Chapter 19 | is she lucky?

10 3 0
                                    

"Menjadi bayang-bayang bukan lagi suatu pilihan bagiku, tapi mungkin suatu kewajiban."

-The Middle Of Zenneth-
.
.
.

"PA!!" protes Sella. Ia merasa jika suaminya terlalu berlebihan kali ini.

"Apa? Ini juga demi kebaikan dia. Zion itu laki-laki terpandang, banyak di luar sana yang mau dengannya. Bukannya bersyukur dapat keluarga terpandang, malah kayak begini. Papa juga malu sama Zion," bentak Damar dengan menatap tajam putrinya.

Feylie hanya mendengarkan perkataan ayahnya. Perempuan angkuh itu enggan memberi jawaban. Kepalanya menunduk, raut mukanya tidak menunjukkan respons apa pun, seolah perkataan Damar hanya sebuah omong baginya. Kedua tangannya saling bertaut di belakang tubuh.

Damar yang kesal segera menggebrak mejanya. Laki-laki itu mendekat menghampiri putrinya. Jemarinya mengangkat dagu Feylie dengan mata penuh amarah.

"Sekali Papa dengar ucapan buruk tentang pernikahan kalian, Papa enggak akan berpikir dua kali untuk menghancurkan rumah panti yang kamu kunjungi. Anak-anak panti itu hanya membuatmu menjadi lemah," kata Damar dengan menatap manik mata putrinya.

Mendengar perkataan tersebut membuat emosi Feylie meningkat. Ia tidak suka dengan ancaman yang selalu diberikan oleh Damar. Padahal selama ini, ia seluruh menuruti permintaan laki-laki yang berstatus sebagai ayahnya itu.

Sedangkan Damar hanya mengamati raut wajah putrinya. Laki-laki itu kemudian melepas jemarinya dari dagu Feylie, dan berjalan kembali ke arah kursi miliknya. Namun langkah kakinya itu terhenti ketika mendengar rentetan kalimat yang diucapkan oleh Feylie.

"Setidaknya anak-anak panti itu lebih mengenalku dari pada Papa." Setelah mengatakan hal itu, Feylie bergegas keluar dari ruangan Damar. Perempuan itu bahkan menutup dengan kasar pintu ruangan milik Papanya.

"Keras kepala," gumam Damar melihat kelakuan putrinya.

🍪🍪🍪

Dengan penuh amarah Feylie memasuki kamarnya. Perempuan itu paling tidak bisa jika mendengar bentakan dari seseorang. Netra hazel itu mulai berkaca-kaca. Ia melangkahkan kakinya menuju ke arah balkon kamar. Kenangan-kenangan buruk semasa kecilnya mulai berputar kembali.

Feylie berdiri menghadap pemandangan taman di depan rumahnya. Perempuan itu memejamkan mata menikmati hembusan angin yang menerbangkan rambut miliknya. Ia berusaha menenangkan diri dengan cara seperti ini. Kesepian merupakan obat bagi Feylie.

Tanpa ia sadari, sedari tadi kegiatannya itu diperhatikan oleh seseorang. Siapa lagi jika bukan Zion, lelaki yang berstatus sebagai suami Feylie.

Awalnya Zion membiarkan Feylie menikmati waktunya. Laki-laki itu sama sekali tidak terlalu peduli dengan apa yang dilakukan oleh istrinya, ia juga tidak ingin tahu. Ia memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan memejamkan kedua matanya.

Setelah hampir satu jam terlelap, Zion melirik ke arah jam dinding. Matanya mencari keberadaan Feylie. Zion heran saat tidak menemukan keberadaan perempuan yang berstatus sebagai istrinya itu. Biasanya Feylie akan tidur di sebelahnya atau mungkin di sofa kamar.

"Di mana dia?" gumam Zion.
Karena merasa penasaran, Zion segera bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan ke arah balkon kamar. Dan benar saja, di sana ia melihat perempuan yang tengah menundukkan kepalanya. Samar-samar Zion dapat mendengar suara isak tangis dari perempuan tersebut.

"Fey..." panggil Zion dengan berjalan mendekati pintu balkon.

Namun, panggilan itu tidak mampu terdengar oleh telinga Feylie. Karena itu, Zion memutuskan untuk berjalan menghampiri perempuan yang ia duga sebagai istrinya.

"FEYLIE," bentak Zion dengan kesal.

Tak lama setelah itu, Feylie menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Mata perempuan itu merah dengan lelehan air mata di pipinya. Setelah menoleh ke arah Zion, Feylie memutar tubuhnya untuk kembali membelakangi Zion.

"Lo dari tadi di sini?" tanya Zion dengan berjalan ke samping Feylie. Laki-laki itu memilih menyandarkan tubuhnya ke pagar balkon dengan mengamati raut wajah Feylie.

Sedangkan Feylie lebih memilih menatap ke arah langit yang bertaburan bintang-bintang. Perempuan itu enggan menjawab pertanyaan Zion. Sesekali ia mengusap air matanya dengan kasar.

"Fey... lo kenapa si? Cepat masuk! Enggak enak kalau dilihat keluarga lo, entar disangka gue ngapa-ngapa in lagi."

"Lo duluan aja! Gue butuh waktu sendiri," jawab Feylie tanpa menoleh ke arah Zion.

Zion menggeram kesa dengan jawaban perempuan itu. "Lo enggak lihat ini jam berapa? Angin malam enggak bagus buat kesehatan," bujuk Zion.

Feylie terpaku mendengar perkataan Zion, ia terkekeh pelan. Menurutnya Zion sangat lucu hari ini. Mulai dari datang ke pertemuan keluarga, membawa buah, dan kali ini laki-laki itu bertutur kata lembut. Hal itu terasa asing bagi Feylie setelah sekian lama mereka berpisah.

"Lo lucu, Zi." gumam Feylie yang mampu di dengar oleh Zion.

Zion mengerutkan dahinya. "Maksud Lo?"

"Semua orang selalu bilang kalau gue beruntung-" Feylie menjeda sejenak perkataannya, ia juga terlihat menghela napas dengan kasar sebelum melanjutkan perkataannya. "Mereka bilang... Feylie beruntung bisa jadi menantu di keluarga Mahendra. Feylie beruntung jadi istri Lazion, Feylie beruntung jadi istri pengusaha sukses, dan banyak kata Feylie lainnya."

Untuk sesaat hanya ada keheningan di antara keduanya. Beberapa kali Feylie meneguk ludah nya, nafasnya memburu dengan tangan yang terkepal kuat.

Perempuan itu segera menoleh ke arah Zion dengan mata yang menyorot tajam. "Kenapa di sini seolah-olah Lo yang paling diberkati? Kenapa enggak ada satu pun yang pernah bilang kalau Lazion beruntung dapetin Feylie? Kenapa gue yang harus mengerti semuanya, Zi? Kenapa coba? Apa gue enggak seterlihat itu? Gue capek hidup sebagai bayang-bayang orang."

Zion tertegun mendengar perkataan Feylie. Laki-laki itu berusaha untuk mengerti kondisi Feylie. Namun, kalimat-kalimat yang dilontarkan Feylie berhasil memunculkan amarah dalam jiwanya.

"Selalu Zion, Zion, dan Zion. Hidup gue makin berantakan sejak kembali ketemu sama Lo," bentak Feylie.

"Terus maksud lo semua ini salah gue?" tanya Zion dengan menatap kedua mata Feylie.

"Bukannya ini yang lo minta? Ini impian lo kan, Fey? bentak Zion dengan tangan yang mencengkeram kedua pundak Feylie.

"Lo enggak berubah!" bisik Feylie.
Zion tertawa mendengar tutur kata Feylie. "Lalu? Lo mau gue berubah?" Zion tersenyum miring dengan menatap tajam Feylie. "Lo cuman selalu jadi benalu, Fey. Awalnya gue merasa bersalah. Tapi setelah melihat perilaku dan perbuatan lo, gue jadi berubah pikiran."

"Lo kan yang minta perjodohan ini?" tuduh Zion.

Feylie terdiam enggan menjawab pertanyaan Zion. Perempuan itu terlihat begitu frustrasi dengan nafas yang memburu. Feylie terlihat tidak mampu menguasai emosinya. Perempuan itu hilang kendali atas tubuhnya.

Malam ini Feylie terlihat sangat berbeda dari sosok dirinya yang biasanya. Sosok Feylie yang kuat, anggun, dan bermulut tajam itu hilang, dan kini tergantikan dengan perempuan yang terlihat begitu menyedihkan.

Hal itu cukup menarik perhatian Zion. Laki-laki itu semakin merasa ada yang tidak beres dengan hidup Feylie. Zion sungguh dibuat bingung dengan perubahan sifat Feylie sejauh ini.

Mendengar segala tuduhan dan bentakan yang dilayangkan oleh Zion, membuat tubuh Feylie gemetar. Seketika kepalanya pusing dengan mata yang mulai berkunang.
Tubuhnya tumbang di pelukan Zion.

"Raka... Raka..." gumam Feylie pelan. Dadanya merasa sesak dengan kepala yang semakin terasa pusing.

"Fey... Lo kenapa?" tanya Zion dengan khawatir, laki-laki itu berusaha untuk menyadarkan Feylie.

"Raka... Raka... help me!" gumam Feylie sebelum kedua matanya benar-benar tertutup.

.
.
.

To be continue
Jangan lupa tinggalin komen kalian!

The Middle of Zenneth (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang