44. check in [21+]

4.1K 136 20
                                    

tolong tandain kalau ada typo ya:) dan inget juga kalau ini fiksi :')
...

Keluarga Wijaya adalah salah satu keluarga konglomerat besar di Indonesia, mengingat rekam jejak mereka dalam dunia bisnis selama berpuluh-puluh tahun. Heksa sangat mensyukuri hal tersebut. Tanpa privilege itu, Heksa tidak akan bisa merasakan kehidupan semewah sekarang. Tugasnya hanya bernafas, kalau kata sebagian orang yang menilai. Tapi dalam lapangan dan prakteknya, kenyataan selalu tidak semudah itu.

Nafasnya terasa berbayar, langkahnya berat, dan kehidupannya seolah tidak sesuai dengan yang dia bayangkan. Semuanya telah diatur, telah ditetapkan bahkan tanpa memperdulikan kehendaknya bagaimana. Bisa kalian menolak, asalkan mempunyai jabatan, asalkan memiliki nilai yang bisa ditukar, dan saat ini, Heksa bahkan masih diambang kesulitan mencapainya.

"Ya Heksa? Jadi tiga bulan lagi kalau Aruna datang, kamu harus udah stand-by dirumah, persiapan jemput dia dan kita adakan makan-makan. Nenek tadi yang kasih pesan papa begitu, takutnya kamu lupa kalau dia itu masih pacar kamu."

Bahkan, nafas saja rasanya sulit bagi Heksa sekarang. "Iya, pa," jawab Heksa nyaris seperti bisikan di tengah keheningan. Dia malas mendebat untuk sekarang. Tidak sekarang, disaat tubuhnya saja belum sepenuhnya pulih dari sakit yang menimpanya.

"Mbak Aruna itu silsilahnya dari nenek itu gimana sih ma? Kok katanya juga cucu nenek?" Tanya Haerin tanpa beban.

"Nenek kan satu marga sama mbak Aruna, dek. Jadi, nenek itu punya adik laki-laki, namanya Kakek Wagiyo Tanjung. Kakek Wagiyo punya anak tiga. Hadi Tanjung, Kusumo Tanjung sama Shinta Tanjung. Yang anak tengah itu tadi, om Kusumo Tanjung ayahnya mbak Aruna, dek. Jadi kalau di jawa itu mas Heksa sama mbak Aruna misanan."

"Keluarga boleh nikah ma?"

"Kalau dari silsilahnya, masih boleh dek. Yang tidak boleh itu kalau kandung. Misal dari pihak adik papa yang dinikahkan, itu nggak boleh."

"Tapi mbak Aruna kayaknya udah ada pacar lagi deh, beberapa kali dia buat story sama cowok-cowok loh ma," kata Haerin yang seketika membuat Radian menoleh, begitupun yang lain. Sementara itu, Heksa hanya menyimak dalam diam. Dia tidak ingin mengucapkan sepatah kata apapun karena mendadak kepalanya penuh dan berisik.

"Rin, jangan fitnah loh ya. Mama nggak suka."

"Ma, jejak digital itu nyata. Nanti ya aku kirim."

Mamanya tidak lagi memperhatikan Haerin, dan kini sibuk mengurusi Boy dan Anggrek yang mulai menangis. Sementara itu Heksa bisa merasakan dengan jelas tatapan Jessica dari seberangnya yang seolah ingin mencari penjelasan atas permintaan papa baru saja. Heksa tahu, Jessica tidak akan melepaskannya kali ini.

"Terus Katherin, kamu kapan minta kejelasan lagi sama Arga? Udah satu bulan setelah papa mengingatkan tentang pertunangan kok belum ada tanggapan?"

"Sabar pa," jelas Katherin dengan cuek, bahkan tidak menatap Haidar sama sekali.

Heksa tahu—Katherin, kakak yang hanya beda sebelas bulan dengannya itu vokal dengan prinsipnya sendiri. Tapi itu jelas, anggota perempuan dari keluarga mereka memang dibebaskan memilih calon pasangan mereka masing-masing—asal memiliki latar belakang keluarga yang jelas. Itu saja. Karena menurut keluarga wijaya, pada akhirnya para perempuan akan melahirkan keturunan marga lain, bukan penerus keluarga mereka sendiri.

"Arga padahal seminggu yang lalu masih ketemu papa, loh, Rin," kata papanya lagi.

"Pa, aku tadi ajak dia makan malam ini aja dia nggak bisa. Dia sibuk, jadi jangan tekan aku untuk bicara lagi. Yang ada dia malah muak dan berujung urung mau nikahin aku."

"Rin," mamanya mengingatkan.

"Oh iya, teman kamu kemarin siapa, Sa? Keisya ya? Ini aku udah buat salinan materi debat buat dia. Nanti tolong disampaikan ya." Hendra, dari tempat duduk yang berjauhan dengan Heksa memotong, membelokkan pembicaraan ke arah lain yang membuat jantung Heksa terasa berhenti sejenak saat mendengar nama Keisya disebut.

Fate's Knot Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang