10 | Terasa Sangat Menyiksa

555 75 63
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

"Aku akan menjawab pertanyaan Tari lebih dulu, Al. Dia tadi bertanya mengenai cara untuk menemukan tulang-belulang yang ditanam pada halaman rumah ini, tanpa harus begitu banyak menggali," ujar Ziva.

Tatapan Ziva kini kembali menyapu semua wajah para anggota timnya.

"Jadi ... betul-betul ada cara lain untuk menemukan tulang belulang yang ditanam itu, selain daripada harus menggali seluruh area halaman rumah ini, 'kan?" tanya Rasyid, penuh harap.

"Sebenarnya, ada. Hanya syaratnya, kita enggak boleh gagal diawal. Kalau kita gagal diawal, maka mau enggak mau kita harus menggali seluruh area halaman rumah," jawab Ziva.

"Memangnya kita harus melakukan apa?" Mika penasaran.

Karin baru saja selesai membuat minuman dan menyediakan cemilan, ketika Santi menyudahi video call dengan Sandy melalui ponsel milik Federick. Wanita itu tersenyum ke arah Karin, lalu merangkulnya ketika mereka sama-sama duduk di sofa. Karin masih merasa belum tenang, karena belum ada kabar apa pun dari tim yang sedang berada di luar. Ia mungkin tidak melihat sosok yang menerornya--tadi--seperti yang dilihat oleh Santi, Ziva, dan Raja. Namun ia sadar bahwa teror itu datang untuk dirinya, sehingga membuatnya tidak bisa berhenti memikirkan.

"Jangan melamun, Rin," tegur Santi, sangat lembut.

Teguran itu membuat Karin menoleh ke arah Santi. Ia tersadar dari lamunan, kemudian tersenyum untuk meyakinkan Santi bahwa dirinya baik-baik saja.

"Maaf, San. Aku ... entah kenapa aku terus saja kepikiran dengan teror sosok itu," aku Karin, jujur.

Santi pun mengusap-usap pundak Karin dengan lembut. Ia ingin Karin merasa nyaman, meski tahu bahwa saat itu keadaan hati Karin sedang kacau-kacaunya. Ia tidak mau Karin terjebak dalam permainan si pengirim teluh. Ia tidak mau Karin kalah dengan keadaan, karena ia tidak ingin melihat adanya perpisahan antara Karin dengan Alwan.

Santi tahu persis bagaimana sepinya hidup Alwan selama satu setengah tahun terakhir. Mika sering membicarakannya, sehingga Santi tahu semua hal soal hidup Alwan. Itulah alasannya mengapa Mika selalu sengaja mencari-cari masalah dengan Rasyid ataupun Raja. Ia ingin Alwan menjadi wasit di antara mereka, sehingga hidup Alwan tidak akan terasa sepi. Mika selalu ingin Alwan merasa betah saat berada di tengah-tengah anggota tim yang lain. Mika selalu ingin hidup Alwan berubah, meski tidak pernah ada usaha untuk menjodohkannya dengan seseorang.

Dan ketika akhirnya Alwan memutuskan menikahi Karin, Mika--saat masih berada di Semarang--langsung bersemangat memberi tahu Santi melalui telepon pada tengah malam. Seperti terhadap saudara sendiri, itulah yang Mika gambarkan mengenai rasa bahagianya atas keputusan Alwan ketika melepas status duda yang disandang selama tiga setengah tahun. Mika benar-benar sangat lega ketika Alwan akhirnya memiliki pendamping hidup. Ia tahu betapa sulitnya bagi Alwan untuk bangkit setelah menderita akibat kehilangan. Maka dari itulah ia ingin rumah tangga Alwan dan Karin selalu baik-baik saja, serta tidak terpisahkan oleh siapa pun yang mencoba memisahkan. Karena Mika pasti mengharapkan hal yang sama.

"Istighfar, Karin. Perbanyak dzikir kepada Allah akan membantu perasaan kita agar selalu merasa tenang. Serahkan semua kepada Allah, adukan semua kepada Allah. Insya Allah semuanya akan selalu berjalan dengan lancar, jika kita mempercayakan hidup ini kepada Allah," saran Santi.

Seulas senyum pun terbit di wajah Karin, setelah mendengar saran yang Santi utarakan. Ia lekas menjalankan saran tersebut, demi menguatkan perasaan agar bisa bertahan di sisi Alwan. Santi benar, hanya Allah yang saat ini bisa membantunya. Hanya kepada Allah ia bisa menggantungkan harapan, agar rumah tangganya selalu baik-baik saja. Ia tidak boleh takut. Ia tidak boleh terpengaruh oleh teror itu. Karena rasa takut hanya akan menggoyahkan iman serta rasa percayanya terhadap Alwan.

Saat Santi mengambil gelas berisi jus markisa buatan Karin, tatapan Karin kembali tertuju pada jendela yang mengarah ke samping rumah. Awalnya ia ingin memastikan keberadaan Alwan beserta anggota tim yang lain. Namun ia tak menyangka, kalau tatapannya kali itu akan tertuju pada sosok yang menerornya.

Karin terlonjak dari sofa, sehingga membuat Santi langsung mendekap tubuhnya dari samping. Tatapan Karin belum teralihkan dari jendela samping, dan satu detik kemudian wanita itu menutup telinga rapat-rapat dengan kedua tangannya.

"Karin? Ada apa, Rin? Karin?" tanya Santi, sedikit panik.

Kedua mata Karin terpejam, seakan sedang berusaha untuk bertahan dari sesuatu yang tidak Santi ketahui.

"Dia tidak mencintaimu. Dia menikahimu hanya karena terpaksa. Maka dari itulah dia tidak percaya ucapanmu."

Karin menggeleng-gelengkan kepalanya. Nafasnya tidak beraturan dan begitu memburu. Santi semakin panik karena tak juga mendapat jawaban dari Karin. Ia bergegas lari keluar rumah untuk memanggil siapa pun yang ia temui pertama kali. Namun saat tiba di luar, ternyata yang lain juga tengah menenangkan Alwan. Santi melihat gelagat yang sama antara Alwan dengan Karin. Keduanya sama-sama menutup telinga, memejamkan kedua mata, serta nafasnya tidak beraturan.

"Ziva! Karin, Ziv!" seru Santi.

Ziva pun memasrahkan Alwan kepada Mika, Raja, dan Rasyid. Ia sendiri segera berlari ke dalam rumah bersama Santi, untuk segera menenangkan Karin. Alwan--di luar--masih berusaha keras menghalau bisikan yang terdengar jelas di telinganya. Bisikan itu terdengar berulang-ulang kali, tidak seperti yang terjadi semalam.

"Dia tidak mencintaimu. Dia menikahimu hanya karena terpaksa. Maka dari itulah dia tidak percaya semua ucapanmu."

"Ya, Allah!!! Tolong aku!!!" teriak Alwan, ketika akhirnya merasa tidak tahan dengan bisikan tersebut.

"Istighfar, Al! Istighfar!" seru Raja, jauh lebih keras daripada sebelumnya.

Kening dan pelipis Alwan sudah dipenuhi keringat dingin. Tubuh pria itu seakan sedang mengalami gejolak, hingga terlihat menggigil oleh semua orang.

"As ... tagh ... firu ... llah!!! As ... tagh ... firullah!!!" Alwan berupaya.

Di dalam, Karin juga mengalami hal yang sama hingga nafasnya terasa begitu sesak. Santi memangku tubuh Karin yang kini dibuat berbaring di atas permadani oleh Ziva.

"Ayo, Karin. Istighfar, Sayang. Cobalah untuk istighfar," tuntun Ziva, sambil memeras handuk yang baru saja ia rendam ke dalam sebaskom air es.

"As-tagh-firu-llah! Astagh-firullah! Ya, Allah ... tolong," mohon Karin, mulai menangis.

Ziva pun menatap Santi.

"Ayo, San. Buka kedua tangan Karin agar aku bisa menyumbat telinganya dengan handuk dingin ini," Ziva mengarahkan.

"Oke," sahut Santi.

Santi berusaha keras membuka tangan Karin agar tidak menutupi telinga. Mika masuk tak lama kemudian dan langsung melihat bagaimana cara yang Ziva lakukan untuk Karin.

"A'udzubillahi minasy-syaithannirrajim. Bismillahirrahmanirrahim. Allaahumma faathiras samawaati wal ardhi, 'aalimal ghaibi was syahaadah, rabba kulli syai'in wa maliikah, asyhadu an laa ilaaha illaa anta. A'uudzu bika min syarri nafsii wa syarris syathaani wa syirkih!"

Kedua telinga Karin langsung disumbat dengan handuk dingin oleh Ziva. Baru kali itu Mika mendengar Ziva membaca doa begitu keras, hingga bergema dalam satu ruangan. Perlahan, tubuh Karin mulai lemas dan tidak lagi berkeringat dingin seperti tadi. Ziva pun menoleh ke arah Mika, saat sadar kalau pria itu ada di dekatnya sejak beberapa saat lalu.

"Ambil baskomnya dan cepat lakukan hal yang sama pada Alwan," titahnya.

* * *

TELUH BALUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang