Jam sembilan pagi. Suasana kelas terasa hening namun tegang. Keisya berkali-kali mengecek jam tangan berwarna rose gold di pergelangan tangan kirinya. Matanya yang cokelat gelap terus melirik gelisah ke arah pintu kelas yang belum sepenuhnya tertutup. Pintu kayu bercat putih itu masih terbuka sedikit, seolah memberikan harapan terakhir bagi mahasiswa yang terlambat.
Di samping kanan Keisya, Nadira, duduk dengan postur tegak. Tangannya bergerak cepat, mencatat setiap detail penjelasan yang disampaikan oleh dosen di depan kelas. Pulpen birunya menari di atas kertas, meninggalkan jejak tulisan rapi dan teratur.
Sementara itu, di sisi kiri Keisya, Berlin hanya diam tak bergeming. Matanya terfokus ke depan, mendengarkan dengan seksama setiap kata yang keluar dari mulut sang dosen. Sesekali alisnya berkerut, menunjukkan konsentrasi penuh pada materi yang disampaikan.
Keisya menghela nafas pelan. Pikirannya melayang kepada Sava yang belum juga muncul. Gadis itu baru saja mengirim pesan di grup chat bahwa dia baru berangkat dari apartemennya. Keisya bisa membayangkan Sava yang panik, mungkin sedang berlari-lari kecil di koridor kampus, berharap bisa sampai di kelas tepat waktu.
"Sava nggak bakalan bisa masuk sih," bisik Nadira tiba-tiba, suaranya nyaris tak terdengar.
Keisya menoleh, melihat Nadira yang kini melirik was-was ke arah depan kelas. Pak Erlangga, dosen mereka yang terkenal disiplin dan tegas, sedang melangkah perlahan menuju pintu. Langkah kakinya yang berat seolah menambah ketegangan di ruangan itu.
Suara derit engsel pintu memecah keheningan kelas, membuat beberapa mahasiswa tersentak kaget. Pak Erlangga berdeham, suaranya yang dalam dan berat menarik perhatian seluruh kelas.
"Saya tutup pintunya," ujarnya dengan nada final. Matanya yang tajam menyapu seluruh ruangan, memastikan semua mata tertuju padanya. "Dan kalian bisa mengabari teman-teman kalian nanti, supaya mereka mencari hari lain sebagai pengganti."
Penekanan pada kata 'nanti' terasa begitu jelas, seolah-olah ada peringatan tersembunyi di dalamnya. Para mahasiswa saling melirik gugup, tak ada yang berani bersuara atau bahkan bergerak.
Setelah memastikan pesannya tersampaikan, Pak Erlangga berbalik menghadap papan tulis. Dia mengambil spidol hitam dari meja, membukanya dengan satu gerakan cepat. "Sekarang mari kita lihat bagaimana perkembangan pasar modal..."
Suara spidol yang bergesekan dengan permukaan whiteboard mengisi keheningan kelas. Pak Erlangga mulai menuliskan beberapa poin penting, tangannya bergerak cepat dan efisien.
Keisya menghela nafas panjang, bahunya yang tadinya tegang kini sedikit melemas. Dia melirik ponselnya yang tergeletak diam di atas meja, berharap Sava cukup bijaksana untuk tidak nekat memaksa masuk kelas. Selain karena Pak Erlangga terkenal tidak menyukai keterlambatan, dosen berusia dua puluh delapan itu juga dikenal selalu lantang memberikan kalimat-kalimat pedas kepada mahasiswa yang bermasalah.
'Mending Sava sekalian gak masuk kelas,' batin Keisya, sambil membayangkan skenario terburuk jika temannya itu nekat menerobos masuk.
Keisya menggelengkan kepalanya pelan, berusaha mengusir pikiran-pikiran itu. 'Oke fokus,' dia memerintahkan dirinya sendiri dalam hati. Tangannya mulai bergerak, mencatat penjelasan Pak Erlangga yang selalu bisa dipahami dengan mudah.
Meskipun terkenal sebagai dosen killer, Keisya harus mengakui bahwa kemampuan mengajar Pak Erlangga memang luar biasa. Penjelasannya selalu terstruktur, to the point, dan mudah diingat. Inilah yang selalu menjadi alasan para mahasiswa untuk tetap bertahan di kelasnya, meski harus menghadapi sikap keras dan disiplin tinggi sang dosen.
Keisya merasakan secercah kebanggaan saat mengingat prestasi akademiknya di kelas Pak Erlangga. Selama ini, dia selalu berhasil mendapatkan nilai yang memuaskan dan track record yang baik. Matanya melirik sekilas ke arah Pak Erlangga yang sedang menjelaskan dengan penuh semangat di depan kelas. Pria itu mengenakan kemeja putih yang rapi, dasi biru tua, dan celana bahan hitam, pakaian khasnya yang selalu formal dan tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate's Knot
General Fiction"Ayo pacaran, Kei," ajakan tak terduga itu meluncur dari mulut Heksa, membuat Keisya yang awalnya asyik bermain handphone mendongak, antara kaget dan bingung. Keisya yakin tidak salah dengar ketika melihat raut wajah Heksa yang begitu serius menatap...