- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Karin membuka kulkas untuk mengambil bumbu dasar putih, yang tadi pagi sudah ia buat. Ia sengaja membuat banyak bumbu dasar agar selalu ada stok di dalam kulkas. Selain bumbu dasar putih, Karin juga membuat bumbu dasar merah serta bumbu dasar kuning. Hal itu ia lakukan untuk mempermudah dirinya ketika akan memasak, serta membuat proses memasak menjadi lebih cepat selesai.
Alwan memperhatikan semua stok bumbu yang Karin buat tersebut. Selama hidup sendiri, ia tidak pernah berpikir untuk membuat stok bumbu seperti yang Karin lakukan. Jadi saat Karin melakukan hal tersebut, dirinya merasa cukup takjub karena baru menyadari betapa mudahnya memasak dengan metode seperti itu.
"Jadi, malam ini kamu mau masak apa, Dek?" tanya Alwan.
Pria itu kini sedang merasa gemas, karena terus saja dilarang membantu memasak oleh Karin. Ia hanya diizinkan duduk saja di kursi meja yang terletak di dapur. Karin sudah memberi ancaman, bahwa Alwan akan diusir dari dapur jika berani mencoba menyentuh bahan makanan yang akan diolah malam itu.
"Aku akan masak capcay dan ayam tumis mentega, Mas. Mas Alwan mau tambah menu lain?" Karin balik bertanya.
Alwan pun tersenyum usai mendapat pertanyaan seperti itu.
"Tidak, Dek. Aku akan makan makanan yang kamu masak saja. Kalau aku minta tambah menu lain, nanti siapa yang mau habiskan capcay dan ayam tumis menteganya? Masakanmu enak semua. Jadinya aku akan kebingungan ingin makan yang mana, kalau banyak menu tersaji di meja makan."
Karin pun ikut tersenyum. Ia segera memasak kedua menu yang sudah sejak tadi sore terlintas dalam pikirannya. Alwan sangat suka makan sayur dan juga ayam, jadi kedua masakan itu adalah menu yang dipilihnya untuk makan malam mereka.
"Kamu sendiri paling suka makanan apa, Dek?" Alwan ingin tahu.
"Insya Allah semua makanan aku suka, Mas. Aku tidak pilih-pilih soal makanan dan kebetulan aku tidak punya alergi terhadap makanan. Jadi, makanan apa pun yang tersaji di depanku, pastinya akan aku makan selama semuanya halal."
"Berarti kamu juga suka makan kue tradisonal, cake, biskuit, puding, dan ...."
"Semuanya, Mas," potong Karin, seraya tersenyum manis ke arah Alwan. "Memangnya kenapa? Mas Alwan mau membelikan aku kue tradisional, cake, biskuit, dan semua makanan yang manis? Apa enggak akan diabetes aku, ya, kalau makan yang manis-manis begitu?"
"Tidak akan kena diabetes, dong. Yang penting 'kan jangan sering-sering makannya, Dek. Lagi pula, aku bukan mau membeli semua itu. Aku mau bikin. Soalnya aku lebih jago bikin kue, daripada memasak seperti yang kamu lakukan," balas Alwan.
"Oh, ya? Mas Alwan jago bikin kue? Aku malah enggak bisa sama sekali, loh, Mas. Aku sudah belajar berulang-ulang sama Ibu sejak masih remaja. Tapi ... hm ... astaghfirullah sekali hasilnya, Mas. Ibu saja sampai terheran-heran kalau sudah melihatku membuat kue di dapur. Ibu selalu saja bertanya, 'Kamu itu habis buat kue atau habis bertempur, Nak? Kok bisa kacau semua hasilnya?'."
Alwan tertawa geli, saat melihat bagaimana ekspresi Karin setelah bercerita soal pengalamannya membuat kue. Karin sangat ekspresif. Mimik wajahnya bisa berubah sesuai alur cerita yang sedang dia tuturkan. Hal itu membuat Alwan merasa sangat terhibur, sehingga mudah sekali baginya untuk tertawa lepas.
"Ya Allah, Dek. Bisa-bisanya, sih, sampai Ibu bertanya begitu. Memangnya yang kacau itu apa saja? Coba, aku ingin dengar lebih detail," pinta Alwan, sambil menatap Karin begitu lekat.
Karin mematikan kompor bagian kanan, saat capcay yang dimasaknya sudah matang. Kini ia hanya perlu menunggu ayam tumis menteganya matang, baru menyajikan semuanya ke meja makan. Sambil menunggu, ia kembali menoleh dan menatap ke arah Alwan.
"Yang pertama menjadi kacau saat aku membuat kue di dapur adalah peralatan. Entah kenapa saat membuat kue, aku selalu saja menurunkan semua peralatan milik Ibu dari dalam lemari. Padahal kalau dipikir lagi, seharusnya aku tidak perlu memakai peralatan sebanyak itu hingga membuat dapur menjadi berantakan. Kedua, yang paling kacau tentunya adalah hasil kue buatanku. Kalau bukan kuenya selalu kurang matang di bagian tengah, kue buatanku selalu saja gosong padahal sudah aku panggang sesuai dengan ...."
Karin mendadak terdiam, ketika tidak sengaja menatap ke arah luar jendela dapur yang masih terbuka. Ia kembali melihat sosok yang sedang menatap ke dalam rumah mereka, seperti dua kejadian sebelumnya. Namun sosok itu kembali menghilang saat Karin mencoba memperjelas penglihatannya. Alwan langsung kehilangan senyum. Ia tahu bahwa ada yang tidak beres. Sesegera mungkin ia beranjak ke sisi Karin, karena tahu bahwa Karin kemungkinan melihat sosok itu lagi.
"Aku turunkan tirainya, ya, Mas. Sosok itu kembali melihat ke dalam rumah kita," Karin meminta izin.
Alwan tidak menjawab. Ia lebih memilih segera menurunkan tirai yang tergulung di bagian atas jendela tersebut. Pada saat yang sama, Alwan merasakan energi negatif di sekitaran rumah mereka. Meski ia tidak bisa melihat sosok yang Karin lihat, namun Alwan bisa merasakan kehadirannya. Hal itu memperjelas, bahwa Karin bukan hanya sedang berhalusinasi.
"Dia tidak mencintai kamu. Dia hanya terpaksa menerima lamaranmu, karena takut mati."
Bisikan itu terdengar sangat jelas di telinga Alwan. Membuatnya segera menatap ke arah Karin yang masih berdiri di sampingnya dan sedang berusaha untuk menyingkirkan rasa takut.
"Dia tidak mencintaimu. Dia menikahimu hanya karena terpaksa. Maka dari itulah dia tidak percaya ucapanmu."
Sedetik kemudian, Karin langsung mengusap dadanya berulang-ulang kali.
"Astaghfirullah hal 'adzim. Astaghfirullah hal adzim. Astaghfirullah hal 'adzim," lirihnya.
Alwan memejamkan kedua matanya.
"Astaghfirullah hal 'adzim. Astaghfirullah hal 'adzim. Astaghfirullah hal 'adzim," lirih Alwan, ikut beristighfar.
Karin mematikan kompor yang masih menyala, lalu segera memeluk Alwan untuk mencari rasa tenang. Alwan pun balas memeluknya dengan erat, seakan tidak mau Karin menjauh darinya malam itu.
"Ada bisikan lagi, Mas. Aku dengar bisikan yang sama seperti tadi pagi," ujar Karin.
"Di telingaku juga terdengar bisikan, Dek. Aku juga mendengar bisikan seperti yang kamu alami, dan tampaknya bisikan itu bertujuan untuk membuat kita tidak saling percaya."
Karin pun melepaskan pelan-pelan pelukannya dari tubuh Alwan, lalu menatap wajah pria itu begitu dalam.
"Jangan terpengaruh, Mas. Apa pun yang Mas dengar dari bisikan itu, abaikan saja. Percaya saja padaku, Mas. Insya Allah aku tidak akan pernah meninggalkan Mas Alwan, meski keadaan di sekeliling kita sangatlah buruk. Aku akan tetap mendampingi Mas Alwan, seperti Mas Alwan yang selalu mendampingi aku di titik terendahku," janji Karin.
Senyum di wajah Alwan kembali merekah usai mendengar janji yang begitu tulus dari Karin. Kedua matanya berkaca-kaca, membuatnya segera mendekap Karin ke dalam pelukannya kembali.
"Kamu juga jangan terpengaruh, ya, Dek. Aku cinta sama kamu. Aku sayang sama kamu. Semuanya tanpa syarat dan juga tanpa akhir," balasnya.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
TELUH BALUNG
Terror[COMPLETED] Seri Cerita TELUH Bagian 10 Rumah tangga Alwan dan Karin mendadak diserang rasa tidak nyaman yang begitu kuat. Sejak Karin melihat sosok yang menatap ke arahnya dan Alwan dari balik jendela, rasa tidak nyaman itu semakin hari semakin mem...