Dia, pembantu rumah ini

3.9K 511 59
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

HolllaaaaaaaKembali lagi sama Batari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Holllaaaaaaa
Kembali lagi sama Batari

"Bang Damar, ngapain Abang disini?"

Sepertinya sebuah ketidaksengajaan saat si sundal ini menyapa Kapten Damar karena saat pandangan mataku dan Ayah tertuju kepadanya, aku bisa melihat dengan cepat si sundal itu menyembunyikan raut wajah terkejutnya atas apa yang baru saja dia lontarkan.

Matanya bergerak panik, seakan tengah merutuki mulutnya yang bergerak lebih cepat dari otaknya. Lucu sekali mendapati si sundal ini ternyata mengenal Kapten Damar, begitu pula dengan Kapten Damar yang tampak tidak menyangka akan pertemuan ini. Dibalik wajahnya yang tenang aku melihat riak-riak emosi, entah apa yang terjadi diantara dua orang ini jelas bukan hanya sekedar saling menyapa.

"Putri, kamu kenal dengan Damar? Dan ngapain kamu disini, Mar? Dompet siapa yang kamu bawa itu?"

Ya, aku berterimakasih karena berkat Kapten Damar aku selamat dari hajaran Ayah untuk kedua kalinya, tapi tak pelak mendapati Sundalnya Ayah mengenal Kapten Damar dengan sangat akrab memantik tanyaku, bukan hanya aku yang bertanya-tanya, Ayah pun langsung memicing curiga pada gundiknya yang kini gelagapan saat ditanya Ayah.

Kegugupan yang ditunjukkan oleh Sundal itu sudah cukup menjelaskan jika memang mereka saling mengenal.

"Anu Mas Agung......"

Saat Ayah memperhatikan gundiknya aku melirik
kapten Damar waktu Si gundik tergagap menjawab Ayah, sebelah alis kapten Damar terangkat saat si Gundik ini memanggil Ayah dengan panggilan 'Mas' tentu sebagai orang pintar Kapten Damar tidak perlu bertanya untuk membaca situasinya. Si Gundik, membawa anak, memanggil Bapakku yang bangkotan dengan panggilan Mas, pasti Kapten Damar bisa mengetahui siapa si Gundik ini untuk Ayahku.

"Anu apa, jawab saja kamu dimana kamu mengenal Damar? Apa kamu memiliki hubungan dengannya?" Sungguh menggelikan hingga aku nyaris muntah mendapati Ayahku cemburu terhadap gundiknya. Jika Kapten Damar pernah memiliki hubungan emosional dengan Si Gundik sungguh aku tidak habis pikir dengan pikiran laki-laki, apa bagusnya si gundik ini sampai-sampai mereka tertarik. Bahkan saking cemburunya Ayahku sampai lupa jika Damar adalah rekan kerja yang berdinas ditempat yang sama dan itu artinya ada satu orang lagi yang tahu jika Bapakku memiliki skandal pernikahan.

Atau memang hal semacam ini, fenomena para tua-tua keladi berseragam sangat umum sampai Ayah pun merasa itu bukan masalah saat rekan kerjanya mengetahuinya.

"Cuma sekedar kenal saja, Mas. Bang Damar ini......."

"Mas? Putri memanggil Anda 'Mas', Pak Agung?"

Aku sempat berpikiran buruk tentang Kapten Damar tapi dalam sekejap pikiran itu terpecahkan saat aku mendengar cemoohan dalam nada suaranya saat bertanya, ditambah dengan nada jijik yang sangat kentara dan membuat wajah Ayahku memucat seakan baru menyadari kecemburuannya sudah membawa petaka. Aaaah, apapun itu, jika itu bisa menghancurkan Ayahku, maka aku akan menyukainya.

"Setahu saya Putri tidak memiliki kakak, sikap Anda terlalu aneh untuk seorang kakak yang mungkin saja bisa meski perbedaan usia kalian lebih cocok menjadi Ayah dan anak, tapi ayolah, sikap Anda sangat tidak wajar, lebih mirip seorang suami yang cemburu, tapi mau ngomong kayak gitu, kenyataannya Bu Harti kan istri Anda? Tidak ada laporan kan soal perceraian Anda? Dek Tari......" mendadak namaku di panggil oleh Kapten Damar, aku menoleh dan menatapnya yang memasang tampang bingung pura-pura. "Ini Bapakmu belum cerai dari Ibumu, kan? Jangan bilang Anda ini punya dua istri, Pak......"

Damn! Langsung ditodong oleh Kapten Damar sedemikian rupa tentu saja Ayahku tidak bisa berkutik, begitu pula dengan si Gundik yang tadi pagi ngotot pengen minta kesetaraan hak sama seperti Ibu. Lihatlah, baru Kapten Damar yang menodong, Ayah sudah gagu.

"Nggak ada yang punya dua istri, Mar. Nguawurrrrrrr kamu. Putri ini......"

Tampak Si Gundik Putri ini mau menyambung jawaban Ayah, bisa aku tebak jika dia akan menjawab kalau dia ini sepupu atau saudara jauh Ayah tapi mana mungkin aku mengizinkannya. Aku mungkin terlambat dalam banyak hal, tapi untuk mempermalukan si Gundik, aku lebih cepat darinya.

"Dia pembantu di rumah ini, Mas Damar. Ya, kan Yah???" Tekanku sembari memasang senyuman penuh ancaman ke Ayahku yang langsung membuat Si Gundik melotot, bahkan jika dibandingkan dengan Mbak Sumini, Mbak Sumini jauh lebih terhormat daripada ini bocah kemarin sore yang kebelet hidup enak modal ngangk4ng di hadapan Aki-aki, apalagi yang bisa Ayahku lakukan untuk menyelamatkan diri dari kebodohannya di hadapan Kapten Damar selain mengangguk, mengiyakan apa yang aku katakan.

"Iya, Mar. Putri ini pembantu di rumah ini."

Hahahaa, rasanya aku ingin menari-nari sekarang ini saat bisa menempatkan si Gundik di bawa kakiku sama seperti keset, eeeeh tidak hanya sampai disana, aku kembali menegaskan biar sekalian si Bangkotan dan Gundiknya ini gedek sampai ke kuping.

"Nah, jangan salah sangka, Mas Damar. Dasarnya ini B4bu dibaikin ngelunjak, harusnya panggilnya Bapak malah semena-mena panggil Mas ke majikan. Emang nggak tahu diri dia ini, Udahlah baik Bundaku tampung gegara lakinya yang bangkotan miskin nggak kuat bayar kontrakan, masih bertingkah!"

Hahahaha, rasanya aku puas sekali bisa memaki-maki si Gundik tanpa Ayah berani menegurku, berani Ayahku mengangkat tangannya kepadaku atau memarahiku balik di hadapan Kapten Damar alamat hancur kariernya. Alhasil Ayahku yang baru saja secara tidak langsung aku hina bangkotan dan miskin wajahnya begitu masam seolah baru saja dipaksa makan sepanci sayur sisa kemarin yang sudah asam.

"Ooooh, begitu. Nggak heran sih." Tanggapan Kapten Damar memantik wajah sakit hati dari Si Gundik, terlebih saat Kapten Damar yang wajahnya sebeku es batu kini justru menyeringai. "Saya kira Pak Agung punya istri kedua, sayang banget Pak kalau sampai kena skandal, udah mau pensiun itu baik-baikin karier bukan malah cari masalah."

Kali ini aku sama sekali tidak bisa menahan senyumanku mendapati Kapten Damar sangat oke diajak bekerjasama. Aku tidak tahu ada hubungan apa Kapten Damar dan si Gundik ini dimasalalu tapi jelas sekali jika itu bukan hubungan yang bagus.

"Ya nggak lah, Mar. Kamu tahu sendiri kan kalau saya itu family Man." Adakah yang lebih membahagiakan untukku sekarang saat melihat bagaimana si Gundik tidak diakui oleh Ayah? Hahaha, family man dia bilang, nggak malu sama sekali seornag Mokondo doyan selingkuh membranding dirinya seperti itu. Tidak ingin membahas hal ini lebih jauh karena Ayah mungkin takut untuk menyakiti Gundiknya, Ayah mencoba mengalihkan pembicaraan, "kamu ngapain kesini Mar? Kenapa Batari bisa sama kamu?"

"Apa Ayah buta tidak melihat Kapten Damar nganterin Riri pulang? Noh lihat dia bawain dompet Riri yang ketinggalan di mobilnya." Jangan harap jika aku akan berbicara dengan sopan dan menghargai pada Ayahku lagi, mulai sekarang dia tidak akan mendapatkan hormat dariku sama sekali. Mengabaikan pandangan Ayah yang marah aku meraih lengan Kapten Damar dan aku langsung mencibir pada dua orang tersebut, satu hal yang aku tangkap adalah aku melihat wajah si Gundik yang semakin tidak mengenakan saat melihat aku dengan ringannya menggandengan Kapten Damar, "Mas, ayo kita ngobrol di dalam saja, sekalian ketemu sama Bunda."

Tanpa menunggu persetujuan dari Kapten Damar sendiri aku menariknya masuk ke dalam rumah, meninggalkan si Gundik dan Ayahku begitu saja. Aku memiliki satu perkiraan, dan jika perkiraanku benar aku ingin ini menjadi salah satu hal untuk membalas si Gundik yang beraninya merangsek masuk ke dalam hidupku.

Luka Hati BatariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang