17. rasa yang disadari

1.6K 91 16
                                    

Hari sudah sangat larut, namun suasana kafe justru terasa semakin hidup. Lampu-lampu neon yang temaram menciptakan nuansa hangat, menyinari wajah-wajah yang penuh dengan tawa dan obrolan. Heksa baru saja tiba bersama Kania. Mereka baru saja kembali dari Gramedia, di mana mereka tiba tepat sepuluh menit sebelum toko tutup.

Beruntung, Kania sudah tahu buku apa yang ingin dibelinya, sehingga mereka tidak perlu berlama-lama di sana.

Bagi Heksa, ini adalah momen yang langka; malam ini, akhirnya ia bisa menikmati waktu larut bersama Kania tanpa ada tekanan untuk memulangkan gadis itu lebih awal. Orang tua Kania, yang dikenal sangat strict, sedang berlibur ke Malaysia selama tiga hari ke depan, memberi mereka kebebasan yang jarang dirasakan.

Setelah mengambil tempat di kafe yang ramai itu, mereka bergabung dengan Revan, Jay, Jendra, Rangga, Alam, dan Jose. Mereka sengaja berkumpul malam itu untuk berbincang santai, melepas penat setelah hari yang panjang.

Suasana di antara mereka penuh canda tawa, dengan suara musik yang mengalun lembut dari speaker kafe, menyatu dengan riuh rendah percakapan pengunjung lainnya.

"Jadi habis dari mana nih, couple kita yang lagi rame banget dibahas di Twitter? Bang Heksa si Kabem yang super sibuk, dan Kak Kania, duta kampus kita yang paling famous?" tanya Revan dengan nada menggoda. Heksa baru saja duduk di samping Kania, dan melihat senyum tipis di wajah Revan. Dia tahu pertanyaan itu hanya basa-basi.

Kania tersenyum sambil mengangkat kantong plastik putih berisi buku yang baru dibelinya. "Kami habis beli buku di Gramedia, habis itu langsung ke sini," jawabnya santai.

"Emang aku sama Heksa kenapa kok bisa sampai masuk menfess?" tanya Kania dengan nada yang tampak tidak terlalu terkejut. Meskipun ada senyum kecil di wajahnya, yang mengisyaratkan bahwa dia sebenarnya tahu tentang rumor tersebut. Kania tampaknya ingin mendengar bagaimana Revan melihat situasi itu.

"Lah... kalian lusa kan pulang bareng tuh. Ada yang paparazi, jadi rame," jawab Revan dengan santai sambil melirik ke arah Heksa yang hanya menghela napas dan mengambil sebatang rokok dari saku jaketnya. Dia menyalakan rokok itu, menghembuskan asap pertama dengan ekspresi tenang yang khas.

Heksa memang tidak terlalu peduli dengan apa yang dibicarakan orang tentang dirinya.

"Oh, bukannya pulang bareng tuh normal banget ya? Aku bahkan sering banget pulang sama Heksa belakangan ini. Jadi kenapa harus banget diomongin sih?" Kania mengernyitkan alis, mengekspresikan ketidakpercayaannya atas betapa konyolnya perhatian yang dia terima.

"Karena itu lo sama Heksa, Kania... coba kalau yang jalan gue sama Sava kan nggak ada tuh yang gosipin," jawab Revan sambil terkekeh.

Kania hanya memberikan senyum kecil sebagai jawaban, seolah sudah terbiasa dengan perhatian yang berlebihan dari lingkungan kampus.

Heksa, sambil terus memperhatikan Kania, merasa penasaran bagaimana gadis itu menanggapi perhatian publik. Selama ini, meskipun hubungan mereka tampak semakin dekat, Heksa belum benar-benar memikirkan langkah apa yang akan diambilnya dengan Kania.

Melihat Kania yang tampak santai dan tidak terpengaruh oleh gosip, Heksa merasa lega. Dia masih butuh waktu untuk memahami perasaannya sendiri dan menentukan seberapa jauh dia ingin membawa hubungan ini.

Revan tidak melanjutkan topik tersebut dan beralih ke kesibukan lainnya bersama teman-temannya, yang segera membuka laptop dan ponsel untuk bermain game. Malam itu, tampaknya Revan dan Alam akan bermain game bersama, sementara yang lain terlibat dalam obrolan ringan atau sibuk dengan ponsel masing-masing.

"Lo next game aja, Sa. Gue habis satu game ini mau video call sama Thalia dulu. Ntar lagi baru join," ujar Jay sambil mengatur kursi dan posisi laptopnya.

Fate's Knot Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang