Untuk beberapa saat aku sempat mengira jika Ayah akan menghajar Kapten Damar, tapi rupanya Ayah hanya menggeram sebelum akhirnya dia membuang wajah, namun tetap saja aku mendengar umpatan darinya saat berlalu.
"Lihat saja, aku tidak akan memberikan restuku kepada begundal macam dirimu, Damar. Biarkan saja Batari menjadi perawan tua sekalian daripada harus menikah dengan......"
"Pergilah, Mas Agung. Dan berhenti berbicara buruk tentang anakmu sendiri. Kamu cuma mempermalukan dirimu sendiri."
Bukan Kapten Damar yang angkat bicara, tapi juga Bunda, kali ini menyelamatkan harga diri beliau yang berceceran, Ayah memilih untuk melengos pergi, mungkin hendak menyusul gundiknya yang kelaparan. Aku tidak tahu bagaimana mereka akan pergi mencari makan tapi yang jelas semua kunci kendaraan sudah aku amankan. Sekedar makan Ayah masih memiliki uang, tapi untuk mencari tempat berteduh dia sama sekali tidak punya uang.
Menggelikan sekali melihat orang miskin harta dan miskin hati kebanyakan tingkah, wibawa Ayah menghilang dalam sekejap.
"Maaf Nak Damar, pertama kali berkunjung tapi sudah harus menyaksikan hal tidak mengenakan seperti ini."
"Tidak perlu meminta maaf untuk hal yang bukan kesalahan Anda, Bu."
"Tapi tetap saja, tidak nyaman melihat sikap Bapak yang keterlaluan. Biasanya beliau tidak seperti ini."
Kapten Damar sama sekali tidak menyentuh makanannya, beliau menatap Bunda dan dengan tenangnya menjawab. "Saya tahu apa yang terjadi, Bu Agung. Batari menceritakan senuanya kepada saya."
Bunda yang mendengar keterusterangan Kapten Damar sontak meletakkan sendoknya, tatapan Bunda beralih kepadaku seolah menyalahkanku atas cerita yang tidak seharusnya aku bagi dengan orang lain. Ibuku mungkin bukan tipe wanita yang menangis heboh saat suaminya berselingkuh tapi aku sangat paham Bunda adalah wanita kolot yang menganggap tidak punya suami adalah aib. Aku tidak keberatan kedua orangtuaku berpisah, itu lebih baik daripada harus menyaksikan Bunda makan hati. Itu sebabnya aku langsung bicara saat melihat tatapan tidak mengenakan itu.
"Jangan melihat Riri dengan pandangan seperti itu, Bun. Jangan menutupi sikap menjijikkan Ayah dan bersikap biasa saja seakan tidak terjadi hal apapun." Aku tidak ingin berbicara ketus, tapi Bunda ini bego kalo soal perasaan. Sudah jelas perselingkuhan itu hal yang paling tidak bisa ditoleransi, apalagi mereka sampai punya anak, apalagi Bun yang mau di tutupi!"
"Tapi tidak seharusnya kamu......"
"Tidak seharusnya apa, Bun? Bunda mau ngomong gimana. Aku ngomong ke Mas Damar soal Ayah karena dia orang lain selain Wisnu yang bisa aku percaya. Orang kayak Ayah itu buat apa dipertahankan, udah nggak punya duit, numpang hidup, keluarganya bikin onar mulu, sekarang tambah lagi selingkuh sampai punya anak, bunda lihat sendiri kan kalau Ayah bahkan nginjak-nginjak leher Bunda. Apalagi yang mau Bunda pertahankan? Bunda tahu, Riri sengaja ngomong ke Mas Damar karena Riri pengen Mas Damar bantu proses perceraian Bunda."
Nafasku memburu, aku benar-benar lelah secara emosi dengan semua hal yang terjadi. Aku benci melihat Ibuku yang sangat tangguh dalam menghadapi dunia tapi sangat bodoh jika berurusan dengan Ayahku. Cinta, cinta, apa sih yang Bunda cinta dari laki-laki serba minus sepertinya? Bahkan aku saja malu sebagai anaknya, dan bisa-bisanya Bunda ragu hanya untuk memutuskan hal sepele seperti ini.
"Tapi Ri........" mendengar Bunda menyebut kata tapi aku langsung memutar bola mataku dengan malas. Apapun yang akan Bunda katakan, aku sama sekali tidak ingin mendengarnya.
"Wisnu setuju sama Riri, Bude. Pisah adalah jalan yang terbaik untuk Bude." Wisnu sedari tadi menyimak, dan syukurlah saat sampai di puncak rasa lelahku dengan sikap menye-menye Bunda, Wisnu mengambil alih. Tapi berbeda denganku yang gas ngeng penuh rasa sebal, tatapan Wisnu ke Bunda begitu lembut membujuk. "Bude, ada kalanya orang melakukan kesalahan dan kita harus memaafkan mereka, tapi apa yang dilakukan Pakde Agung sekarang benar-benar tidak layak untuk dimaafkan, Bude. Wisnu dan Ayah adalah saksi bagaimana Bude menjadikan Pakde 'orang', Wisnu juga menyaksikan bagaimana Bude yang menggunakan tulang rusuk Bude sebagai tulang punggung. Tidak pantas Bude mendapatkan perlakukan seburuk ini, apa lagi yang Bude harapkan dari Pakde? Pakde meninggalkan wanita itu dan meminta maaf ke Bude? Apa Bude akan memaafkan Pakde setelah Pakde melemparkan kotoran ke wajah Bude?"
Bunda menggigit bibirnya, mata indah yang biasanya menatapku dengan penuh kasih sayang tersebut tampak berkaca-kaca sampai akhirnya Rasti bangkit dari kursinya dan memeluk Bunda, saat itulah tangis Bunda pecah untuk kedua kalinya.
Reflek aku memalingkan wajahku, menahan air mataku yang membuat pandanganku kabur. Sungguh aku benci mendapati Bunda menangis karena manusia tidak berguna yang tidak lain adalah Ayahku. Kenapa Bundaku kalah dengan hal bernama cinta? Apalagi yang beliau pertahankan?
"Kalian nggak tahu gimana sakitnya berjuang setengah mati tapi akhirnya kecewakan. Sejauh ini Bunda berjuang, seharusnya di usia Bunda sekarang...."
"Makanya udah tahu dikecewain ngapain bertahan, Bun. Udah tahu si Agung Sialan itu sinting, apalagi yang Bunda pengen, hah? Diusulin cerai, dicariin orang yang mampu bantu Bunda sampai beres malah nangis." Emosi sekali rasanya aku, tapi Wisnu memintaku untuk diam, dengan isyarat matanya, Wisnu meminta Kapten Damar untuk membawaku berdiri sementara dia mendekati Bunda.
"Bude, berpisah bukan satu hal yang memalukan, Bude. Sederhana saja, Wisnu tidak suka Bude diinjak-injak seperti ini oleh orang yang sudah Bude perjuangkan. Wisnu ingin Bude bahagia karena orang sebaik Bude tidak layak diperlakukan seperti ini." Wisnu menghela nafas berat, kejadian ini melukai hati semua orang, selama di Jawa, Wisnu memang dititipkan kepada Bunda meski dia ngekos sendiri, tapi aku sangat tahu jika Wisnu juga sangat marah karena perlakukan Ayah ke Bunda. "Ada kalanya Bude harus membuang hal buruk dalam kehidupan Bude, tidak ada ruginya membuang seorang peselingkuh, Bude. Bude nggak perlu malu. Percaya Bude, Bude akan lebih bahagia, lagipula, ada tidaknya Pakde dalam kehidupan Bude nyatanya Pakde sama sekali tidak berguna, Wisnu sama sekali tidak melihat perubahan apapun."
Mungkin orang diluar sana akan menyebut aku dan Wisnu sebagai anak yang kurang ajar karena justru menghasut Bunda untuk berpisah, tapi sungguh kesalahan Ayah benar-benar fatal hingga mungkin aku tidak akan pernah memaafkannya lagi. Kini yang aku pikirkan hanya menjauhkan Ayah sejauh mungkin dari hidup Bunda.
"Bun, pisah saja ya, Bun."
Pintaku lagi, kali ini dengan penuh permohonan berharap Bunda akan mendengar semua yang aku dan Wisnu katakan.
"Saya akan membantu, Bu Harti. Saya akan membantu semua prosesnya sampai selesai, dan akan saya pastikan Suami Anda tidak akan mendapatkan apapun dari semua hasil kerja keras Anda."
Bunda mendongak, menatap Kapten Damar sembari mengusap air mata beliau, Bunda sepertinya malu telah menunjukkan emosinya di hadapan seorang yang menurut beliau asing untuknya.
"Tolong jangan kecewakan saya, Nak Damar. Saya tidak rela jika hasil keringat saya dinikmati suami dan pelakor tidak tahu diri itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Hati Batari
RomanceTidak pernah ada dalam bayangan Batari, dia akan menemukan Ayahnya, pria yang selama ini begitu dia hormati pada akhirnya akan mengecewakannya dengan sikap beliau yang menjijikkan. Rumah tangga orangtuanya begitu harmonis, Tari tumbuh dengan menyaks...