46. waktu menyendiri

599 80 12
                                    

note: yang mau lihat story Heksa bisa ke instagram @coretanborderdayonee ya, yang gambar kucing.

...

Senja perlahan menutupi langit Jakarta, mewarnai kanvas biru langit dengan sapuan oranye yang redup, perlahan pudar ditelan gelap malam. Satu per satu, lampu-lampu kota mulai menyala, membentuk konstelasi buatan yang bersinar di sela gedung-gedung pencakar langit. Keindahan yang biasanya menenangkan kini tak lagi terasa sama bagi Keisya.

Dia berdiri di depan gerbang kosnya, diantarkan oleh Dimas, namun perjalanan yang seharusnya bisa dia nikmati kini terasa sesak. Setiap menit yang berlalu dipenuhi dengan pikiran-pikiran yang berkecamuk, seakan suasana hatinya ikut kacau karena insiden yang baru saja terjadi.

Rasa nyeri yang menjalar di tubuhnya bukan satu-satunya beban yang menghimpitnya. Ponselnya bergetar tak henti-hentinya, memunculkan nama Heksa berulang kali di layar, membuat Keisya berkali-kali mendesah kesal.

Setiap panggilan dari Heksa terasa seperti jarum yang menusuk ke sabarnya yang kian menipis. Dia sengaja mengabaikan semua panggilan itu, merasa belum siap—atau mungkin enggan mendengar suara pemuda yang justru membuat perasaannya semakin rumit.

Sebuah getaran baru di ponselnya mengumumkan pesan masuk, memaksa Keisya untuk sekilas melirik layar yang menyala. Pesan terakhir dari Heksa terpampang di sana, kalimat singkat namun seolah menuntut jawaban darinya.

|Heksa
Aku cek ruang pembinaan udah sepi, kamu dimana?

Keisya menatap layar dengan ekspresi kosong, jemarinya bergerak pelan di atas keyboard virtual. Tak ada kelembutan dalam jawabannya, hanya dingin yang mencerminkan keadaan hatinya yang saat ini penuh dengan kebekuan.

|Keisya
Udah pulang, aku nebeng Dimas.

Begitu pesan terkirim, Keisya meletakkan ponselnya di sisi tempat tidur, berharap keheningan akan menjadi penawarnya malam ini. Namun harapannya sirna dalam sekejap saat ponselnya kembali bergetar tanpa jeda, rentetan panggilan dan pesan dari Heksa datang bagai ombak yang menghantam pantai dengan keras.

Perasaan muak yang membuncah akhirnya membuat Keisya memilih mematikan ponselnya sepenuhnya, berharap sedikit ketenangan.

Dengan gerakan lelah, dia merebahkan tubuhnya di atas kasur, memeluk bantal erat seolah mencari perlindungan dari dunia luar. Kepalanya tenggelam dalam kelembutan bantal, mencoba melupakan nyeri yang masih terasa di lengannya yang mulai membengkak. Mata Keisya perlahan berat, kesadarannya kian memudar, ingin melarikan diri ke dalam mimpi, meski hanya sejenak.

Namun, ketukan lembut di pintu kamarnya tiba-tiba memecah keheningan yang baru sebentar dinikmatinya. Dengan enggan, Keisya mengumpulkan tenaga yang tersisa untuk bangkit, menyeret langkahnya menuju pintu. Saat membukanya, sosok Nadira—sahabatnya, berdiri di sana dengan senyum yang langsung lenyap begitu melihat keadaan Keisya.

"Kei... sumpah?" Nadira segera masuk, tangannya cepat menyalakan lampu kamar yang tadi hanya remang-remang. Cahaya yang tiba-tiba memenuhi ruangan menyoroti kondisi Keisya yang tampak semakin memprihatinkan.

"Lo dianterin siapa tadi?" Nadira menatap tubuh sahabatnya dengan raut khawatir, pandangannya tak lepas dari memar-memar di lengan Keisya. "Ini nggak bakal enak kalau salah satu kakak lo tau kondisi lo lagi begini."

Keisya bersandar ke dinding, mencoba tersenyum walau lemah. "Gue dianterin Dimas, anak magang. Terus untungnya mbak Kirana lagi di luar negeri, jadi aman lah, nggak bakal ketahuan. Mbak Kharira di Bajo, Mbak Kaila masih kuliah di Melbourne, jadi ya... ya aman dari siapa-siapa."

Nadira duduk di tepi tempat tidur, tangannya menepuk tempat kosong di sebelahnya, memberi isyarat agar Keisya duduk di sana. "Lo nggak kepikiran buat bikin laporan atau apa gitu?"

Fate's Knot Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang