Holaaaaaaa
Ikuti juga kisah Batari di KbM dan KaryaKarsa ya.
Happy reading semuanyaApalagi yang lebih epik daripada mendapati wajah Ayah yang masam saat Bunda melontarkan kalimat sarkasnya tepat di depan wajah Kapten Damar sehingga Ayah sama sekali tidak bisa berkutik.
Berani Ayah membuka mulutnya untuk membela si Gundik yang mungkin belum makan dari tadi siang hingga sekarnag sampai anaknya menangis tidak berhenti-henti hingga membuatku pusing, tentu akan hancur wibawanya sebagai seorang family man.
"Mas......."
Ayah terpaku, berdiri dalam diamnya kebingungan hendak menuruti Bunda atau hendak melakukan perlawanan demi membawa gundiknya ke meja makan, hingga suara Putri memanggil Ayah dengan merengek.
"Yang sopan kalau manggil majikan! Pembantu itu kalo manggil yang sopan. Mas, Mas, kamu pikir Bapakku Suamimu!" Ujarku ketus membuat semua orang di meja makan ini terpaku kecuali Kapten Damar yang menahan senyum sementara Ayah menahan murka. "Lagian bisa nggak sih bawa pergi dulu anakmu itu, tangisnya itu loh bikin berisik. Udahlah emaknya nggak tahu diri, anaknya sama saja, ngerusuhin lagi, bikin nggak nafsu makan aja!" Ujarku lagi, dan kali ini Ayah yang tidak bisa menahan emosinya atas apa yang aku katakan langsung meradang.
"Batari, mulutmu itu kayak orang nggak pernah disekolahin. Gimana bisa kamu ngomong kayak gitu ke anak umur 2 tahun. Dio nangis karena dia lapar, Putri menyusui dan dia perlu makan-makanan yang bergizi dan cukup, seharusnya kamu sebagai dokter mengerti."
"Riri paham kok, Yah. Tapi anak pembantu yang nggak tahu diri itu sebuah pengecualian buat Riri. Terserah mau dia kelaparan, mau nangis sampai besok, Riri nggak peduli." Jawabku enteng, katakan aku jahat tapi sama seperti si Gundik yang tidak peduli dengan perasaanku dan Bunda saat dia masuk ke dalam kehidupan kami sebagai parasit, aku pun juga tidak peduli dengan anaknya. Terserah dengan kemanusiaan. Itu gundik dan keturunannya bagiku bukan manusia. Titik.
"Gila kalian semua! Nggak ada empatinya sama anak kecil. Kamu juga Bun....,"
Ayah bergerak menuju dapur dengan marah, mungkin dia hendak mengambilkan Gundiknya itu makan atau dia hendak makan di dapur, tapi baru dua langkah Ayah melangkah, Bunda sudah menghentikannya.
"Sumini, makan sini Sum!" Mbak Sum yang sepertinya sudah bersiaga langsung mendekati ke arah Bunda. "Duduk sini, Sum. Bapak nggak mau diajak makan malam. Semua makanan sudah kamu bawa kesini, kan? Nggak ada yang tersisa, kan?"
"Sudah Bu, semuanya sudah Sum masak sesuai intruksi Mas Wisnu."
Mendengar jawaban dari Mbak Sumini, Ayah menggeram dan itu membuat Bunda menatap Ayah dengan pandangan mencemooh, "di dapur nggak ada apa-apa, Mas. Kalau kamu kasihan ke Putri dan anaknya, silahkan bawa Putri dan anaknya makan diluar. Baik sekali kamu perhatian ke pembantu sama anaknya. Mulia sekali kamu, Mas!" Ucap Bunda sembari meraih centong nasi untuk Kapten Damar. "Bahkan ada Nak Damar saja kamu sibuk sama pembantu dan anaknya. Luar biasa perhatianmu." Tekan Bunda, menyenangkan sekali melihat Bunda turut memanfaatkan keadaan dengan baik dan menikmati sandiwara yang aku mulai.
"Bisa kalian makan sambil mendengar anak yang menangis?" Ucap Ayah tidak percaya.
"Ya sudah, bawa pergi sana, Yah. Jangan kebanyakan ngomel. Sana, jalan kaki sana." Tambahku sembari melemparkan senyuman mengejek. Mobil yang biasa Ayah pakai kini kuncinya sudah diamankan, Ayah benar-benar kembali ke habitatnya yang tidak punya apa-apa. "Kuping Riri juga pusing dengar itu anak nangis mulu! Sana pergi!" Usirku kepada mereka.
Suara gedebuk langkah kaki yang terdengar jelas dari si Gundik yang pergi karena ngambek. Dia tidak bisa melakukan apapun karena ternyata dia pun takut jika mulutnya di depan Kapten Damar akan membuat petaka untuk karier Ayahku. Hilih, tadi pagi gaya-gayaan mau minta hak yang sama kayak Bunda, dikira dari sampah naik level ke istri sah itu semudah dia membuka pahanya? Ternyata masih punya takut juga dia.
"Kalian memang nggak punya hati ke anak kecil." Ayah sudah bersiap untuk pergi, sepertinya Ayahku memang sudah kepalang tergila-gila dengan si Gundik, namun untuk kedua kalinya langkah beliau harus terhenti karena kali ini Kapten Damar mengeluarkan celetukannya. "Ri, Ayah kecewa sama kamu yang nggak punya empati."
"Saya baru tahu loh Pak Agung itu jiwa penolongnya besar sekali. Bahkan dibandingkan makan malam sama keluarganya, Bapak lebih perhatian ke perempuan yang katanya pembantu dirumah ini, itu pembantu apa istri muda, Pak?"
Kapten Damar ini definisi manusia yang jarang ngomong, diam-diam merhatiin, tapi sekalinya ngomong nyelekit nyampai ulu hati. Wajah tergagap Ayah yang campuran antara marah namun terbatas tidak bisa melampiaskan adalah hal yang menyenangkan untuk dilihat.
"Hati-hati dengan kalimatmu, Damar. Jangan ikut campur di rumah saya. Saya menghargaimu sebagai tamu."
Ayah mengeluarkan kalimat penuh ancaman tapi Kapten Damar sama sekali tidak terpengaruh, dia turut berdiri hingga berhadapan dengan Ayah dan itu membuat Kapten Damar tampak mengesankan karena beberapa centi lebih tinggi dari Ayah. Sorot matanya tegas, sama sekali tidak terpengaruh dengan usia Ayah.
"Kalau begitu berhentilah bersikap brengsek terhadap istri dan anak Anda yang tidak lain adalah pacar saya, Pak Agung. Menurut Bapak saya akan diam saja mendapati Bapak mengolok-olok Riri dengan banyak kalimat tidak pantas? Anak Bapak tidak akan memberikan kalimat menyebalkan itu jika Anda duduk dan makan seperti yang diinginkan oleh istri Anda, bukannya malah sibuk mengurusi pembantu di rumah ini! Nggak akan ada anak yang diam saja saat melihat Ayahnya diam saja memberikan perhatian kepada orang lain di hadapan dirinya sendiri, Pak Agung!"
Aku speechless mendapati Kapten Damar menegur Ayah secara blak-blakan tanpa sungkan, ya aku memang meminta tolong Kapten Damar untuk melindungiku, tapi aku tidak mengira jika dia akan mengatakan di depan Ayah dan Bunda jika aku adalah pacarnya. Wisnu dan Rasti menatapku, seolah ingin memarahiku kenapa aku dengan beraninya punya pacar tapi tidak memberitahu mereka.
Mungkin merasa digurui oleh orang yang usianya terpaut sangat jauh darinya, Ayah seketika merasa terhina, pandangannya mencela saat mata beliau bertemu denganku.
"Batari itu anakku, Damar! Kamu bilang kamu pacarnya, tapi aku ini Bapaknya! Aku yang lebih berhak mengatur anakku jika dia kurang ajar. Menurutmu aku akan memberikan restuku dengan sikapmu ini? Di Batalyon mungkin kita setara atau kamu merasa kamu lebih tinggi hanya karena kamu putra seorang Kusuma, tapi ini rumahku, Batari juga anakku, terserah aku mau......"
"Tidak......." Kalimat panjang penuh kemurkaan Ayah terhenti saat Kapten Damar mengeluarkan suara baritone-nya. Layaknya seorang Alpha yang tidak menerima penolakan pandangan Kapten Damar kepada Ayah penuh dengan ancaman. Kini aku paham kenapa di militer ada istilah Ningrat di lingkup mereka, kharisma seorang yang sudah memiliki jiwa prajurit turun temurun memang tidak bisa ditampik. Tidak perlu suara tinggi, tidak perlu bentakan untui menunjukkan betapa berkuasanya mereka. "Selama Anda di hadapan saya, saya tidak akan membiarkan Anda berbicara kasar kepada Riri atau kepada istri Anda sendiri. Anda tahu dengan benar saya seorang Kusuma dan mudah bagi saya untuk membuat laporan atas sikap buruk Anda kepada keluarga Anda sendiri ke dewan. Bagaimana, Anda masih ingin bersikap konyol mementingkan orang lain dan membentak-bentak anak dan istri Anda? Jika Anda bosan hidup nyaman, saya bisa membuat Anda sibuk menulis laporan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Hati Batari
Roman d'amourTidak pernah ada dalam bayangan Batari, dia akan menemukan Ayahnya, pria yang selama ini begitu dia hormati pada akhirnya akan mengecewakannya dengan sikap beliau yang menjijikkan. Rumah tangga orangtuanya begitu harmonis, Tari tumbuh dengan menyaks...