19 | Membakar

666 77 23
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

"Oke! Apinya siap!" seru Mika.

"Ayo kita angkat sama-sama," ajak Raja.

Mika, Alwan, dan Raja kini mengambil posisi tiga arah dari tong yang akan diangkat menuju ke tempat tulang-belulang itu tertanam. Rasyid dan Hani sudah memakai sarung tangan yang tadi Ziva berikan. Mereka juga sudah siap untuk mengambil tulang-belulang itu dari dalam tanah. Ziva mendekat ke arah mereka, lalu berhenti tepat di sisi tong yang sudah diletakkan pada posisinya.

"Dengar aku baik-baik," pinta Ziva kepada Rasyid dan Hani. "Tulang-belulang yang tertanam itu harus diambil satu-persatu, lalu dimasukkan ke dalam api unggun ini. Tidak boleh ada yang mengambil lebih dari satu, setiap kali merogoh ke dalam tanah. Kalau kalian mengambil lebih dari satu, maka perempuan itu akan langsung tahu bahwa kita sedang berusaha mematahkan teluh yang dia kirim."

Rasyid dan Hani pun mengangguk. Mereka masih belum boleh bicara, karena keduanya akan menjadi orang yang mengambil tulang-belulang persembahan dari dalam tanah. Ziva kemudian berbalik dan menatap ke arah Mika, Alwan, dan Raja.

"Kalian bertiga berdirilah berjajar di sisiku. Kita akan membacakan doa yang biasa dibaca oleh Rasyid saat sedang melakukan upaya ruqyah terakhir. Kita berempat harus membaca doa itu sampai Rasyid dan Hani benar-benar tuntas memasukkan semua tulang-belulang itu ke dalam api. Apa kalian paham?" tanyanya, setelah memberi arahan.

"Iya, Ziv. Insya Allah, kami paham," jawab Alwan, mewakili Raja dan Mika.

"Mik, kabari Tari dan katakan padanya untuk meminta pada Pak RT dan Bu RT agar menenangkan warga, jika mulai terdengar suara teriakan dari dalam rumah perempuan itu. Usahakan agar tidak ada yang mendekat ke rumah itu, sampai urusan di sini selesai," pinta Ziva.

"Oke. Akan segera aku kabari," tanggap Mika, seraya mulai mengetik pesan pada ponselnya.

Setelah Mika selesai mengirim pesan pada Tari, barulah Rasyid dan Hani siap melakukan tugas mereka. Tangan mereka masing-masing sudah masuk ke dalam tanah untuk mengambil tulang-belulang yang sejak tadi terlihat.

"A'udzubillah himinasy-syaithanirrajim. Bismillahirrahmanirrahim. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir."

Doa tersebut terus dilafalkan tiada henti. Santi dan Karin bisa mendengar semuanya dari balik jendela samping rumah. Santi terus merangkul Karin. Ia tidak mau Karin sendirian dan merasa gelisah seperti tadi. Ia ingin Karin terus merasa tenang sampai teluh balung benar-benar berhasil dipatahkan.

"... A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir ..."

Rasyid memasukkan tulang pertama ke dalam api. Hani menyusulnya tak lama kemudian. Tulang-belulang di dalam tanah itu lumayan banyak, sehingga hal yang mereka kerjakan pastinya cukup memakan waktu.

Di rumah Windi, terjadi sesuatu yang belum pernah dilalui oleh perempuan itu. Ia baru saja akan mengganti wadah persembahan yang tadi meledak dan hancur berkeping-keping. Namun sebelum itu terlaksana, seluruh hawa di dalam rumahnya mendadak terasa sangat panas tanpa alasan. Ia tidak pernah melihat almarhumah nenek dan ibunya mengalami yang ia alami. Proses ritual teluh balung yang ia tahu tidak pernah memberikan efek panas pada hawa di sekelilingnya seperti yang saat itu ia rasakan.

"Ada apa ini? Kenapa rasanya seperti ini? Kenapa sangat panas? Aku mulai merasa sesak akibat rasa panas ini," gumam Windi, sambil berusaha untuk bertahan.

Wadah persembahan baru yang ia ambil dari dalam lemari kini diletakkan ke atas meja ritual. Ia kembali mengisinya dengan arang yang sudah dibakar hingga membara, lalu mulai menabur kemenyan putih serta bunga tujuh rupa ke dalamnya. Jampi-jampi kembali ia rapalkan meski keadaan terasa semakin panas. Kini ia berpikir, bahwa itu mungkin saja terjadi karena ia berusaha sangat keras untuk meneror Karin habis-habisan. Ia mulai menganggap rasa panas di sekitarnya sebagai hal yang wajar.

Di halaman rumah Alwan, Rasyid dan Hani kini sama-sama mengambil bagian tulang yang cukup besar. Tampaknya itu adalah tulang bagian kaki seekor sapi. Ziva melihat bagian yang sedang dipegang oleh Rasyid maupun Hani. Ia melirik sekilas ke arah rumah Windi, karena tahu bahwa sebentar lagi akan ada yang menggila ketika tulang besar itu masuk ke dalam api.

"AAARRRRRGGGGGHHHHHH!!! PANAS!!! SAKIT!!!"

Para warga--yang memiliki rumah paling dekat dengan Windi--langsung keluar dari rumah masing-masing setelah mendengar teriakan hebat itu. Faruk, Azwa, dan beberapa orang Polisi segera memberi tanda pada mereka untuk tidak mendekat ke rumah perempuan itu, seperti yang sudah Tari arahkan. Para warga yang melihat adanya Polisi di sekitar rumah tersebut pun langsung memilih kembali masuk rumah, lalu mengintip saja dari balik jendela. Mereka tampaknya paham, bahwa sedang ada masalah besar yang ditangani sehingga harus melibatkan Polisi.

"AAARRRRRGGGGGHHHHHH!!! TOLONG!!! SAKIT!!! AKU TERSIKSA!!!"

Suara Windi masih terdengar dan semakin jelas di telinga semua orang. Proses pematahan teluh melalui pembakaran tulang-belulang yang terkubur di halaman rumah Alwan masih berlangsung. Tari tahu, bahwa jika proses pematahan teluh di sana sudah selesai, maka Ziva dan Raja akan bekerja sama untuk mematahkan ritual teluh balung secara langsung dari sumbernya. Untuk itulah kini ia berada di depan pintu rumah Windi. Perempuan itu tidak boleh berhasil keluar dari rumahnya, sebelum Ziva dan Raja tiba di sana. Tari mengganjal pintu rumah itu dari bagian luar menggunakan sebatang kayu berukuran sedang. Apa pun yang bisa Tari lakukan saat itu pasti akan dijalankan sambil menantikan kedatangan Raja dan Ziva.

"... A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir ..."

Hanya tinggal beberapa bagian lagi, maka proses kali itu akan selesai. Santi dan Karin melihat sosok Jin yang membantu Windi meneror Karin, tepat pada saat bagian tulang terakhir dikeluarkan dari tanah oleh Rasyid dan Hani. Santi dengan cepat menutup mata Karin dengan tangannya, agar Karin tidak perlu melihatnya terlalu lama. Windi berusaha mencapai ke arah pintu, meski tubuhnya saat itu terasa sangat sakit dan sulit untuk digerakkan. Ketika tiba, ia langsung mencoba membuka pintu depan tersebut, namun tidak bisa karena Tari sudah mengganjalnya dengan kayu. Usahanya untuk keluar rumah gagal, membuatnya terkapar di tempat karena mulai kehabisan tenaga.

"... A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir. A'udzubillahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir!!!"

BLAAAMMM!!!

Ledakan terakhir itu terdengar sangat keras. Namun kali ini asalnya bukan dari rumah milik Windi.

* * *

SAMPAI JUMPA BESOK 🥰

TELUH BALUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang