18

87 6 0
                                    

Naruto masuk ke dalam tempat suci itu, melihat Hinata berdoa dengan sangat khusu, duduk bersimpuh di depan arca dewa. Pria itu melihat pundak Hinata bergetar.

Pria itu mendekat, duduk bersisian dengan Hinatanya. Dia melirik ke arah Ratunya itu, sedang terpejam dengan mengeluarkan air matanya. Pria itu segera menghadap depan, ikut berdoa di depan arca dewa.

Naruto membuka mata saat merasakan kakinya kesemutan, melirik keberadaan wanita di sampingnya namun tidak ada. Hinata sudah meninggalkan tempat itu, tapi sejak kapan?

Naruto segera bangkit, berjalan dengan sedikit pincang, dia masih merasakan kesemutan di kakinya.

...

Hinata berbaring miring di kamarnya, termenung. Dia tersentak saat mendengar seseorang yang membuka pintu kamarnya dengan sedikit kasar. Namun Hinata tidak ingin melihat siapa yang datang.

"Hinata"

Suara bariton memanggil namanya. Hinata tau, itu adalah suara Naruto namun, dia masih enggan membalikkan badan.

Naruto tidak tau lagi harus bersikap bagaimana. Pria itu segera mendekati Hinata, berbaring memeluk perut permaisurinya. "Hinata"

Hinata melirik lilitan tangan Naruto di perutnya. "Bukankah kau sedang menegakkan keadilan? Kenapa ke sini? Apa sudah selesai?"

Naruto menghela nafas. "kenapa kau tidak mau menghadap ke arahku?"

Hinata memejamkan mata. "Pergilah, aku ingin sendiri"

Naruto terkejut, Hinata mengusirnya? "Kau memerintah raja?"

Hinata meneteskan air matanya lagi. Tidak ingin menanggapi Naruto.

Naruto bangkit dari posisi berbaringnya, segera meninggalkan kamar Ratunya itu. Dia benar-benar emosi saat ini, mendengar usiran dari Hinata membuatnya mengumpat berkali-kali dalam hati.

...

Hinata bangkit, dia begitu lelah hari ini, mungkin dengan berendam di air hangat dapat memulihkan tenaganya.

"Tolong siapkan air hangat untukku" Ucap Hinata pada pelayan yang ada di kamarnya.

"Baik, Yang Mulia"

Para pelayan segera melaksanakan tugasnya. Menyiapkan air, kain pengering tubuh, gaun ganti, alat rias dan hiasan kepala. Mereka begitu sigap menyiapkan keprluan untuk sang Ratu.

"Semuanya sudah siap, Yang Mulia" ucap pelayan setianya itu.

Hinata mengangguk, segera berjalan menuju kolam pemandian, membersihkan diri agar lebih segar.

...

Naruto masih menunggu Hinata di gazebo, ingin menghabiskan waktu bersama seperti sore-sore kemarin. Ingin selalu ditemani menikmati indahnya matahari terbenam bersama yang terkasih.

Pria itu tersenyum saat melihat wanita cantik yang juga tersenyum ke arahnya. Mungkin suasana hati Hinata sudah lebih baik, pikirnya.

Seperti biasanya, Hinata akan menuangkan teh dari teko, mengisi cangkir mereka dengan aroma jasmin itu.

"Kau sangat pucat" Naruto membelai pipi Hinata.

Hinata tersenyum. "Aku tidak apa-apa"

"Apa kau yakin?" Naruto sedikit khawatir.

Hinata mengangguk. "Iya"

Baiklah, Naruto tidak ingin memperpanjang masalah, dia tidak ingin bertengkar dengan Ratu cantiknya itu.

...

Hinata menatap Naruto. "Bolehkah aku mengajukan permintaan padamu?"

Naruto menarik sudut bibirnya. "Tentu saja"

"Aku tidak ingin kau menghukum selir Saara" ucap Hinata pelan.

"Aku tidak bisa. Semua orang yang menghianati raja Harus di hukum" Naruto berucap tegas.

"Aku mohon dengarkan penjelasanku dulu" Hinata memohon.

"Jangan katakan apapun jika kau hanya ingin membela wanita murahan itu" ucap Naruto tajam. Hinata harus perlu diberitahu bahwa keputusan Raja adalah kehendak Tuhan.

Hinata menarik nafas panjang, berusaha menguatkan hati. Saat ini rajanya itu tidak bisa diajak berdiskusi.

"Selir Saara sedang hamil, dia membutuhkan dukungan, dia membutuhkan seseorang yang bisa bertanggung jawab atas bayi itu"

"Jika anda tidak mau menjadi ayah untuk bayi itu, maka biarkan panglima Gaara hidup dan mempertanggung jawabkan perbuatannya"

"Anda sama sekali tidak mengerti posisi wanita. Saat cinta dan ketulusannya tidak hargai maka sangat wajar jika dia akan mencari orang yang bisa menerimanya, membalas cinta dan ketulusan itu dengan sama besarnya"

"Saat anda tidak menginginkan wanita yang anda sebut murahan itu, lalu kenapa anda menjadikannya seorang selir?"

"Pada akhirnya anda sangatlah egois, selir Saara hanya anda jadikan sebagai tameng untuk diri anda sendiri"

Hinata kini telah bersujud di kaki Naruto, menangis memohon pada Rajanya itu.

"Saya mohon, jika memang anda tidak mau menjadi ayah untuk bayi itu, lepaskanlah Selir Saara dan panglima Gaara, biarkan mereka hidup bersama, membesarkan bayi mereka bersama"

Naruto harus tau bagaimana tersiksanya seorang wanita yang melahirkan tanpa ditemani suaminya, bagaimana tersiksanya seorang anak saat mengetahui dirinya tidak sama dengan teman-temannya, tidak memiliki orang tua yang utuh.

...

Naruto terkejut dengan sikap Hinata, kenapa Ratunya itu repot-repot memohon kepadanya sampai bersujud seperti ini hanya demi dua orang pendosa? Bukankah Ratunya itu sama seperti menentang keputusannya?

"Hentikan Hinata!" Naruto berteriak, keras sekali.

Hinata bangkit, menatap Naruto dengan pandangan sendu, sarat dengan kekecewaan di hatinya. "Kau akan mendapatkan karmanya, kau harus ingat itu"

Hinata meninggalkan Naruto yang masih menatap tajam kearahnya.

...

Di jaman Hinata, hamil sebelum menikah sangatlah lumrah, bukan sebuah aib, apalagi sampai harus dihukum. Namun ini berbeda, jaman yang sangat tidak memperdulikan perasaan wanita. Bahkan pada jaman ini wanita selalu dianggap salah, hanya dijadikan alibi dan pemuas nafsu.

Karena kau terlalu berpakaian menggoda

Karena kau terlalu banyak tingkah

Kau itu hanya selir

Kau itu tidak bisa menentang keputusan raja

Yang perlu ditekankan adalah, jika sudah tidak menginginkan bukankah mudah untuk dilepaskan?

...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

...

Your Majesty✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang