- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Aroma masakan menguar begitu kuat di seluruh bagian rumah. Alwan senang sekali karena suasana rumahnya kini telah berubah, setelah dirinya menikah dengan Karin dan membawanya tinggal bersama. Perasaan bahagia itu selalu ia tunjukkan di hadapan Karin, agar Karin tahu bahwa hidupnya sangat lengkap setelah wanita itu berada di sisinya. Ia sudah mempelajari banyak hal dari Raja, Rasyid, Mika, maupun Rian soal hubungan dalam pernikahan. Sehingga kini ia tidak merasa bingung harus melakukan apa sebagai seorang suami. Tidak sama seperti pernikahannya yang dulu, di mana dirinya amat sangat kurang berkomunikasi dengan almarhumah istrinya hingga selalu saja menimbulkan kecanggungan sesekali.
"Suatu saat, kalau kamu akhirnya menemukan wanita yang tepat untuk mengisi hidupmu, jangan pernah ragu untuk menyatakan perasaan pada Istrimu, Al. Hal itu adalah yang paling penting dari hal-hal lainnya. Perasaan Istrimu harus selalu hangat setiap kali kalian sedang bersama. Karena perasaan yang hangat itu akan menjadi jembatan bagi rumah tangga agar selalu harmonis," pesan Raja, beberapa bulan lalu.
Meski Raja terkadang sering bersikap konyol--terutama saat ada Mika dan Rasyid di sisinya--namun pesannya itu jelas bukan hal main-main. Alwan merasakannya sendiri sekarang. Ketika dirinya mengutarakan perasaannya secara terbuka terhadap Karin, kehidupan rumah tangganya jadi terasa sangat berbeda dari kehidupan rumah tangganya yang dulu. Meski dulu ia juga sangat mencintai almarhumah istrinya, perbedaan rasa bahagia dalam rumah tangganya tetaplah sangat terasa.
Karin menyajikan teh di ruang tamu pagi itu, setelah selesai memasak. Alwan masih sibuk memasang stiker kaca film yang dibelinya semalam, pada jendela bagian depan. Karin ingin membantunya, namun dengan cepat Alwan mencegah dan memintanya untuk duduk saja di sofa agar bisa bersantai.
"Kalau aku ikut membantu, maka pekerjaan Mas Alwan akan jadi lebih cepat selesai," bujuk Karin, agar diberi izin.
Alwan pun menoleh ke arahnya dan tersenyum begitu manis.
"Kamu 'kan baru selesai masak, Dek. Sebaiknya kamu duduk saja di sofa agar bisa sekalian beristirahat. Jangan terlalu capek. Takutnya nanti kamu sakit, kalau terlalu capek akibat banyak bekerja di rumah. Kamu tenang-tenang saja, santai, dan amati saja jika aku sedang mengerjakan sesuatu. Aku sudah merasa senang, kok, meski kamu hanya mengamatiku bekerja dan tidak ikut membantu. Lagi pula, apa kamu enggak mau menatap tampannya wajahku ini jauh lebih lama?" goda Alwan.
Karin pun tersenyum. Ia bahkan hampir saja tertawa, saat mendengar Alwan menggodanya dengan sengaja.
"Kenapa? Menurutmu aku kurang ganteng untuk diperhatikan lama-lama, ya?"
"Duh, pertanyaan macam apa itu, Mas? Mas Alwan ganteng, kok. Ganteng banget, malah. Kalau soal memperhatikan wajah Mas sangat lama, aku masih agak canggung untuk melakukannya. Kita 'kan baru tiga hari menikah dan tidak pernah dekat ataupun pacaran sebelumnya. Jadi ... aku takut Mas Alwan risih kalau kuperhatikan terlalu lama," ungkap Karin, sangat jujur.
Alwan berhenti mengerjakan pekerjaannya. Ia menyimpan stiker kaca film yang masih tersisa ke atas meja, lalu segera duduk di samping Karin dan memberinya pelukan hangat. Karin tersenyum bahagia saat menerima pelukan itu. Ia merasa senang, karena Alwan tidak pernah merasa ragu untuk mengungkapkan perasaannya secara terang-terangan.
"Mana mungkin aku merasa risih terhadap Istriku sendiri. Kalau kamu mau memperhatikan aku lama-lama, maka perhatikan saja. Kalau kamu mau peluk aku lama-lama, maka peluk saja. Kalau kamu mau minta kutemani atau kumanja, maka kamu hanya perlu bilang padaku. Jangan ragu untuk meminta semua itu, karena kamu memang berhak mendapatkan semua itu dari aku setelah kita resmi menjadi suami-istri. Coba sekarang katakan, selain dipeluk seperti ini kamu ingin aku beri apa lagi?" tanya Alwan,
"Uhm ... aku mau diberi izin untuk bantu pekerjaan Mas Alwan," jawab Karin.
"Nah, kalau yang itu aku enggak akan kasih. Pokoknya kamu jangan banyak kerja. Banyak-banyak istirahat saja. Cukup temani aku, kapan pun dan di mana pun."
"Yah ... kirain aku akan langsung diberi izin," keluh Karin, seraya langsung menyandarkan kepalanya pada dada Alwan yang bidang,
Alwan pun terkekeh senang saat melihat Karin merajuk. Ia mengecup puncak kepala Karin sambil menikmati harum rambutnya yang alami. Keduanya sama-sama menikmati kebahagiaan yang sedang meraja di antara keduanya. Namun seketika semuanya mendadak berubah, saat Karin kembali melihat seseorang sedang menatap mereka dari luar melalui jendela. Karin langsung melepaskan pelukan Alwan seperti yang terjadi kemarin, membuat Alwan kembali merasa kaget akan tindakan itu.
"Ada apa, Dek? Kamu lihat sesuatu lagi?"
"Iya, Mas. Iya," jawab Karin, sambil berusaha mencari-cari sosok yang tadi dilihatnya melalui jendela. "Aku lihat sosok itu lagi, Mas. Dia sedang melihat kita seperti yang kemarin terjadi."
"Hah? Tapi ... jendelanya 'kan sudah aku lapisi dengan stiker kaca film, Dek. Jadi tidak mungkin kalau orang yang melihat kita kemarin masih bisa melihat ke dalam melalui jendela."
Alwan terlihat bingung. Karin berhenti mencari-cari sosok itu, lalu menatap ke arah Alwan. Di telinganya mendadak terdengar bisikan yang sangat jelas, seakan bisikan itu sedang berupaya mempengaruhinya.
"Dia tidak mencintaimu. Dia menikahimu hanya karena terpaksa. Maka dari itulah dia tidak percaya ucapanmu."
Di tengah diamnya Karin saat itu, Alwan mendadak merasakan adanya energi yang berbeda di rumah mereka. Alwan sudah sering merasakan energi negatif seperti itu saat bekerja, sehingga ia langsung tahu bahwa ada hal yang tidak beres di sekitarnya.
"Seharusnya Mas Alwan tidak menikahi aku, kalau memang tidak punya perasaan apa-apa," ujar Karin, tiba-tiba.
Alwan sangat terkejut, saat mendengar apa yang Karin bahas secara mendadak di hadapannya.
"Menikah dengan orang yang tidak Mas cintai jelas akan berdampak buruk pada rumah tangga yang dibangun. Maka dari itulah Mas Alwan bahkan tidak bisa percaya dengan apa yang kukatakan soal sosok yang kulihat."
Alwan pun segera meraih Karin dan mengusap kedua lengannya dengan lembut.
"Dek, istighfar. Ayo, Sayangku, istighfar dulu," tuntun Alwan.
Karin pun tersadar, saat sentuhan dan ucapan lembut Alwan kembali terasa olehnya.
"Astaghfirullah hal 'adzim. Astaghfirullah hal 'adzim. Astaghfirullah hal 'adzim," lirih Karin.
Alwan pun membawa Karin ke dalam dekapannya, agar perasaan Karin bisa kembali tenang seperti biasa.
"Demi Allah, Sayang. Aku tidak pernah merasa terpaksa ketika menikahi kamu. Aku sayang kamu. Aku cinta sama kamu. Aku sadar dan yakin akan perasaan itu, sehingga memberanikan diri untuk melamar dan langsung menikahimu. Jangan pernah bilang begitu lagi, ya. Tolong jangan ragukan perasaanku terhadapmu, meski hanya sedikit. Aku enggak mau kehilangan kamu. Aku mau kamu menjadi wanita satu-satunya dan terakhir yang hadir dalam hidupku," ungkap Alwan, apa adanya.
"Maaf, Mas. Maafkan aku. Tadi ... ada yang berbisik di telingaku setelah kamu meragukan jawabanku. Aku ... pikiranku seperti terbawa oleh bisikan itu, Mas. Maaf. Aku minta maaf, Mas."
Tangis Karin pecah dalam pelukan Alwan. Alwan pun segera menatap wajahnya dan menyeka airmata yang mengalir deras di sana.
"Sudah, jangan dipikirkan lagi. Aku enggak marah sama kamu, Sayang. Kalau itu memang terjadi karena bisikan, maka itu jelas bukan kesalahanmu."
Karin pun berusaha berhenti menangis. Ia tidak mau Alwan khawatir terhadapnya terlalu lama. Ia tidak ingin menjadi beban pikiran bagi pria itu.
"Lain kali, kalau kamu dengar bisikan lagi seperti tadi, maka segeralah beristighfar. Kamu paham, 'kan?" pesan Alwan.
"Iya, Mas. Insya Allah aku paham dan akan selalu ingat untuk beristighfar saat ada lagi yang membisik di telingaku," janji Karin.
* * *
SAMPAI JUMPA BESOK 🥰
![](https://img.wattpad.com/cover/374191346-288-k440166.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
TELUH BALUNG
Horror[COMPLETED] Seri Cerita TELUH Bagian 10 Rumah tangga Alwan dan Karin mendadak diserang rasa tidak nyaman yang begitu kuat. Sejak Karin melihat sosok yang menatap ke arahnya dan Alwan dari balik jendela, rasa tidak nyaman itu semakin hari semakin mem...