Janji Untuk Saling Menguatkan

3.1K 390 19
                                    

"Maafin Bunda ya, Ri."

Aku merapikan pakaian Bunda, wajah cantik beliau yang biasanya selalu bersinar lembut dengan senyumannya kini tampak begitu sedih saat kami berdua bersiap untuk pergi bertemu dengan tim pengacara yang disiapkan oleh Kapten Damar demi mengurus perceraian Bunda.

Kemarin pagi saat aku dihajar Ayah, Bunda hanya terdiam mempertahankan sikap anggun dan terhormatnya tanpa membelaku sedikitpun meski beliau mendengar dan melihat sendiri aku mendapatkan luka ini karena membela beliau. Bundaku merasa terlalu terhormat hingga merasa melayangkan kalimat sarkasnya saja sudah cukup untuk menegur Ayah tanpa menyadari jika cinta suaminya yang sudah berpaling membuat setiap kata-kata Bunda tidak berarti lagi, dirinya sama sekali tidak berharga untuk Ayah.

Sekarang, setelah sehari semalam penuh drama melelahkan dengan ketidaksabaranku menghadapi sikap naif beliau yang sangat takut kehilangan suaminya setelah semua kesalahan fatal Ayah, aku melihat Bunda mulai membuka matanya atas apa yang terjadi kepadaku, seberapa jauhnya Ayah yang sudah sangat berubah. Memarku yang membiru membuat beliau mulai berpikir jika dari banyaknya kesalahan yang bisa dimaafkan, apa yang dilakukan Ayah adalah pengecualian.

Aku tersenyum masam, menahan diriku untuk tidak mengeluarkan celaan kepada Bunda yang sangat mencintai Ayah hingga merendahkan harga diri beliau sendiri. Aku benci mendapati Bunda, sosok wanita mandiri yang bahkan bisa melakukan apapun tanpa Ayah harus meratapi laki-laki yang sama sekali tidak berkontribusi apapun di dalam hidupnya selain menyumbangkan sp*rmanya hingga menjadikan aku ada di dunia ini. Bunda sama sekali tidak menghargai dirinya sendiri yang sebenarnya begitu berharga.

"Kalau begitu berjanjilah untuk membuang Ayah jauh-jauh, Bun. Baru setelah itu Riri akan maafin Bunda. Laki-laki kayak Ayah sama sekali nggak patut dipertahankan, dia nggak cuma ngekhianatin Bunda, tapi dia juga kejam sudah melukai Riri. Luka di wajah Riri mungkin akan menghilang seminggu lagi, tapi Riri nggak akan bisa maafin Ayah yang sudah menginjak-injak harga diri dan kehormatan Bunda. Bun, Bunda harus sadar jika Bunda ini berharga, bukan keset yang bisa Ayah injak-injak seenaknya."

Telapak tangan Bunda menyentuh wajahku, terasa nyeri namun aku sama sekali tidak memedulikan sakitnya karena luka di batinku jauh lebih dalam. "Tolong tetap disisi Bunda ya, Ri. Bunda nggak akan sanggup melewati semuanya jika nggak ada kamu."

Aku meraih tangan Bunda dan membawa tangan Bunda ke bibirku. Dulu Bundalah yang selalu menyemangatiku, menjadi pendorong untukku saat aku merasa aku tidak akan sanggup menjalani hal sulit dalam hidupku, tapi sekarang Bundalah yang membutuhkan dorongan dariku dan sebisa mungkin aku akan membantu beliau.

"Riri nggak akan kemana-mana. Riri akan disini, nemenin Bunda  sampai semua masalah ini selesai, sampai luka Bunda terbayar dengan lunas." Ujarku penuh tekad.

"Terimakasih, Sayang."

"Bunda sudah siap? Kalau begitu ayo kita pergi ke kantor pengacara yang sudah disiapkan Mas Damar." Tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi aku mengajak Bunda untuk segera pergi. Wisnu dan Rasti harus kuliah itu sebabnya aku hanya pergi berdua dengan Bunda.

Selama ini aku lebih suka pergi naik motor atau Ojol jika ke kampus atau Coass tapi berhubung ada si ganteng hitam yang sebelumnya menjadi mobil kesayangan si Aki-aki tua nggak ingat umur kini kuncinya terpegang olehku, tentu saja aku menggunakannya meskipun dalam kepalaku terus menerus berteriak untuk segera membawanya ke Salon guna membersihkan semua kuman dan bakteri yang mungkin saja dibawa oleh Aki-Aki puber kedua tersebut.

Aku dan Bunda pergi begitu saja tanpa menyadari jika dibelakang sana, Ayahku yang sudah terusir tengah menyusun sejuta cara culas untuk mencurangi anak dan istri sahnya demi wanita gila yang di gilainya setengah mati.

.................... ......................... ...............

"Halo Mas........"

Panggilan dari Kapten Damar masuk saat aku sudah setengah perjalanan. Melirik Bunda, aku melihat beliau memperhatikanku yang tengah menerima telepon di tengah merayapnya jalanan kota Solo. Sungguh, rasanya sulit sekali berusaha akrab dan dekat dengan seorang yang bukan siapa-siapa namun orang lain tahunya dia adalah kekasihku. Tadi pagi Kapten Damar memberitahuku alamat pengacara keluarganya dan memintaku membawa Bunda kesana, dan sekarang dia menghubungiku tentu untuk menanyakan apa aku sudah berangkat.

