EPILOG

866 72 135
                                    

- DUA EPISODE TERAKHIR
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

SETELAH TUJUH BELAS TAHUN BERLALU...

"Nadin. Cepat turun, Sayang," panggil Karin, seraya melongok ke lantai atas. "Samsul sudah menunggu kamu di teras sejak tadi. Nanti kalian terlambat ke sekolah kalau kamu terlalu lama."

"Iya, Bunda. Aku akan turun," sahut Nadin.

Gadis berusia enam belas tahun itu bergegas menuruni anak tangga, usai menutup pintu kamarnya. Tas sekolah berwarna hijau mint telah tersampir di bahunya, ketika akan berpamitan pada Karin.

"Belajar yang baik di sekolah, ya. Kalau pulang, langsung pulang ke rumah jika tidak ada kegiatan apa pun. Insya Allah Ayahmu akan pulang nanti sore," pesan Karin.

"Iya, Bunda. Insya Allah aku akan langsung pulang ke rumah, kalau sudah tidak ada kegiatan di sekolah. Kalaupun ada kegiatan, maka aku akan menghubungi Bunda dan memberi kabar," janji Nadin.

Keduanya pun tiba di teras. Samsul segera bangkit dari kursi yang didudukinya, seraya meraih ransel dan juga kunci motor. Samsul mencium punggung tangan Karin sebelum berpamitan.

"Tante Karin yang cantik jelita tiada saingannya, kami berangkat dulu," ujar Samsul, dengan gaya konyolnya yang seratus persen persis dengan Mika.

Hal itu jelas membuat Karin tak bisa menahan tawa. Nadin sendiri sampai harus menggeleng-gelengkan kepalanya, usai mendengar gombalan receh yang Samsul keluarkan pagi itu.

"Iya, Nak. Berangkatlah bersama Nadin dan wajib sampai di sekolah, ya. Jangan bolos. Tolong hati-hati ketika kamu membawa motor. Jangan ngebut dan jangan melanggar rambu-rambu lalu lintas," Karin kembali berpesan.

"Iya, Tante Karin. Insya Allah aku akan membawa Nadin dengan sangat hati-hati hingga selamat sampai tujuan," janji Samsul.

"Kami berangkat dulu, ya, Bun. Assalamu'alaikum," pamit Nadin.

"Wa'alaikumsalam."

Nadin pun segera berjalan bersama Samsul menuju ke tempat motor pemuda itu parkir. Samsul memberikan helm ke tangan Nadin, setelah ia menaiki motornya.

"Tumben kamu jemput aku. Biasanya kamu enggak pernah jemput aku meskipun punya banyak waktu luang. Ada apa?" tanya Nadin.

"Aku lagi menghindari Sandy," jawab Samsul.

"Hm ... bertengkar lagi kamu dengan Sandy?"

"Enggak. Enggak bertengkar, kok," sanggah Samsul.

"Terus? Kenapa menghindar kalau memang kamu enggak bertengkar sama Sandy?"

Samsul terdiam beberapa saat usai menghela nafasnya. Ia menatap Nadin  cukup lama, usai mendapat pertanyaan seperti itu.

"Salah paham gara-gara Oliv."

"Maksudnya?" Nadin semakin tidak paham.

Motor itu melaju perlahan meninggalkan halaman rumah Alwan. Nadin belum mendapat jawaban. Samsul sendiri kini sedang memikirkan cara memberi jawaban, yang tidak akan membuat Nadin salah paham terhadapnya.

"Aku capek antar jemput Oliv terus-terusan, Nad. Semalam aku menyampaikan hal itu sama Mami, dan entah kenapa Sandy mendadak menegurku mengenai hal itu. Padahal selama ini Sandy enggak pernah ikut campur masalah apa pun yang sedang aku bicarakan sama Mami. Tapi semalam entah kenapa dia mendadak bersuara sehingga aku jadi tersudut," jelas Samsul.

"Kamu sudah bilang, mengenai alasan kenapa enggak mau lagi antar jemput Oliv?" Nadin ingin tahu.

"Iya, sudah. Aku bilang pada Mami dengan jujur bahwa aku enggak mau dijodoh-jodohkan terus sama Oliv, karena hal itu membuat Oliv semakin banyak berharap sama aku. Perasaanku enggak bisa dipaksa untuk suka sama dia, Nad. Demi Allah, aku capek menjalani hal seperti itu terus-terusan. Bagiku, Oliv sama saja seperti Karel dan Revan. Sudah seperti Kakakku sendiri."

TELUH BALUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang