Ayah membobol berangkas dikamar utama? Aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri jika Ayah adalah manusia rendahan yang tidak berguna dan tidak tahu diri, tapi mendengar Ayah mencuri dari rumah sendiri, dari berangkas milik istrinya tetap saja aku merasa terkejut.
Pekikan Bunda yang panik saat mengatakan Mbak Sumini disekap di peringgitan membuatku membeku, segila itukah Ayahku sekarang sampai kehilangan akal sehatnya?
"Ada apa ini, Bu Harti? Tante Ida?"
Mungkin karena mendengar keributan akibat suara Bunda, Mas Doni dan beberapa staf lainnya datang tergopoh-gopoh menghampiri. Aku yang masih kesulitan mencerna kegilaan Ayah tidak bisa berkata-kata sampai Tante Idalah yang angkat bicara.
"Bapaknya si Batari maling berangkas dirumah mereka sampai nyekap pembantunya, benar begitu Diajeng?"
Bunda mengangguk cepat, tidak heran jika Bunda sangat khawatir mengingat Mbak Sumini sudah kami anggap seperti anggota keluarga kami sendiri. Tentu saja Bunda takut ada hal buruk yang terjadi kepada Mbak Sumini. "Iya Mas Doni, haduh bagaimana ini? Ya Allah Mas Agung, itu otak bener-bener udah nggak ada gunanya lagi, bukannya sadar perbuatannya salah malah makin menjadi. Ri, jangan diam saja, kita harus bagaimana?"
"Kok masih nanya harus bagaimana sih? Ya lapor Polisi lah Diajeng! Nunggu apalagi, malah bagus kalau ibu Bapaknya si Batari ketahuan maling, makin mudah buat ngajuin gugatan karena kelakuannya yang sinting."
"Janganlah lapor Polisi Mbak Ayu. Apa kata tetangga sama orang-orang kalau sampai mereka tahu Ayahmu maling dirumahnya sendiri? Mereka semua pasti menertawakan saya."
Kalimat Bunda yang panik mengatakan jika dirinya malu dengan sikap menjijikkan Ayah jika sampai tetangga tahu membuatku langsung memberikan pandangan sinis kepada Bunda. Lidahku yang sempat kaku seketika langsung mengeluarkan kalimat pedasnya, "Kenapa harus malu? Yang maling itu Si Agung, bukan Bunda. Berhenti buat mikirin orang lain, Bun. Berhenti juga buat kecintaan sama laki-laki yang bahkan nginjak-nginjak kepala Bunda!"
Habis sudah kesabaranku menghadapi Ibuku sendiri, sungguh aku benci mendapati beliau yang sampai akhir bahkan masih melindungi Ayahku, entah apa yang ada di dalam otak Bunda, aku merasa diskusi yang kami lakukan sebelumnya terasa sia-sia saja usai mendengar apa yang baru saja beliau katakan. Sudah jelas kesalahan Ayah sangat fatal, mencuri! Membobol brangkas! Menyekap Mbak Sumini! Dan Ibuku tercinta ini masih berpikir untuk memanggil Polisi. Melupakan jika ada orang lain yang tengah memperhatikanku, aku menatap Bunda dengan nyalang, habis kesabaran.
"Mau sampai kapan Bunda kecintaan sama Ayah, hah? Buka mata lebar-lebar Bun, perasaan Ayah sudah berubah! Terserah kalau Bunda nggak mau ngelaporin Ayah, Riri yang akan melakukannya. Silahkan maklumi terus sikap brengsek laki-laki nggak guna itu dan terus ratapi saja dia sampai Bunda jadi keset untuk Ayah. Jangan menggugat cerai Ayah seperti yang Riri minta, tunggui saja laki-laki brengsek itu dan teruslah terluka. Riri jengah dengan sikap Bunda yang bahkan tidak mau menghargai diri Bunda sendiri."
Tanpa menunggu jawaban dari Bunda aku berbalik, meninggalkannya begitu saja. Aku benci mendapati wanita yang hanya bisa diam menerima lukanya begitu saja dan dengan naifnya berharap jika kesabaran akan meluluhkan keras dan jahatnya hati seseorang. Bagiku mata dibalas mata, kesakitan harus dibalas berkali-kali lipat.
Terserah Bunda mau bilang jika aku anak durhaka karena meninggalkannya begitu saja, tapi aku sudah sangat terluka dengan sikap Ayah dan kini semakin sakit mendapati Ibuku yang kecintaan bahkan disaat dirinya sudah tidak dihargai.
Aku berniat meninggalkan Bunda, mungkin nanti aku akan meminta Wisnu untuk menjemput Bunda, namun saat aku menutup pintu kemudi, Mas Doni justru ikut masuk dan duduk di kursi penumpang dimana tadi Bunda duduk hingga membuatku kebingungan.
"Saya sudah telepon Polisi di kecamatanmu, Mbak Batari. Ayo kita segera ke TKP, saya akan mendampingi."
Perintah tegas dengan suara dalam dari Mas Doni ini membuatku sedikit terkejut, "biarkan Ibumu ditenangkan oleh Tante Ida sebelum menyusul!"Tidak harus diperintah dua kali aku langsung menarik persneling dan menginjak gasku sekuat yang aku bisa. Mungkin ini adalah pertama kalinya seumur hidupku mengendarai mobil segila ini, namun syukurlah ditengah kekalutan ulahku, Doni Permana sama sekali tidak protes, dia hanya memegang handle sekuat mungkin seakan pria itu memang sudah terbiasa dengan emosi kliennya yang seringkali meledak-ledak, sampai akhirnya setelah beberapa saat mobil berjalan emosiku surut dengan sendirinya.
Perasaan menyesal karena sudah membentak Bunda dan marah kepadanya seketika merajaiku. Sekarang bukan hanya Ayah yang menyakiti Bunda tapi juga aku dan mulut sialanku ini.
"Menyesal sudah memarahi Ibumu, Mbak Batari?"
Kalimat yang diucapkan oleh Doni Permana menohokku lebih menyakitkan daripada sebuah pukulan sekalipun. Terlalu tepat hingga aku tidak bisa lagi mengelak.
"Jangan terlalu keras dengan Ibumu, Ibumu masih terkejut dengan keadaan yang berubah terlalu cepat. Kemarin masih baik-baik saja tapi keesokan harinya kehilangan segalanya. Kalimat yang beliau ucapkan tadi kamu salah mengartikannya, beliau berbicara demikian bukan sepenuhnya karena Ibumu masih peduli dengan Ayahmu, tapi beliau tidak sudah sanggup lagi menerima hal yang membuatnya malu. Sudah cukup memalukan untuk beliau dibohongi mentah-mentah secara bertahun-tahun, dan sekarang beliau harus menanggung malu karena memelihara parasit yang kini bahkan berani mencuri hartanya secara terang-terangan."
Semakin Bapak pengacara satu ini berbicara semakin aku merasa buruk, bukan inginku menjadi buruk seperti ini, tapi rasa sesak yang melukai hatiku ini membuatku begitu tersiksa hingga nyaris tidak kuat menahannya lagi.
Tanpa sadar air mataku menetes dengan derasnya dalam diamku, tidak ada isakan, aku menggigit bibirku dengan kuat sampai aku merasakan darah membanjiri mulutku karena gigitanku.
"Menangislah jika ingin menangis, Mbak Batari. Tidak ada salahnya jika kita menangis saat terluka, saya pun tahu Anda berbicara sekeras itu kepada Ibu Anda juga karena Anda terluka, karena rasa peduli Anda yang begitu besar kepada Ibu Anda yang sudah disakiti, hanya dari pandangan mata Anda saja saya tahu betapa besarnya luka yang Anda rasakan karena ulah orangtua Anda yang dipanggil Ayah. Saya paham Anda hanya ingin menjauhkan Ibu Anda dari orang yang sudah menyakitinya."
Aku sama sekali tidak berniat untuk membantah apa yang dikatakan oleh Mas Doni ini, aku hanya membiarkan air mata ini terus menerus turun sampai akhirnya aku merasa sedikit lega, nafasku tidak lagi tersengal dan air mata ini berhenti dengan sendirinya.
"Saya cuma ingin Bunda menghargai dirinya sendiri."
Mas Doni mengangguk, sesederhana hanya ingin Bunda menghargai dirinya sendiri dan berhenti memaklumi sikap buruk Ayah.
"Saya paham. Kalian berdua terluka, tapi yang paling sakit adalah Ibumu, jadi untuk sementara dukunglah Ibumu terlebih dahulu. Jika kamu meninggalkan Ibumu karena sebal melihat Ibumu yang masih berat untuk melepaska Ayahmu, semuanya akan sia-sia. Percayalah, yang dirasakan Ibumu bukan sepenuhnya cinta, tapi rasa takut akan kesendirian."
Meski sulit pada akhirnya aku menerima saran dari teman masa kecil Kapten Damar ini, aku menghela nafas panjang, menenangkan diriku yang sempat kalut sampai akhirnya nafasku kembali lega. Hanya kurang beberapa 3 menit lagi sampai ke gang rumahku dan aku menyempatkan diri untuk melihat ke arah Mas Doni.
"Apa Mas selalu men-treatment klien Mas seperti ini?"
Senyuman geli tersungging di wajah tampan seorang Doni Permana saat dia melihatku.
"Secara keseluruhan tidak, tapi untuk calon istri teman yang sudah bersamaku sejak kami memakai popok, ini adalah kasus yang lain. Aku senang akhirnya satu sainganku berkurang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Hati Batari
RomanceTidak pernah ada dalam bayangan Batari, dia akan menemukan Ayahnya, pria yang selama ini begitu dia hormati pada akhirnya akan mengecewakannya dengan sikap beliau yang menjijikkan. Rumah tangga orangtuanya begitu harmonis, Tari tumbuh dengan menyaks...