"Batari, kamu dan Bu Har sudah berangkat?"

Aku tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun, itu sebabnya saat seseorang bertanya tentang keberadaanku, aku sedikit canggung mendengar perhatian yang diberikan oleh Kapten Damar. Rasanya ada sesuatu yang bergerak di dalam perutku, membuatku merasa sedikit melilit dengan perasaan asing yang sangat tidak biasa. Rasa ini terasa baru dan tidak bisa aku deskripsikan dengan kata-kata secara tepat.

Persis seperti sebuah gejala penyakit yang belum terdiagnosis.
Perlahan aku menarik nafasku panjang, menenangkan diriku agar tidak membuat Bunda melihat keanehan sikapku yang sangat membuat sebal diriku sendiri.

"Aku sudah otw ke alamat kantor yang Mas kasih tadi, kayaknya 10 menit lagi aku sampai."

Terdengar suara grasak-grusuk diujung sana, sepertinya Kapten Damar sendiri tengah sibuk dengan entah apa diujung sana. Bisa-bisanya ditengah kerepotannya dia menyempatkan waktunya sekedar bertanya dimana aku berada, padahal hal itu bagiku sama sekali tidak penting. Aku menunggunya berbicara ditengah gemerisik sampai akhirnya tidak terdengar suara apapun diujung sana.

"Hati-hati dijalan, Batari. Aku minta maaf tidak bisa menemanimu karena ada tugas mendadak, tapi Ibuku sudah menunggumu disana. Jangan sungkan mengatakan apapun kepada beliau."

Mendengar jika disana Bu Ida menungguku, mendadak aku tidak enak sendiri. Baru kemarin aku berkenalan dan sekarang aku sudah merepotkan beliau. Aku ingin melayangkan protes kepada Kapten Damar tentang hal ini namun tidak mungkin aku mengatakannya di depan Bunda.

Aku menggigit bibirku kuat, menahan diriku sendiri yang kesulitan untuk memilah kata.
"Tante nggak perlu repot-repot, Mas. Gimana sama Yuki? Dia sendirian di rumah sakit? Aku bisa selesaiin masalah ini sendiri kok. Aku nggak enak sama Tante."

Astaga, bahkan aku ingin sekali menoyor kepalaku yang sok akrab memanggil emaknya Kapten Damar dengan panggilan Tante. Huhuhu, sejak kapan kami sedekat itu 😩  

"Ada Sus yang jagain Yuki. Dibandingkan aku, Ibuku yang lebih paham soal hukum. Kalau begitu hati-hati, tolong kabari kalau sudah sampai."

Klik. Kalimat bernada perintah itu diberikan bahkan tanpa menungguku untuk menjawab khas seorang Dominan yang tidak bisa membuatku menahan diri untuk tidak mencibir.

"Dasar diktator!" Rutukku sembari merengut, tapi meski demikian aku merasa pipiku memanas, perhatian sederhana ini membuat perutku semakin mulas. Aku terlalu sibuk salah tingkah sendiri sampai sempat lupa jika aku tidak sendirian hingga Bunda menegurku.

"Sejak kapan kamu mengenal Nak Damar, Ri? Kamu nggak pernah cerita ke Bunda kalau kamu dekat sama laki-laki, apalagi orangnya itu ternyata rekan kerja Ayahmu. Kalian dekat sekali rupanya sampai sudah mengenal Ibunya Nak Damar."

Dibalik kemudi aku hanya bisa tersenyum masam, Bunda sama sekali tidak perlu tahu apa motivasi Kapten Damar sehingga dia mau membantuku sejauh ini.

"Beberapa bulan yang lalu, Bun. Kayak yang Riri bilang kemarin, keponakan Mas Damar pasien Riri. Ya akhirnya berjalan begitu saja ......" jawabku secara gamang, mengambang karena aku pun merasa bersalah jika membohongi Bunda dengan cerita karanganku. Sebisa mungkin aku meminimalkan kebohonganku, "Riri juga nggak tahu kalau Bunda kenal sama Mas Damar."

Bunda mengangguk, terlihat jelas sekali jika Bunda menahan rasa penasarannya mendapati aku hanya menjawab seadanya.

"Ternyata dunia sempit sekali ya, Ri. Hanya berputar disitu-situ saja. Kamu tahu, sebelumnya seyiap kali berbicara dengan Kapten Damar Ibu diam-diam berharap jika diperkenankan semoga Tuhan memberikan kamu jodoh sepertinya. Mapan, sopan, tampan cuma bonus yang kesekian. Siapa yang menyangka jika Tuhan ternyata sebaik itu mau mengabulkan doa Bunda."

"................."

"Tapi apapun itu, jangan sampai seperti Bunda, Ri. Mencintai dengan semua daya sampai tidak ada harga dirinya lagi kita di hadapan mereka."

Luka Hati BatariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang