namanya adik. Aku pikir kau datang dari rumah orang lain begitu saja kedalam rumah ini. Aku bahkan sempat bertanya pada mama, kapan ia akan mengembalikan mu pada tetangga sebelah..." Ucapnya sambil terkekeh pelan mengingat masa kecilnya itu. Jisung tersenyum simpul membayangkan betapa lucunya kejadian itu. Karena kenyataannya kakaknya memang sejak kecil terlihat paling imut dan menggemaskan.
"Jadi jangan berpikir aku tak suka memiliki adik,memilikimu. Karena aku sendiri belum mengerti semuanya. Namun seiring berjalannya waktu, semakin kau besar, semakin kau terus mengikuti ku bahkan menangis setiap aku tinggalkan. Walau kadang aku ingin sekali mengikatmu dirumah supaya aku bebas bermain tanpa perlu menjagamu..."
Tawa keduanya terdengar. Bahkan Jisung menggeleng pelan karena malu sendiri. Memang, bahkan sampai memasuki masa sekolah dasar pun ia masih suka mengikuti kemanapun langkah sang kakak.
"Seiring berjalannya waktu, aku tahu kalau aku sangat menyayangimu. Aku mungkin suka menjahilimu hingga kau menangis, tapi aku tak suka melihat orang lain yang membuatmu menangis. Aku mungkin suka melihatmu kesal saat aku membagikan tugas rumah,tapi aku juga lelah pada saat itu sehingga tak punya pilihan lain. Kau tahu sendiri kak Rose seperti apa..."
Ya, Jisung tahu dan masih sangat ingat. Kakak pertamanya itu selalu saja punya banyak alasan untuk menghindari pekerjaan rumah. Bahkan dia jarang sekali dirumah sampai Jisung tak akrab dengannya. Ia juga masih ingat, saat Lia pergi dan untuk pertama kalinya kejutan ulang tahun diberikan oleh Rose, ia sama sekali tak merasa bahagia.
Yang ia harapkan saat itu adalah kakaknya datang dan memberikan kejutan kepulangannya. Meski ia selalu mendapatkan titipan hadiah dari sang kakak lewat teman kelasnya. Hatinya terketuk hingga tanpa sadar air matanya menetes. Sebesar itu kakaknya menyayanginya dan sebesar itu pengaruh sang kakak dalam hidupnya.
"Ji..."
"I-ya..." Cicitnya terbata.
"Selalu ingat, aku selalu menyayangimu. Aku tak ingin membebanimu namun aku juga ingin kau bisa mandiri supaya bisa aku titipkan papa dan mama padamu kelak saat aku pergi..."
Sesak terasa di dada keduanya. Lia yang membayangkan masa depannya dan Jisung yang membayangkan dirinya harus kehilangan kakaknya lagi.
"Aku menyayangi kalian semua. Kau harus ingat itu..."
.
.
.

KAMU SEDANG MEMBACA
Just Wanna Be Yours
FanfictionUsia bukan penghalang. Itu yang pemuda itu selalu ingat. Tentu saja motto hidup itu baru tercipta dan hanya berlaku dalam hal percintaannya saja pada sang senior idamannya, Lia.