Chapter 15 | life after marriage

16 3 0
                                    

"Setelah semua ini, nyatanya tak ada perubahan yang terlalu mencolok dalam hidupku."

-The Middle Of Zenenth-
.
.
.

“Kalian ini sudah menikah, setidaknya kamu hargai Feylie. Jangan sembarangan begitu! Ini rumah Bunda. Jadi, kamu harus ikuti aturan Bunda.”

Semalam Martha memergoki Zion yang tidur di kamar tamu. Awalnya Martha ingin membangunkan putranya. Namun, ia mengurungkan niatnya saat Reynand memanggil. Perempuan itu merasa marah dengan putranya. Ia tidak menyangka jika Zion akan berbuat demikian.

Martha menganggap Zion tidak cukup dewasa dalam menanggapi masalah kali ini. Namun, lagi-lagi perempuan itu tidak bisa berlarut dalam amarah. Mau bagaimana pun Zion dan Feylie tidak menikah karena cinta. Bahasa kasarnya mereka berdua di paksa untuk terikat.

“Perbaiki perilakumu! Bunda cuman enggak mau suatu saat kamu menyesal, Zi. Kalian dulu juga cukup akrab. Karena itu Bunda milih Feylie. Percaya! Bunda enggak akan asal pilih untuk masa depan kamu,” tutur Martha menasihati putranya.

“Maaf.”

Zion terlalu menyayangi Bundanya. Ia tidak mampu jika harus melihat kekecewaan pada kedua netra Martha. Zion juga cukup memahami maksud Martha. Namun, ia juga manusia normal. Akan ada saat dimana Zion merasa lelah dengan kehidupannya.

“Sekarang kamu pergi temui Feylie. Tidur satu kamar mulai sekarang!”

Melihat kepergian putranya membuat Martha merasa khawatir. Perempuan itu memeluk erat suaminya, ia merasa cukup takut saat ini. “Apa menurutmu kita salah? Apa pernikahan mereka akan berjalan selamanya?” Tanya Martha beruntun.

Mendengar nada khawatir istrinya membuat Alex menghela napas pelan. Menurutnya Zion sudah cukup dewasa untuk memahami hal ini. Secara umur Zion memang sudah cukup matang untuk menikah. Hanya saja, putranya itu belum pernah memperkenalkan seorang perempuan sebagai pacarnya kepadanya.

“Tenanglah! Aku yakin mereka bisa mengatasi hal ini. Mereka saling menyayangi, entah itu dulu maupun sekarang.” Jawab Alex dengan sedikit keraguan.

🍪🍪🍪

Feylie yang baru akan memejamkan matanya dikejutkan dengan suara pintu yang ditutup dengan kasar. Di depannya ini melihat Zion dengan napas yang memburu. Tangannya terkepal kuat dengan mata yang menatap tajam ke arah Feylie.
Setelah itu Zion bergegas memasuki kamar mandi. Ia butuh berendam untuk menjernihkan pikirannya. Hidup seperti ini selama sisa hidupnya bukan suatu hal yang mudah.

“Kenapa lagi dia ini,” gumam Feylie heran.

Setelah itu Feylie memutuskan untuk memainkan ponselnya. Membalas pesan-pesan yang dikirim oleh Laras maupun para pelanggannya. Rencananya setelah pindah nanti Feylie akan kembali bekerja.
Saat tengah asik bermain ponsel Feylie tidak menyadari kehadiran Zion. Laki-laki itu berdehem pelan untuk memecah keheningan.
“Malam ini dan beberapa malam selanjutnya kita tidur satu kamar.”  Kata Zion datar.

Feylie mengangkat sebelah alisnya heran. Ia kemudian mengambil bantal dan bersiap untuk  mengangkat selimut. Namun, tindakannya itu dihentikan oleh suara Zion.

“Lo mau ke mana?”

“Maksud gue, semua kamar tamu dipakai. Jadi mau enggak mau kita harus tidur satu kamar,” Jelas Zion.

“Satu kamar kan? Yaudah Lo bisa tidur di sana, dan gue tidur di sofa. Enggak mungkin kalau kita satu ranjang kan?” Jawab Feylie sambil menatap Zion jengah.

Memang di sudut kamar Zion ada satu sofa panjang. Sofa itu juga bisa di atur menjadi kasur. Jadi, tidak masalah bagi Feylie untuk tidur di sana.

“Biar gue yang tidur di sofa,” Kata Zion sembari merapikan peralatan tidurnya.

The Middle of Zenneth (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang