Medicine

140 19 9
                                    

Warning 19+
Including frontal language, anal sex, handjob and kisses

Hyunsuk terbangun di ruangan yang bernuansa serba putih, samar ia dapat mencium bau-bau obat khas rumah sakit yang tak terlalu sedap. Ia tajamkan penglihatannya untuk menatap jam di dinding yang menunjukkan angka dua tepat.

Hyunsuk kemudian merasakan kepalanya pusing mendadak, ia berniat mengangkat tangannya untuk memegang kepala namun tangannya yang hendak di angkat terasa berat sekali.

Hyunsuk lantas menoleh ke arah tangannya dan terkejut dengan keberadaan Jihoon di sisi kasurnya. Pemuda itu tertidur dengan menggenggam tangan Hyunsuk dengan erat, kepalanya berisitirahat tak jauh dari pegangannya.

Seakan mengetahui Hyunsuk telah bangun, Jihoon membuka mata pelan. Kepalanya terangkat dari bibir kasur dan bertemu tataplah ia dengan Hyunsuk yang sudah siuman dari pingsan.

Jihoon mematung, matanya yang terlihat sedikit membengkak kembali terasa panas, Ia eratkan genggamnya pada tangan Hyunsuk membuat Hyunsuk berdesis tanda merasa sakit akan genggam erat Jihoon.

Jihoon meneguk air ludahnya sendiri, berkedip berkali-kali karena tak percaya pada penglihatannya. Pemuda itu takut yang ada di depan matanya itu hanyalah hayalannya atau kemungkinan ini semua hanyalah mimpinya.

Beberapa jam yang lalu Hyunsuk bahkan hampir dinyatakan meninggal oleh dokter di dalam ambulan. Denyut jantungnya telah melemah, tangannya pun dingin sekali kala Jihoon pegang.

Wajar saja kalau Jihoon takut Hyunsuk yang sekarang ada di hadapannya hanyalah imajinasi.

Hyunsuk menarik tangannya, berniat lepas dari pegangan Jihoon. Jihoon langsung menahan tangannya membuat Hyunsuk berhenti bergerak.

Jihoon menatap ke arah tangan Hyunsuk dan wajah Hyunsuk secara bergantian untuk waktu yang cukup lama. Berpikir kalau barusan tangan Hyunsuk bergerak maka Jihoon menyimpulkan bahwa ini semua bukanlah mimpinya. Lagipula mimpinya ini terlalu realistis untuk menjadi sekedar mimpi.

Selagi Jihoon sibuk berdebat dengan dirinya sendiri soal mimpi dan realita, Hyunsuk disisi lain merasa khawatir dan takut dengan reaksi Jihoon.

Dalam benaknya lelaki itu bertanya-tanya apakah Jihoon marah pada perlakuan dinginnya? Apakah Jihoon sekarang membencinya setelah ia tinggalkan?

Hyunsuk mengira apa yang dilakukan Jihoon saat ini adalah bentuk pelampiasan rasa kesal dan emosinya kepada Hyunsuk. Hyunsuk memakluminya, lagipula siapa yang tidak sakit hati jika dijauhi tanpa alasan lalu hampir ditinggalkan selamanya tanpa ucapan selamat tinggal?

Mungkin ini saatnya Hyunsuk mempersiapkan dirinya mendengar ucapan kebencian keluar dari mulut Jihoon.

"Master—" Jihoon membuka suara.

Hyunsuk menutup matanya, "Jihoon, pukul saja aku. Lampiaskan semua amarahmu sekarang." Potong Hyunsuk cepat.

Hyunsuk sudah siap menjadi samsak bagi Jihoon tetapi Jihoon tidak ingin hal itu. Jihoon hanya punya satu keinginan saat ini. Keinginan kuat yang harus dia lakukan sekarang.

Jihoon melompat ke pelukan Hyunsuk, Hyunsuk terkejut akan aksi tiba-tiba Jihoon hingga hampir terjatuh keduanya dari atas kasur kalau saja Hyunsuk tidak kuat menahan terjangan pelukan Jihoon.

Hyunsuk menoleh kaget kepada Jihoon yang memeluk erat dirinya. Jihoon tenggelamkan wajahnya di dada Hyunsuk lalu mulai menangis sekencang mungkin menumpah ruahkan perasaan campur aduknya yang lama tertahan.

Hyunsuk tidak berkutik untuk beberapa saat tapi karena Jihoon tak kunjung berhenti menangis, lelaki itu dengan hati-hati membalas pelukan Jihoon. Tangannya mengelus pundak Jihoon dengan pelan dan halus, Jihoon yang merasakan balasan dari Hyunsuk berlahan berhenti menangis.

Therefore [sukhoon]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang