Hollllaaaaaaa
Kembali lagi dengan Batari.
Ikuti juga Batari di KaryaKarsa, Kbm dan juga innovel/dreameSemakin aku mendengar sisi buruk dari sebuah pernikahan dimana cinta kita tidak sama besarnya, dimana pengorbanan kita terlalu besar hingga dirasa itu sebuah kewajiban yang membuat mereka tanpa segan melukai kita, semakin aku takut dengan pernikahan.
Aku takut pada akhirnya aku hanya akan terluka seperti Bunda. Pernikahan akan menjadi indah saat bertemu dengan orang yang tepat, tapi akan menjadi bencana jika bertemu dengan orang yang keliru.
Aku menatap Bunda, melihatnya yang kini melihat ke kejauhan. Perpisahan ini begitu melukai Bunda. Sebersit rasa bersalah hinggap di benakku mengingat aku telah memaksa Bunda untuk berpisah, hal yang sangat tidak aku inginkan namun aku dengan cepat menepis perasaan itu.
Tidak, berpisah adalah hal yang terbaik dan harus dilakukan Bunda. Tidak ada alasan apapun yang mampu membenarkan sikap menjijikkan Ayah, bagaimanapun caranya Bunda harus berpisah. Menjauh sejauh-jauhnya, dan Ayah tidak boleh mendapatkan sepeserpun hasil dari kerja keras Bunda untuk dinikmati bersama Gundiknya, dan jika bisa si Aki tua itu harus dibuang jauh ke Digoel atau Maluku sana.
"Itu kantornya, Ri."
Tangan Bunda yang menunjuk sisi kanan jalan membuyarkan lamunanku, melihat plang nama Permana and Associate aku langsung menepikan mobilku. Bersama sembari menggandeng Bunda aku menuju kantor yang ditunjukkan oleh Kapten Damar. Berada dikawasan elite kota Solo, kantor tersebut cukup menunjukkan wibawa dan kepercayaan dirinya.
Baru saja kami membuka pintu, aku sama sekali tidak menyangka jika aku akan mendapatkan sapaan yang sangat akrab dari seorang yang suaranya sangat familiar.
"Dokter Batari......"
Ibu Ida yang menyapaku, seakan sudah sangat akrab beliau memberiku pelukan sebagai salam, dan saat beliau melepaskan pelukannya, beliau mendapati wajahku yang sangat kebingungan dengan sapaan yang sangat tidak biasa ini, senyuman geli penuh makna tersungging disana menyiratkan jika beliau sudah mengetahui apa yang terjadi antara aku dan putranya.
Bu Ida mengedipkan mata, membuatku tersentak sebelum akhirnya beliau beralih menyapa Bunda dengan tidak kalah akrabnya.
"Aaaah, ini pasti Ibunya dokter Batari. Salam kenal ya Calon Besan, sudah lama loh saya mau ketemu sama Diajeng, tapi dokter Batarinya baru ngasih ketemu sekarang."
Aku speechless, sama sekali tidak menyangka jika Bu Ida akan semesra ini bahkan terhadap Bunda, beliau memeluk Bunda dengan akrab, cipika-cipiki seakan memang beliau memang sudah menunggu waktu ini. Bahkan beliau memanggil Bunda dengan sebutan Calon besan, demi Tuhan, tidak heran jika Kapten Damar menjadi seorang pemaksa, mamaknya saja modelan seperti beliau.
Namun berbeda denganku yang agak syok dengan sikap akrab Bu Ida, Bunda justru tersenyum dengan hangatnya, bahkan beliau pun sama antusiasnya dengan Bu Ida.
"Saya loh Mbak Ayu baru tahu kemarin kalau Batari punya pacar, mana saya nggak menyangka kalau pacarnya Batari Nak Damar lagi." Dan dimulailah basa-basi ala Ibu-ibu diantara dua mamak yang ada di hadapanku. Senyuman Bu Ida semakin lebar saat tahu jika orangtuaku adalah abdinegara yang berdinas ditempat yang sama seperti putranya bertugas. "Sebelumnya saya diem-diem selalu berharap kalau nanti si Riri punya pacar, pengennya yang kayak Nak Damar, nggak kebanyakan tebar pesona tapi baik sekali, bahkan ke Ibu-ibu macam saya ini. Biasanya kan yang muda-muda agak sungkan kan ya......"
Bu Ida yang mendengar keperesan Bunda tentu saja tergelak, jiwa-jiwa dagang Bunda membuat Bunda pandai sekali dalam berbicara manis. "Aaaah diajeng bisa saja. Siapa yang menyangka ya kalau diam-diam doa Diajeng itu dikabulkan sekarang."
Bunda mengangguk dengan antusias, ketulusan atas kebahagiaan yang beliau rasakan mendapati aku bersama Kapten Damar membuatku merasa bersalah.
"Makanya sekarang saya sedikit sungkan Mbak Ayu, saya berharap bisa bertemu dengan orangtua Nak Damar dalam keadaan yang baik, tapi sekarang kita bertemu disaat rumah tangga saya tengah hancur. Sebenarnya saya sangat malu dengan keadaan rumah tangga saya ini, sudah tua disaat Batari hampir selesai pendidikan, Bapaknya Batari justru bertingkah."
Bu Ida menatap Bunda dengan penuh simpati. Sama seperti yang biasa aku lakukan, beliau meraih tangan Bunda dan menggenggamnya, perlahan beliau membimbing Bunda untuk berjalan masuk ke sebuah ruangan yang sangat nyaman. "Tidak perlu merasa malu Diajeng, bukan salah Diajeng kalau punya laki gatal seperti Bapaknya Batari. Damar sudah cerita garis besar masalahnya dan satu hal yang pasti akan saya katakan kepada Diajeng adalah jangan menyalahkan diri Diajeng sendiri. Diajeng yang seharusnya menjadi tulang rusuk sudah menjadi tulang punggung, Diajeng bahkan mau membersamai laki-laki minus hingga dia menjadi 'orang', sejujurnya saya mungkin tidak akan sudi jika di posisi Diajeng. Jadi berhenti merasa malu dengan keadaan karena yang seharusnya malu itu Bapaknya Batari yang sinting."
Lugas, tanpa basa-basi, Bu Ida membuatku nyaris tertawa dengan emosinya yang ngena sekali di hatiku, aku ingin Bunda mendengar dari orang lain jika Ayahku memang tidak pantas untuk dimaafkan. Sudah tua bukannya mendekatkan diri pada sang pencipta malah mulai edannya. Orangtua yang terlambat nakalnya memang meresahkan.
"Terimakasih Mbak Ayu. Tolong jangan menilai Batari dari kami orangtuanya yang gagal." Yah, aku pun juga mengerti rasa malu Bunda, tapi Bu Ida justru mengibaskan tangannya isyarat jika itu bukan satu masalah untuk beliau.
"Jangan khawatir Diajeng. Saya bukan orang seperti itu. Diajeng tenang saja, saya dan Damar akan bantu Diajeng buat beresin masalah Diajeng sama Suami Diajeng." Saat kami akhirnya duduk, pintu kembali terbuka. Sosok muda seusia Kapten Damar masuk dengan kemeja navy-nya yang rapi. Aroma wangi khas seorang berada ditempat atas tercium menyerbu masuk ke dalam hidungku. Senyum merekah khas seorang yang profesional tersungging di bibirnya saat dia menatap Bu Ida. "Perkenalkan, yang ganteng ini Doni Permana, Putra Widodo Permana, pengacara keluarga kami. Didampingi Doni, kita akan menggugat laki-laki sinting yang sudah tidak punya otak itu. Dari kemarin loh saya geram sendiri melihat wajah Batari lebam-lebam. Kemarin saya kira Batari berantem sama siapa, ternyata dihajar Ayahnya sendiri yang kepelet sama Ani-ani yang ngebet pengen hidup enak."
Tiba-tiba saja Bu Ida menoleh ke arahku, gerak tubuh beliau yang terlalu cepat membuatku sedikit terkejut.
"Lain kali kalau Ayahmu berani ngangkat tangannya lagi, ambil kursi terus sambitin saja ke dia, Batari. Jangan diam saja, beraninya orangtua nyakitin anaknya sendiri. Itu kalau Bapakmu berani nyentil kamu di depan mata saya, udah Ibu potong itu tangannya."
Secara tidak langsung kalimat Bu Ida menyentil Ibu yang kemarin hanya diam saja melihatku dihajar oleh Ayah karena beliau mempertahankan sikap terhormat beliau, sekilas aku melihat tatapan malu dan bersalah Ibu namun aku berpura-pura tidak melihatnya. Aku sangat paham jika Ibu pun sebenarnya tidak terima aku diperlakukan buruk oleh Ayah tapi semua hal yang terjadi tiba-tiba membuat beliau kebingungan hal apa yang harus dilakukan.
Suasana seketika sempat canggung, Bu Ida seolah sadar jika ada kalimatnya yang keliru namun syukurlah, pengacara beliau, yang akhirnya aku panggil dengan Mas Doni, salah satu pengacara ternama yang cukup disegani atas kesuksesannya di usia muda memutuskan untuk angkat bicara. Siapa yang menyangka sosoknya yang dandy memiliki suara tegas yang dalam.
"Jadi, bisa kita mulai sekarang? Sebelum kita memasukkan gugatan, saya perlu tahu semua detail masalah pernikahan Anda, Ibu Hartini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Hati Batari
RomanceTidak pernah ada dalam bayangan Batari, dia akan menemukan Ayahnya, pria yang selama ini begitu dia hormati pada akhirnya akan mengecewakannya dengan sikap beliau yang menjijikkan. Rumah tangga orangtuanya begitu harmonis, Tari tumbuh dengan menyaks...